Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Shandra Woworuntu diangkat menjadi penasihat OSCE untuk urusan perdagangan manusia.
Ia aktif mengkampanyekan anti-perdagangan manusia di Amerika Serikat.
Ia mendorong pengesahan undang-undang perdagangan manusia di Negeri Abang Sam.
SHANDRA Woworuntu menjalani rutinitas baru sejak awal Januari lalu. Aktivis yang berfokus pada penanganan perdagangan manusia ini diangkat menjadi penasihat Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE). Shandra satu-satunya orang Indonesia yang ditunjuk sebagai penasihat di lembaga yang beranggotakan 57 negara di Amerika Utara, Eropa, dan Asia tersebut. Organisasi ini berfokus mengatasi berbagai masalah keamanan, termasuk pengendalian senjata, hak asas manusia, dan kontraterorisme. “Surat penunjukannya sejak Desember lalu, tapi mulai aktif bekerja tahun ini,” kata Shandra, yang tinggal di New York, Amerika Serikat, melalui konferensi video, Selasa, 9 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shandra menjadi wakil resmi Amerika Serikat untuk memberikan nasihat tentang perdagangan manusia di OSCE. Namun Shandra juga ingin mewakili semua penyintas perdagangan manusia dari Indonesia. Ia, misalnya, mengenalkan program anti-perdagangan manusia di Tanah Air serta budaya dan makanan Indonesia di organisasi itu. Ia melakukannya di sela mempelajari berbagai hukum di Eropa dan menganalisis celah aturan tersebut. “Apa yang tidak mereka punyai, bisa kami berikan rekomendasi,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan pertama kalinya Shandra diajak bergabung dalam organisasi internasional. Pada 2017, OSCE memintanya memberikan nasihat dalam penyusunan edisi revisi buku panduan National Referral Mechanisms. Buku itu berisi panduan tentang bagaimana merancang dan menerapkan sistem berkelanjutan untuk memerangi perdagangan manusia serta memberikan dukungan kepada korban. Ia satu-satunya penyintas perdagangan manusia yang dimintai masukan.
Shandra antara lain membahas masalah asisten rumah tangga yang kerap dieksploitasi oleh orang yang mempekerjakan mereka di luar negeri, termasuk para diplomat dan anggota staf kedutaan yang biasanya membawa asisten rumah tangga dari negerinya. Mereka diperlakukan tidak layak, seperti dibayar dengan upah sangat rendah, bekerja tanpa batas waktu, dan tidur di lantai. “Kalau lagi musim dingin itu dingin sekali. Semestinya perlakukan mereka dengan manusiawi,” ucapnya dengan nada tinggi.
Ia juga mengkampanyekan masalah tersebut di Amerika Serikat sejak 2012. Shandra mendengar banyak cerita tentang sebagian diplomat yang tak memperlakukan asisten rumah tangga dengan layak. Regulasi tentang asisten rumah tangga yang ia kampanyekan akhirnya lolos. “Wakil pemerintah yang akan ke Amerika enggak boleh membawa asisten rumah tangga lagi, harus meng-hire dari sini,” tutur Shandra, yang pada 2020 terpilih sebagai satu dari seratus orang Asia Amerika yang paling mempengaruhi kebijakan dan politik New York oleh media City & State New York.
Shandra pun beberapa kali diminta menjadi pembicara dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia meluncurkan kampanye bertajuk “Mengapa Perbudakan?” untuk meningkatkan kesadaran akan perbudakan modern. Ia menyampaikannya dalam sidang PBB pada 2017 dan 2018.
Immamatul Maisaroh, yang mengenal Shandra sejak 2012, mengatakan Shandra sangat konsisten mengkampanyekan isu perdagangan manusia. Sebelum pandemi Covid-19, Shandra berkeliling ke banyak negara untuk menjadi pembicara tentang masalah ini. “Dia sangat bekerja keras,” katanya.
***
SHANDRA Woworuntu lahir di Indonesia 44 tahun silam. Ia mendapat gelar sarjana dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Jakarta. Ia sempat bekerja sebagai asisten manajer departemen perbendaharaan, pedagang pasar uang, dan analis keuangan di suatu bank. Tapi, pada 2001, ia kehilangan pekerjaan itu akibat krisis ekonomi.
Shandra lalu direkrut agen tenaga kerja yang menjanjikan dia bekerja di bidang perhotelan di Amerika Serikat. Namun, sesampai di Amerika, ia disekap dan dipaksa menjadi budak seks di New York. Shandra berhasil kabur dan meyakinkan polisi bahwa ia menjadi korban perdagangan manusia. Ia bekerja sama dengan penegak hukum untuk menghukum para pelaku perdagangan tersebut. Namun, seusai masa sulit itu, hidupnya tak serta-merta menjadi terang. Shandra menjadi tunawisma di New York selama tiga tahun. Ia kesulitan mendapat pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pengalaman itu yang membuat Shandra menjadi aktivis yang menyuarakan isu perdagangan manusia. Pada 2014, ia mendirikan Mentari Human Trafficking Survivor Empowerment Program Inc, organisasi nirlaba yang membantu para penyintas kembali berintegrasi ke masyarakat dan hidup mandiri. Ia antara lain mengajak Immamatul Maisaroh, perempuan Indonesia yang juga menjadi korban perbudakan di Amerika Serikat.
Mereka memberikan berbagai bimbingan, seperti lewat kelas memasak dan kelas menjahit serta tentang cara beradaptasi dengan kehidupan Amerika. Hal itu mereka lakukan, Shandra menjelaskan, karena banyak korban perdagangan manusia yang kembali menjadi korban lantaran tidak tahu cara bertahan hidup di Negeri Abang Sam.
Orang Indonesia lain yang turut membantu Mentari adalah Metta Murdaya. Ia bergabung setelah melihat perjuangan Shandra dan kawan-kawan. Menurut Metta, Shandra sebagai penyintas paham betul akan apa yang dibutuhkan para korban. “Banyak yang menyangka ketika korban sudah diselamatkan lalu happy ending. Padahal mereka kesulitan bertahan hidup dan akhirnya memilih kembali ke lingkaran yang sama karena diberi tempat tinggal dan makan, meski diperlakukan dengan sangat tidak layak,” ujar Metta, yang juga pendiri perusahaan perawatan kulit Juara. Mentari kini sudah membantu lebih dari 500 penyintas.
Shandra Woworuntu berbicara dalam International Transnational Human Trafficking Symposium, yang diselenggarakan oleh Interpol dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat di San Fransisco , 2017. US. Department of Defense and Interpol
Shandra juga vokal mendorong penerbitan peraturan tentang perdagangan manusia di Amerika Serikat. Ia bersama sebelas penyintas lain ikut mempresentasikan proposal undang-undang tentang pemberdayaan penyintas perdagangan manusia di depan Senat pada 2015. Shandra dan para aktivis lain meminta para penyintas tak dieksploitasi lagi oleh yayasan ataupun pemerintah. Undang-undang tersebut akhirnya disahkan pada tahun itu.
Para penyintas, kata Shandra, sering diundang pemerintah dan yayasan untuk berbagi pengalaman. Masalahnya, dia melanjutkan, mereka tak pernah mendapat bayaran atas undangan itu dan harus merogoh kocek sendiri. Padahal mereka harus meluangkan waktu dan meninggalkan pekerjaan. Bahkan ada penyintas yang sampai dipecat dari tempat kerjanya lantaran terlalu banyak absen. “Saya senang ketika diminta berbicara, menyuarakan apa yang kami alami. Namun saya perlu membayar orang untuk menjaga anak saya pada hari itu,” tutur ibu dua anak tersebut.
Nama Shandra mulai dikenal di Tanah Air ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama menunjuk dia dan Immamatul menjadi anggota Dewan Penasihat Perdagangan Manusia di Gedung Putih pada Desember 2015. Mereka bekerja bersama sembilan orang lain. Mereka memberikan banyak masukan kepada pemerintah, antara lain untuk mengidentifikasi perdagangan manusia dengan melihat transaksi mata uang kripto, seperti bitcoin. “Transaksi ini sering digunakan oleh mereka karena tidak melalui bank,” ucap Shandra.
Ketika Donald Trump menjadi presiden pada 2017, Shandra tidak terpilih lagi menjadi penasihat. Ia justru merasa lebih bebas berkampanye tanpa perlu khawatir akan urusan etik sebagai bagian dari pemerintah. “Saya tidak mau ada orang lain yang punya pengalaman seperti saya,” ujarnya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo