Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TATKALA menulis novel Sasalad: Sempalan Épidemi di Tatar Garut, Dadan Sutina dengan sengaja menggunakan diksi bahasa Sunda yang sudah lama menghilang dari percakapan sehari-hari. Kata-kata tersebut bahkan tak masuk dalam kamus bahasa Sunda. Dadan memasukkan belasan kata lama yang berasal dari latar waktu kisah novel ini, umumnya terkait dengan penamaan barang-barang, seperti perabot. Dalam bukunya, ada bubuhan catatan kaki untuk menjelaskan kata-kata yang sudah tak dituturkan lagi itu. “Alasan saya untuk dokumentasi dan pemeliharaan kata,” kata Dadan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya Dadan mengundang kritik dari sejumlah orang karena dinilai agak mengganggu. Namun pilihan itu justru membawa Dadan memenangi Anugerah Sastera Rancage kategori sastra Sunda yang digelar pada 31 Januari lalu lewat siaran langsung di YouTube. Menurut juri kategori sastra Sunda, Hawe Setiawan, karya Dadan unggul karena kekayaan bahasa dan penggalian bahan cerita. “Ada upaya dia ingin melampaui realisme. Itu kelebihan sekaligus masalah,” ujar Hawe pada Selasa, 9 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dang Miwang Niku Ading karya Elly Dharmawanti.
Sasalad, yang berarti wabah, ditulis Dadan selama enam bulan pada 2018. Tokoh utama bernama Sutaya yang dikisahkan dapat hidup tanpa raga karena menguasai ilmu halimunan. Tanpa tubuh, Sutaya dapat mengetahui segala yang tersembunyi. Lewat perjalanan tokoh ini, kita mengetahui sejumlah peristiwa sejarah yang berlangsung pada latar cerita, yaitu Kota Garut pada kurun 1919-1930. Salah satu yang mendera Garut pada periode tersebut adalah wabah pes. Dadan melihat ada kemiripan kisah wabah di sana dengan novel Sampar karya Albert Camus. “Saya ingin mengangkat karena kejadian besar itu tidak terekspos. Waktu zaman Belanda juga ditutupi,” ujar lelaki kelahiran Sumedang, 22 Februari 1978, ini.
Penggalian sejarah yang dilakukan Dadan untuk novel ini berjalan seiring dengan risetnya mengumpulkan kata-kata lawas dari surat kabar, majalah, atau buku untuk dimasukkan dalam kitab babon Kamus Sunda gagasan Ajip Rosidi. Dia juga memasukkan temuan peristiwa lain pada masa itu, seperti pembunuhan tokoh agama, penumpasan dukun santet, juga pemberontakan petani Banten. Penerbit Pustaka Jaya di Bandung meluncurkan novel setebal 324 halaman itu pada September 2020.
Novel Sasalad dinyatakan paling unggul di antara tiga nomine karya sastra Sunda lain, yakni buku kumpulan 14 cerita pendek berjudul Bulan Sésa karya Imas Rohilah yang ditulis pada 1992-2005 dengan corak realis. Kemudian Deden Abdul Azis yang mengusung kumpulan 30 cerita pendek karya 1995-2014 dalam buku bertajuk Sagagang Simpé. Yang terakhir adalah karya unik Wahyu Heriyadi berjudul Keblueks: Kumpulan Sajak Sunda Digital yang lembaran halamannya hanya berisi kode respons cepat (QR code). Pembaca harus memindai kode itu dengan perangkat smartphone agar bisa membaca sajak-sajaknya. “Ini menarik. Dia sudah selangkah lebih jauh dari penulis Sunda segenerasinya,” ucap Hawe. Buku cetakan berbalut teknologi Internet itu dinyatakan layak untuk dinilai juri.
Nglekadang Meme karya Komang Berata.
Masuknya buku sastra Sunda digital dalam penilaian juri Rancage sudah menjadi wacana sejak beberapa tahun lalu. Namun legenda sastra Sunda, Ajip Rosidi, yang saat itu masih menjadi Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, tak berkenan dengan format tersebut. Hawe memperkirakan inovasi buku sastra Sunda digital akan terus berkembang. “Kalau eksistensinya lebih pas, tentu saja kategori buku dalam kegiatan Rancage harus diperluas,” ujar Hawe.
Anugerah Rancage dirintis oleh Ajip 33 tahun lalu. Hadiah pertama diberikan pada 31 Januari 1989 dan terus berlangsung setiap tahun hingga saat ini. Rancage, yang berarti kreatif, awalnya dimaksudkan untuk memilih karya sastra terbaik dalam bahasa Sunda. “Bagi pengarang Sunda pada umumnya, Hadiah Rancagè merupakan capaian tertinggi dalam berkarya, walaupun nominal hadiahnya relatif kecil,” kata Wakil Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Etti R.S.
Pemenang perdana penghargaan ini adalah Rus Rusyana dengan buku kumpulan cerita pendek bertajuk Jajatén Ninggang Papastén. Sejak 1994, Rancage melebarkan sayap untuk mengapresiasi para penulis dalam bahasa Jawa, lalu Bali mulai 1998. Kemudian, mulai 2000-an, penghargaan diberikan kepada karya sastra berbahasa Madura, Banjar, dan Batak. Juri yang menilai karya disesuaikan dengan asal daerahnya. Selain kepada penulis, Rancage memberi anugerah kepada orang yang berjasa terhadap sastra daerah. Tapi penghargaan ini ditiadakan tiga tahun lalu karena keterbatasan dana. Ada pula Hadiah Samsudi untuk penulis buku bacaan anak berbahasa Sunda dan Hadiah Hardjapamekas untuk guru bahasa Sunda.
Pelesir Ka Basisir karya Risnawati.
Penghargaan Rancage tahun ini adalah yang pertama kalinya tanpa kehadiran Ajip Rosidi. Ajip berpulang pada 29 Juli 2020 di Magelang, Jawa Tengah, dalam usia 82 tahun. Namun anugerah Rancage dipastikan akan tetap berlangsung untuk menjaga warisan budaya Ajip. “Sepanjang masih ada buku sastra daerah yang diterbitkan, hadiah akan terus diberikan,” tutur Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Titi Surti Nastiti, yang juga putri mendiang Ajip.
Untuk penjurian tahun ini, panitia menerima 23 karya sastra Sunda, 32 buku sastra berbahasa Jawa, 10 dari Bali, 3 karya sastra Lampung, dan 5 dari Madura. Ada pula peserta dari Banjar, Minang, dan Aceh, tapi masing-masing hanya satu judul. “Belum dapat dinilai. Akan diikutkan pada tahun depan,” ujar perwakilan juri, I Nyoman Darma Putra.
Karya yang dinilai dewan juri mestilah berbentuk buku cetak dan berbahasa ibu. Buku juga merupakan karya tunggal penulis, bukan berkelompok. Adapun bentuk karyanya bisa berupa prosa, puisi, ataupun cerpen. “Selain itu, terbuka untuk naskah drama dan buku ilmiah,” ujar juri sastra Sunda, Hawe. Namun dua jenis yang disebutkan terakhir itu tergolong langka kirimannya dari penulis.
Sagara Aeng Mata Ojan karya Lukman Hakim AG.
Untuk karya sastra Jawa, anugerah Rancage diberikan kepada buku kumpulan puisi Sawiji Dina Sawiji Mangsa (Suatu Hari Suatu Musim) karya sastrawan dan budayawan Indramayu, Jawa Barat, Supali Kasim, yang diterbitkan oleh Penerbit Rumah Pustaka. Supali menulis dalam bahasa Jawa Indramayu yang dalam hal dialek dan kosakata cukup berbeda dengan bahasa Jawa yang berkembang di Jawa Tengah ataupun Yogyakarta. “Misal, dalam bahasa Jawa pusat ada huruf d dan dh, tapi saya tidak menggunakan dh sesuai yang berlaku di sini,” ujar pengkaji bahasa daerah, seni, dan sejarah Cirebon-Indramayu itu lewat wawancara telepon, Selasa, 9 Februari lalu.
Sawiji Dina Sawiji Mangsa berisi 55 sajak dengan tema luas berdasarkan amatan Supali atas fenomena zaman. Dia menyentuh persoalan ketimpangan sosial, perilaku pembesar, pluralisme agama, hingga pencarian jati diri daerah. Salah satu tema paling menarik adalah sajak tentang kesenian rakyat yang berkembang di Indramayu, seperti tarling, sintren, dan wayang. Misalnya dalam puisi berjudul “Panggung” ketika Supali menangkap relasi antara pertunjukan grup kesenian dan jiwa penonton. “Supali membangun keseimbangan antara keindahan seni dan kegunaannya membangun jiwa,” kata juri I Nyoman Darma Putra.
Buku ini adalah kumpulan puisi kedua Supali dalam bahasa daerah. Pada 2011, dia menerbitkan Sesambat dengan bantuan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Supali secara khusus merutinkan diri menulis dalam dialek Indramayu sejak 2006 untuk mempertahankan bahasa yang sudah berbeda dengan induknya itu. Dia juga mengaktifkan komunitas kajian dan diskusi sastra daerah Indramayu lewat Lembaga Basa Lan Sastra Dermayu (LBSD/Lembaga Bahasa dan Sastra Indramayu) dan Peguron Alit.
Sasalad karya Dadan Sutisna. Pustaka Jaya
Buku kumpulan puisi juga menjadi pemenang Rancage untuk karya sastra Lampung dan Madura. Juara dari Madura adalah Lukman Hakim A.G. yang menulis kumpulan sajak Sagara Aeng Mata Ojan (Samudra Air Mata Hujan), diterbitkan oleh Sulur Pustaka. Dari Lampung, buku Dang Miwang Niku Ading (Jangan Menangis, Adik) karya Elly Dharmawanti yang diterbitkan oleh Pustaka Labrak terpilih sebagai pemenang. Kedua penulis ini menyentuh tema keseharian dan adat-istiadat yang berlaku di daerah masing-masing.
Seperti tergambar dalam judul, sajak-sajak Lukman Hakim A.G. banyak melukiskan kehidupan sehari-hari orang Madura dalam melaut. Sagara Aeng Mata Ojan dinyatakan unggul di antara lima buku sastra berbahasa Madura yang terbit sepanjang 2020, yaitu Lanceng Talpos karya N. Shalihin Damiri, Bâjing Tana karya Zainal A. Hanafi, Sokana karya Mat Toyu, serta Sagara Aeng Mata Ojan dan Tang Bine Majembar Ate karya Lukman Hakim A.G. “Antologi puisi ini cukup menonjol dibanding buku lain, yang terasa dari diksi, metafora, dan kesadaran untuk menulis dalam bahasa Madura yang tak hanya sebatas persoalan kekerasan,” ucap Nyoman Darma Putra.
Sawiji Dina Sawiji Mangsa
Dari pesisir barat Lampung, Elly Dharmawanti menyusun 73 sajak yang sebagian besar meminjam kearifan tradisi dan petatah-petitih orang-orang Krui di Lampung. Dalam sajaknya, Elly memposisikan diri ibarat seorang kakak yang sedang menasihati adik. “Rata-rata puisi saya berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari yang banyak saya temui pada masyarakat pesisir Krui,” ujar Elly lewat wawancara telepon, Rabu, 10 Februari lalu.
Menurut juri, dalam sajaknya Elly banyak menggunakan diksi ringkas dengan teknik repetisi, tapi mampu menghasilkan dunia imajinatif. Elly mengatakan pilihan itu dimungkinkan karena bahasa Lampung banyak memuat kata-kata pendek tapi memiliki makna dalam dan berlapis. Elly menggunakan kata-kata pendek, seperti ngelama yang berarti pulang ke asal dan ngejalang yang berarti ziarah kubur, tapi dapat menggambarkan tradisi panjang dan penuh filosofi yang dianut masyarakat Lampung.
Sementara itu, juara Bali adalah buku kumpulan cerita pendek karya I Komang Berata berjudul Nglekadang Mémé, yang diterbitkan Pustaka Ekspresi. Ini adalah kedua kali Komang memenangi Rancage setelah mendapat penghargaan pertamanya pada 1999 lewat buku Lekad Tumpek Wayang. Bermakna “melahirkan ibu”, Nglekadang Mémé memuat 11 cerpen yang sebagian besar ditulis berdasarkan kisah nyata keluarga dan kerabat di sekitar Komang. Contoh saja cerpen “Mulih” yang berkisah tentang seorang paman yang tak mau pulang dan memilih tinggal di gubuk di tengah sawah. Yang unik, tiap cerpen dalam buku ini memiliki nama tokoh utama yang sama, yaitu Wayan Supat, meski tak ada kaitan narasi antar-tiap judul. “Itu dari nama teman satu banjar. Saya tidak cari banyak-banyak nama tokoh, nanti bingung,” kata Komang, kemudian tertawa.
Sastrawan Dadan Sutisna, pemenang Sastera Rancage 2021 kategori sastra sunda di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, 11 Februari 2021. TEMPO/Prima Mulia
Komang memperkaya ceritanya dengan deskripsi yang rinci dan luwes tentang latar belakang alam dan cerita. Selain itu, penulis yang sempat berguru kepada Umbu Landu Paranggi tersebut juga menyelipkan banyak perumpamaan dan pepatah bahasa Bali yang sudah jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. “Buku ini memiliki tema orisinal dengan gaya bahasa yang kreatif,” kata juri.
Selain karya sastra dewasa, Rancage memberi hadiah khusus untuk cerita anak-anak dengan nama Anugerah Samsudi. Pemenang hadiah Samsudi tahun ini adalah Pelesir ke Basisir karya Risnawatiyang diterbitkan oleh Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Setiap pemenang Rancage mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 7,5 juta.
Bagi para pemenang, Anugerah Rancage adalah salah satu sumber semangat mereka untuk terus menulis dalam bahasa daerah. Tak dapat dielak, menerbitkan buku dalam bahasa daerah bukanlah pekerjaan yang dapat menghasilkan untung besar. Novel Sasalad karya Dadan, misalnya, baru terjual tak sampai 200 eksemplar dari 1.500 yang dicetak. Penulis lain malah hanya berani mencetak buku dalam jumlah ratusan, seperti buku Sawiji Dina Sawiji Mangsa karya Supali Kasim yang dicetak sebanyak 500 eksemplar dan Dang Miwang Miku Ading oleh Elly Dharmawanti yang dicetak sebanyak 300 buku. “Jumlah 500 itu sudah besar untuk ukuran buku sastra daerah,” ucap Supali. “Kalau untuk kepentingan komersial, saya seimbangkan dengan menulis buku-buku pelajaran yang pasti diperebutkan penerbit dan bisa dicetak hingga ribuan.”
Supali Kasim dan penghargaan Rancage 2021. Dok. Pribadi
Penjualan karya sastra berbahasa daerah pun hanya dapat dilakukan lewat mulut ke mulut dan media sosial karena buku-buku tersebut sulit menembus toko buku. Buku Nglekadang Mémé oleh Komang Berata yang dicetak sebanyak 200 eksemplar malah belum ada yang terjual. “Bukunya masih utuh satu dus. Tak ada yang berminat membeli buku saya di Bali,” tutur Komang.
Untuk Komang, tujuan utama menulis dengan bahasa Bali adalah mendokumentasikan kosakata tanah kelahirannya. Alasan serupa juga dilontarkan para penulis lain, seperti Supali dan Elly, yang merasa prihatin karena bahasa daerah makin jarang digunakan oleh masyarakat. Anugerah Rancage memberi sedikit titik terang karena dapat menarik minat penulis daerah lain untuk turut menulis dalam bahasa lokal. “Ada penulis lain juga berniat menerbitkan buku sastra berbahasa daerah. Daya tariknya karena saya dapat Rancage,” ujar Supali.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo