Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Janjinya Selesaikan Skripsi

Ia dikenal sebagai pemuda pendiam dan cerdas. Berjihad di jalan agama, salah satu keyakinannya.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kadi, 52 tahun, siang itu kedatangan serombongan tamu penting dari Jakarta. Ia sungguh kaget: tamu tersebut mengabarkan bahwa Agus Puryanto, salah satu anak Kadi, tewas bersama Azahari, warga Malaysia yang selama ini menjadi buron polisi karena terlibat serangkaian aksi bom di Indonesia. ”Saya tak percaya Agus sudah meninggal,” kata Kadi.

Namun, tamu dari Detasemen Khusus 88 Jakarta tersebut, Sabtu dua pekan lalu, mencari bukti jatidiri Agus Puryanto alias Arman di rumah Kadi di Desa Kauman, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Selain mengambil sampel darah Kadi dan Suratmi, istrinya, polisi juga mencocokkan foto yang ada pada surat izin mengemudi jenis A milik Agus.

Saat Azahari tewas di Batu, Jawa Timur, polisi berhasil mengumpulkan sejumlah barang bukti, termasuk SIM milik Agus yang tercecer di lokasi tersebut. Atas bukti ini, polisi kemudian menyatakan satu orang yang meninggal bersama Azahari itu adalah Agus Puryanto. ”Yang bersangkutan adalah putra Bapak Kadi dan Ibu Suratmi,” kata Kepala Kepolisian RI, Sutanto.

Meskipun Kadi mengakui bahwa foto di SIM A yang dibawa polisi itu adalah foto anaknya, Kadi belum yakin benar anaknya terlibat dalam sejumlah aksi terorisme. Apalagi jika bukti keterlibatan anaknya itu hanya dikaitkan dengan secuil bukti SIM. ”SIM kan bisa hilang dan dimanfaatkan orang lain,” katanya.

Tuduhan terorisme juga tak klop dengan keseharian Agus. Menurut Purwanti, kakak Agus, adiknya itu tidak pernah menunjukkan tabiat yang kurang baik. Selama bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 5 Kauman dan melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Widodaren, Agus dikenal sebagai anak pendiam. ”Dia juga selalu meraih ranking dalam kelasnya,” kata Purwanti.

Tapi, Kadi sendiri tak tahu persis ketika anaknya itu beranjak dewasa. Karena tak mampu, sejak tahun 1997 Agus dititipkan Kadi kepada Affandi Mustofa, adik iparnya yang tinggal di Jalan Gatotkaca, Kelurahan Cemani, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. ”Waktu datang, dia menangis karena tak bisa melanjutkan sekolah,” kata Affandi, pemilik usaha percetakan.

Karena pendaftaran sekolah umum akan berakhir, Agus dimasukkan ke SMA Islam di Gading, lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Al-Mukmin, Ngruki. Di SMA ini—Agus mengambil jurusan IPA—nilai fisika Agus kerap mencapai angka delapan. Tiga tahun kemudian, Agus melanjutkan ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Sukoharjo.

Berbeda dengan sewaktu kecil, prestasi akademik Agus di kampus malah tidak menonjol. Saat ini, misalnya, Agus masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan tarbiyah semester sepuluh. ”Dia juga belum lulus mata kuliah metodologi penelitian,” kata Sukirman, Ketua Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sukoharjo.

Entah Affandi tahu atau tidak, Juni lalu Agus juga tidak melakukan registrasi di kampusnya. Yang ia tahu, sejak 11 Agustus lalu keponakannya itu pergi dari rumah. Agus waktu itu hanya berpesan bahwa dia pergi bersama teman-temannya selama satu bulan. ”Dia berjanji akan menyelesaikan skripsinya bulan Desember,” kata Affandi.

Affandi tak tahu ke mana Agus pergi. Sebelum menghilang, Agus rajin salat, membersihkan rumah, kuliah, dan membantu mengemudikan mobil boks milik Affandi. Tapi, di luar rutinitas kegiatannya itu, menurut Ibnu Syina, teman baik Agus, lelaki itu memiliki pandangan yang keras dalam agama. Misalnya, ia pernah mengajak Ibnu pergi berjihad ke Ambon. ”Tapi saya tolak,” kata Ibnu, kawan kuliah Agus.

Affandi tak percaya Agus punya keyakinan jihad, apalagi jihad dengan cara kekerasan. ”Kelas dia itu apa? Memberi kultum (ceramah agama—Red) saja belum bisa, kok. Kelas dia baru mengajar TPA,” kata Affandi.

Affandi, juga Kadi, boleh tidak percaya. Tapi polisi yakin benar Agus telah tewas karena keyakinan jihadnya.

Zed Abidien, Rochman Taufik (Ngawi), Imron Rosyid (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus