Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi orang Sangihe-Talaud di Filipina Selatan, Heinrich Wolff adalah sosok yang akrab. Nama pria ini beraroma Jerman—yang ia warisi dari nenek moyangnya—tapi tampangnya seratus persen lokal. Heinrich lahir di Tahuna, Pulau Sangihe. Lulus Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur, Makassar, Heinrich mulai berkarya di Mindanao pada 14 tahun lalu. Kini ia menjadi Koordinator Penghubung Warga Negara Indonesia di Mindanao Selatan.
Di Kota General Santos, pendeta ini didaulat menjadi Ketua Himpunan Nelayan Indonesia. Sekitar 923 nelayan Sangihe-Talaud menjadi jemaatnya. Salah satu tugas Heinrich sebagai koordinator adalah memandu siaran radio berbahasa Sangihe. Tapi tugas pokoknya adalah sebagai pendeta di Persekutuan Gereja Indonesia dan United Church of Christ in the Philippines, di kota itu. Banyak warga Filipina yang ikut mengecap jasa penyuluhan rohaninya. Berikut petikan wawancara kontributor Tempo Verrianto Madjowa dengan Heinrich Wolff di General Santos, Filipina Selatan, pekan lalu....
Sejak kapan warga Sangihe-Talaud bermigrasi ke Filipina?
Tak ada perkiraan waktu yang tepat. Namun, suku Sangil di Mindanao yakin bahwa mereka juga orang Sangihe. Sejak akhir abad ke-15, mereka sudah berada di sana. Hal ini diperkuat dengan pemakaian bahasa Sangihe oleh orang Sangil. Bahasa mereka telah menyerap bahasa setempat dengan intonasi yang jauh berbeda. Suku Sangil beragama Islam dan menjadi warga negara Filipina.
Mengapa mereka kebanyakan beragama Islam?
Mungkin karena pengaruh perdagangan dengan Sultan Ternate atau Tidore. Di Kota Tahuna, Pulau Sangihe, ada kampung bernama Tidore yang mayoritas penduduknya muslim. Mereka berasal dari Tidore, Halmahera. Pulau Sangihe, Mindanao, dan Halmahera ibarat tiga batu tungku. Migrasi masyarakat asal Sangihe dan Talaud berotasi di tiga tempat ini.
Apakah ada migrasi lagi dari Sangihe-Talaud ke Mindanao setelah abad ke-15?
Kelompok kedua datang pada 1918. Mereka dikoordinasi oleh Herman Mahaling, tenaga pelayan gereja di Pulau Marore. Ia diutus Zendeling Steller di Manganitu untuk melayani orang-orang Sangihe di Mindanao.
Setelah Indonesia merdeka, arus migrasi ke Mindanao justru lebih deras. Mengapa?
Umumnya mereka datang karena alasan ekonomi. Sebab, waktu itu Filipina lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Tenaga buruh amat diperlukan di gudang-gudang dan di kebun kelapa. Dengan memikul sekarung kopra atau beras, mereka sudah mendapat uang. Ini lebih mudah dibandingkan dengan di Sangihe dan Talaud, yang harus bercocok tanam dan menunggu hasil panen.
Apakah mereka kembali ke Indonesia setelah berhasil?
Warga Sangihe-Talaud yang merantau ke Mindanao berasal dari golongan ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Hanya dengan perjuangan tak kenal lelah, beberapa keluarga bisa hidup layak. Sebagian akhirnya kembali, menetap di Halmahera dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Bahasa apa yang dipakai sehari-hari warga Sangihe-Talaud di Filipina?
Di Pulau Balut dan Sarangani biasa dipakai bahasa Sangihe. Di daratan Mindanao mereka menggunakan bahasa Cebuano atau bahasa Visayas. Masyarakat Sangihe-Talaud di Provinsi Sultan Kudarat berbicara dalam bahasa Ilungo. Tapi rata-rata mereka mengerti bahasa ibu mereka, yakni Sangihe.
Keturunan para migran Sangihe-Talaud apakah tetap mempertahankan kewarganegaraannya?
Warga Talaud di Provinsi Davao Oriental, yang lebih dekat dengan Kepulauan Talaud, umumnya kawin dengan penduduk setempat. Anak-anak mereka menjadi warga Filipina. Masa depan mereka lebih baik karena punya peluang serta kesempatan belajar dan bekerja yang sama dengan warga Filipina.
Apakah mereka masih memegang teguh adat?
Kalau adat-istiadat Sangihe masih tetap dipertahankan, khususnya dalam pesta tulude, perkawinan, pendirian rumah baru, dan sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo