Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FERI itu baru saja bersandar di dermaga pelabuhan Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan. Perjalanan laut dari Bangoa—pulau di perbatasan Malaysia-Filipina—itu ditempuh Muhammad Yusuf Faiz, Nasir, dan Deddi Resdiana dalam sepuluh jam.
Mereka berangkat ke Filipina untuk mendapat pelatihan militer. Belum sampai tiga warga negara Indonesia itu meninggalkan pelabuhan, sepasukan polisi sudah merubung dan membekuk mereka.
Peristiwa penangkapan itu terjadi pada 12 Desember tahun lalu. Dari tangan Faiz, polisi menyita buku-buku tafsir dan uang US$ 21 ribu. Polisi curiga melihat segepok uang yang dibawa langsung itu. Faiz akhirnya buka suara.
Dia mengaku hanya sebagai kurir dari Abdullah Sonata, Ketua Komite Penanggulangan Krisis (Kompak), organisasi yang membantu para pengungsi di Ambon. Uang itu akan diserahkan kepada Dulmatin—pelaku bom Bali I—untuk membeli senjata.
Panjang nian perjalanan uang panas itu. Beberapa pekan sebelumnya, Sonata mengajak Faiz ke sebuah restoran khas Timur Tengah di kawasan Jakarta Pusat. Di sana mereka bertemu dengan seseorang dari Arab Saudi. Kepada Sonata, orang asing itu memberikan mata uang real.
Pertemuan tak berlangsung lama. Faiz dan Sonata kemudian menukarkan real menjadi dolar Amerika Serikat di sebuah moneychanger. Duit itulah yang kemudian ditenteng Faiz ke Filipina.
Siapa orang ”dari Arab Saudi” itu? Faiz mengaku tidak mengenal namanya. Sonata, yang ditangkap polisi akhir Juli lalu di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, mengaku mendapat sumbangan dari sejumlah donatur untuk bantuan kemanusiaan di Ambon, Maluku. Dialah yang berperan sebagai kasirnya.
Sumbangan dari ”syekh Arab Saudi” itu sebagian untuk kegiatan operasional Kompak, termasuk membiayai rumah kontrakan Ramli di Depok, Jawa Barat, sebesar Rp 300 ribu setiap bulan. Di rumah kontrakan itu Ramli, yang bertugas membuat timer bom, ditangkap beserta barang bukti rangkaian bom berikut bahan berbahaya lainnya.
Polisi berhasil membongkar jaringan ini setelah menangkap 13 orang di Jawa Tengah, Jakarta, dan Depok, akhir Juni lalu. Mereka diduga ikut menyembunyikan Noor Din M. Top dan Dr Azahari, menyiapkan bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, memasok senjata api ke daerah konflik di Indonesia dan Filipina Selatan, serta mendanai kebutuhan kelompok teroris ini.
Di antara yang ditangkap terdapat Abdullah Sonata, Joko Sumanto, Ramli alias Iqbal Husaini, Lukas Abriari, Purnama Putra alias Usman, dan Dani Chandra. Kapolri Jenderal Sutanto yakin, penangkapan Abdullah Sonata dan jaringannya membuat aliran dana untuk kelompok teroris Dr Azahari terhenti. ”Pada saat ini diindikasikan sudah tidak ada lagi aliran dana dari luar ke dalam,” kata Sutanto di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Kapolri juga mengingatkan, jaringan ini tidak melibatkan diplomat dari negara tertentu. Dana itu berasal dari jaringan teroris di luar negeri, lalu disalurkan oleh kasirnya di sini. Menurut sumber di kepolisian, hibah asing itu bukan hanya berasal dari Arab Saudi.
Dalam pemeriksaan, Dani Chandra, yang berperan sebagai kurir Kompak dari Solo ke Ambon, mengungkap adanya bantuan dari Kuwait sebesar Rp 750 juta pada akhir 2001. Uang itu diberikan untuk para pengungsi, pejuang Mujahidin, dan Laskar Jihad di Ambon. Bantuan itu dikirimkan ke Ambon melalui kantor pusat Kompak di Jakarta Pusat, dan diserahkan dalam bentuk sembako.
Sokongan asing masuk melalui beragam cara. Sidney Jones, Direktur International Crisis Group untuk Asia Tenggara, mendapat informasi adanya aliran dana setiap kali akan ada operasi pengeboman. Menjelang bom Bali I, ada kucuran sekitar US$ 35 ribu. Pada bom Marriott, tiba-tiba masuk uang sekitar Rp 76 juta. Untuk bom Kuningan, uang yang mengalir sekitar Rp 74 juta. ”Mungkin dari Al-Qaidah,” katanya.
Biaya operasional sehari-hari berasal dari infak anggota, atau sumbangan perusahaan-perusahaan yang mendukung. Infak anggota ini ternyata cukup banyak. Ambil saja salah satu contohnya sumbangan dari Joko Sumanto, pemilik Toko UD Masa di Wonoboyo, Wonogiri, Jawa Tengah.
Joko, yang ditangkap bersama jaringan Sonata, mengaku didatangi Sonata pada pertengahan tahun lalu. Ia dimintai bantuan untuk para janda yang terkena fitnah peristiwa bom Bali. Joko langsung menyerahkan uang Rp 400 ribu.
Sonata juga meminta Joko ikut mengurus istri Sawad (peracik bom Bali I) dan Musa alias Zulkifli Marzuki (warga negara Malaysia yang masih buron) di Magetan, Jawa Timur. Joko berjanji akan membantu para wanita itu masing-masing Rp 100 ribu setiap bulan.
Beberapa bulan kemudian Joko didatangi Faiz dan Usman. Kedua orang itu menawarkan kepadanya membeli dua pucuk senjata dari Filipina untuk dipakai latihan jihad di Poso, Sulawesi Tengah. Joko kemudian menyerahkan uang Rp 15 juta untuk membeli dua pucuk senjata, masing-masing seharga Rp 6 juta. Sisanya sebagai biaya pengiriman.
Siti Fatima, istri Joko, membenarkan beberapa sumbangan yang diberikan suaminya kepada anggota Kompak. ”Suami saya orangnya tidak bisa bilang tidak kalau ada orang yang minta bantuan,” katanya.
Menurut Fatima, dalam memberikan infak dan sedekah, suaminya tidak pernah melihat apakah dia janda teroris atau bukan. Baginya, jika ada yang membutuhkan pertolongan, mereka akan berusaha membantu.
Selain dari infak, kelompok teroris ini tidak segan merampok untuk mencari dana operasional. Cara ini terungkap ketika polisi di wilayah Serang, Banten, meringkus Junaedi, Abdul Rauf, Andri Octavia, dan Andi Hidayat, dua tahun lalu.
Imam Samudra membekali mereka uang Rp 6,5 juta, tiga pucuk senjata, dan sepeda motor untuk merampok Toko Emas Elita Indah di Pasar Lama Serang, Agustus 2002. Mereka menggarong 2,5 kg emas dan uang tunai Rp 5 juta. Hasil rampokan itu oleh Imam Samudra dipakai memodali bom Bali I.
Kini, setelah sebagian besar pengurus Kompak diringkus, aliran dana kepada kelompok pengebom memang makin seret. Kapolri melihat kelompok ini mulai memakai cara lain mencari uang, dengan menjual voucher telepon. Setoran dari penjualan itu, menurut Kapolri, mencapai Rp 5 juta setiap harinya.
Tudingan itu cukup beralasan. Dalam penggerebekan tempat persembunyian Dr Azahari di Batu, Jawa Timur, dan pengejaran Noor Din M. Top di Semarang, polisi berhasil meringkus Anif Solchanudin dan Achmad Cholili. Dwi Widiyarto lolos saat penangkapan. Mereka semua punya profesi serupa, berjualan voucher telepon genggam.
Menanggapi tudingan terhadap Abdullah Sonata, Muanas, kuasa hukum Sonata dari Tim Pengacara Muslim, menganggap polisi berlebihan. Kliennya mengakui pernah bertemu dengan Noor Din M. Top dan berdiskusi masalah bom bunuh diri. Tapi, dalam diskusi yang terjadi sebelum bom di Kedutaan Besar Australia itu, Sonata sudah menolak aksi tersebut.
Muanas juga mengakui keterlibatan Sonata dalam pengiriman orang-orang ke Filipina untuk latihan militer. Tapi ia belum bisa memastikan kliennya yang mengatur ongkosnya.
Duta Besar Kuwait untuk Indonesia, Mohammad Fadel Khalaf, masih akan menunggu hasil investigasi kepolisian Indonesia. Fadel mengaku tak tahu-menahu soal aliran dana Rp 750 juta dari Kuwait melalui Kompak untuk disalurkan ke Ambon pada 2001. ”Ketika itu saya belum di sini,” kata Fadel, yang baru bertugas di Indonesia pada 2003, menggantikan Jamal Mubarak al-Nesafi.
Ia berjanji akan mencari tahu siapa orang di balik aliran dana dari Kuwait itu. Dia mengakui adanya sejumlah sukarelawan Kuwait yang datang ke Ambon pada 2001. Tapi pihak kedutaan tidak mengetahui secara pasti jumlahnya. ”Kita tidak mampu mengontrol kedatangan sukarelawan itu,” katanya. Dia hanya memastikan, saat ini sudah tidak ada lagi warga negara Kuwait yang datang ke Ambon sebagai sukarelawan.
Kedutaan Besar Arab Saudi malah melayangkan protes tertulis melalui Departemen Luar Negeri terhadap berita media massa Indonesia yang menyebut keterlibatan diplomatnya dalam gerakan terorisme di Indonesia. ”Mereka menyampaikan surat keberatan ini dengan datang langsung ke Deplu,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Yuri Thamrin, Jumat pekan lalu. Arab Saudi berjanji membantu mengungkap kasus ini jika memang diplomat mereka terlibat.
Agung Rulianto, Agricelli, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo