Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kesunyian ruang pamer permanen lantai satu, arca Sri Bhatara Anusapati (memerintah pada 1227-1248 versi Nagarakretagama), raja kedua Kerajaan Singosari sebagai reinkarnasi Mahadewa Siwa, bersemayam. Semestinya patung dari batu andesit setinggi 123 sentimeter itu bermukim di dalam ruang Candi Kidal di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar 20 kilometer ke arah timur dari Kota Malang, Jawa Timur.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dan bagaimana arca itu bisa berpindah tempat dari Candi Kidal ke Museum Tropen, yang beralamat di Linnaeusstraat 2, Amsterdam, Belanda, sekitar 12 ribu kilometer dari Malang. Yang pasti, August Johan Bernet Kempers dalam Ancient Indonesia Art (1959) meyakini bahwa arca Siwa yang tersimpan di ruang pameran bertajuk Ooswaarts (Ke Arah Timur) itu berasal dari Candi Kidal yang telah lama hilang.
Candi Kidal, yang dibuat sebagai tempat pendarmaan Anusapati, diperkirakan selesai dibangun pada 1260-12 tahun setelah Anusapati mangkat. Jadilah arca itu termasuk koleksi tertua di Museum Tropen dengan nomor inventaris A-5950. Tak mengherankan kalau ia digolongkan koleksi master piece yang dibanggakan Museum Tropen.
Bukan hanya itu, Museum Tropen juga menyimpan koleksi tua Nusantara lainnya. Salah satunya De Kris van Knaud (Keris Milik Knaud). Keris ini awalnya milik Paku Alam V (1878-1900) dari Yogyakarta yang dihadiahkan kepada Charles Knaud-anak tuan tanah dan pemilik perkebunan yang lahir di Jawa Tengah pada 1840. Pemberian itu sebagai terima kasih karena Knaud, yang sangat tertarik pada hal mistik dan terkenal sebagai dukun, berhasil menyembuhkan putra Paku Alam V yang sakit terkena guna-guna. Keris itu diperkirakan dibuat pada 1264 dalam kalender Jawa (1342 Masehi). Saat Jepang masuk ke Indonesia, keris ini ditemukan di kebun belakang rumah keluarga Knaud di Madiun.
Koleksi lain yang tak kalah tua dan menarik adalah Pustaha (buku pendeta dari Batak), yang dibuat sebelum 1850. Buku setebal 56 halaman ini semacam pedoman kerja bagi kaum pendeta. Ditulis dengan huruf Batak pada kulit kayu pohon alim, penutup sampul buku tersebut berbentuk patung ular mitologis Naga Padoha. Jika direntangkan, halaman buku ini panjangnya 17 meter. Koleksi ini satu-satunya di dunia.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah koleksi tekstil Indonesia. Koleksi ini adalah koleksi tekstil Indonesia yang terbesar di seluruh dunia. Ribuan koleksi tekstil Indonesia dengan berbagai motif hasil pengaruh Hindu, Buddha, India, Cina, Islam, dan Eropa disimpan. Karya batik hasil tangan maestro batik Indo-Belanda, Lien Metzelaar, salah satu koleksi yang dibanggakan Museum Tropen. Dengan pengaruh Eropa yang kuat, batik yang dibuat Metzelaar bertahun 1910 menandakan satu babak baru dalam dunia perbatikan Indonesia. Batik Belanda populer di kalangan masyarakat Eropa saat itu.
Koleksi Indonesia di bagian Ooswaarts Tropen dibagi dalam beberapa tema, yakni tentang Papua, Simbol, Kebudayaan Tua, Ide Baru, Identitas, Tekstil, Rempah-rempah, dan Perdagangan. Selain itu, ditemukan di ruang khusus tentang Hindia Belanda. Sebanyak 2.000 jenis benda adalah bekas koleksi Georg Tillmann, yang dikumpulkan sejak 1933 hingga 1939.
Tillmann, yang lahir di Hamburg pada 1882, adalah pejabat bank keturunan Yahudi. Awalnya dia tertarik pada porselen Eropa. Namun, setelah berkenalan dengan seorang kolektor bernama Carel Groenevelt, ia kemudian jatuh cinta berat pada karya seni Indonesia.
Pada 1933, Tillmann meminta Groenevelt berangkat ke Hindia Belanda untuk mengumpulkan koleksi di lapangan. Bertahun-tahun lamanya Groenevelt hidup di Hindia Belanda, mengirimkan hasil buruannya kepada Tillmann di Belanda.
Kebrutalan Nazi terhadap orang-orang Yahudi membuat Tillmann pada 1939 pindah ke Inggris. Seluruh koleksinya diungsikan ke Museum Kolonial, disembunyikan dari Nazi. Suatu saat koleksi akan diambil lagi. Tapi, melihat Nazi makin gencar membunuh orang-orang Yahudi, Tillmann memutuskan meninggalkan Eropa dan pindah ke Amerika Serikat. Seluruh koleksinya ditinggalkan dan tak pernah ia lihat lagi. Pada 1941, Tillmann meninggal di New York. Baru pada 1994, ahli warisnya memutuskan menghibahkan seluruh koleksi Indonesianya kepada Museum Tropen dengan syarat koleksi itu ditempatkan secara khusus dengan informasi seluas mungkin.
Pada 2014 dan 2015, Museum Tropen hanya akan disubsidi sebesar 11 juta euro. Setelah itu, pada 2016, cuma sebesar 5,5 juta euro. Kemudian Museum Tropen harus berdiri sendiri dan lepas sepenuhnya dari subsidi pemerintah. Seperti banyak museum di Belanda, Museum Tropen juga mencari dukungan kepada BankGiro Loterij. Hasil penjualan lotere dari masyarakat ini setiap tahun menghasilkan dana jutaan euro, yang kemudian dialirkan kepada 50 museum. Dengan dana dari BankGiro Loterij, Museum Tropen dapat membeli sejumlah karya seni modern dan melengkapi koleksinya. Pada 2011, misalnya, Museum membeli karya perupa Indonesia, Eddie Hara dan Heri Dono.
"Koleksi-koleksi Indonesia tersebut sangat bernilai bagi kami," kata Wayne Modest, Kepala Urusan Museum Tropen. Menurut pria asal Jamaika yang tiga tahun terakhir ini berkiprah di Museum Tropen serta membawahkan 15 pekerja dan tujuh konservator itu, koleksi Indonesia sangat penting bagi masa depan Museum Tropen, yang akan digabungkan dengan Museum Etnologi di Leiden dan Museum Afrika di Berg en Dal. "Koleksi Hindia Belanda adalah salah satu koleksi awal Museum Tropen. Dan kami adalah salah satu museum antropologi terkaya di luar Indonesia yang memiliki koleksi tersebut," ujar Modest, yang saat ditemui Tempo didampingi oleh Pim Westerkamp, kurator Museum Tropen untuk sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara. "Kami sama sekali tidak mengurangi perhatian pada koleksi tersebut," dia menambahkan.
Tampaknya, koleksi Indonesia di Museum Tropen tidak akan pernah dilepaskan atau dikembalikan ke Indonesia. Bambang Hari Wibisono, Kepala Bidang Pers dan Publikasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda, mengaku belum mengetahui bagaimana nasib koleksi Indonesia di Museum Tropen bila nanti museum itu ditutup. "Apakah kelak ada koleksi Indonesia yang akan ditempatkan di Indonesia atau tidak, kami sama sekali belum tahu," katanya. Bambang mengakui sejauh ini Institut Tropen (Koninklijk Instituut voor de Tropen) menghibahkan 13 ribu buku dari Perpustakaan Tropen kepada Indonesia. Buku-buku itu sudah dikirim ke Jakarta. Tapi dia tak tahu di Indonesia akan disimpan di mana.
Lea Pamungkas (Amsterdam), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Nasib 13 Ribu Buku
Direktur Perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) Hans van Hartevelt akhirnya bisa menarik napas lega. Pasalnya, 98 persen dari separuh koleksi Perpustakaan atau Tropenbibliotheek dipastikan memiliki rumah baru. Adalah Perpustakaan Aleksandria atau Bilbliotheca Alexandria di Mesir yang menawarkan diri mengambil koleksi buku tersebut.
Kabar gembira pada akhir Oktober tahun lalu itu diperoleh Hartevelt langsung dari Direktur Perpustakaan Aleksandria Ismail Serageldin. Berbulan-bulan sebelumnya, sejak Perpustakaan Tropen menyatakan akan tutup per 1 Agustus 2013, Hartevelt dirundung pusing tujuh keliling mencari peminat yang bersedia menampung sekitar 500 ribu koleksi Perpustakaan Tropen terbitan setelah 1950 itu.
Bantuan dari Serageldin bak malaikat penyelamat bagi koleksi Perpustakaan Tropen. "Saya tak mampu membayangkan jika buku-buku itu harus berakhir di mesin pemotong kertas," kata Serageldin seperti dikutip Elsevier. Dalam dunia perpustakaan internasional, reputasi Perpustakaan Aleksandria sangat terkenal. Pada 2002, perpustakaan tersebut direnovasi untuk menjadi salah satu tempat bersejarah di Mesir dengan dana sumbangan sebesar US$ 64 juta dari negara-negara Arab dan US$ 21 juta dari maesenas terkenal Saddam Hussein.
Koleksi Perpustakaan KIT total berjumlah 900 ribu buku. Separuhnya, yakni sekitar 400 ribu buku yang berkategori warisan Belanda dan koleksi peta kolonial (peta kolonial dan kontemporer), sudah diambil oleh Rijksuniversiteit van Leiden Universitas Leiden. Rencananya, koleksi yang tak ternilai harganya ini akan dibuka kepada publik.
Sisa koleksi disebar ke banyak universitas dan institut. Koleksi yang berkaitan dengan perdamaian, keamanan, dan hukum internasional, misalnya, diambil oleh Vredespaleis di Den Haag. Publikasi tentang perempuan dan gender diterima oleh Atria Kennisinstituut voor emancipatie en vrouwengeschiedenis di Amsterdam. Indonesia sendiri kebagian jatah 13 ribu buku. Buku-buku itu dihibahkan lewat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag.
Kepala Bidang Pers dan Publikasi KBRI Den Haag Bambang Hari Wibisono mengatakan hibah 13 ribu buku dari KIT telah dilakukan dalam bentuk surat resmi, pertengahan Desember lalu. "Tidak ada syarat khusus. Indonesia hanya diminta membiayai pengepakan dan pengiriman," ujar Bambang. Pada 20 Januari lalu, D.J. Derk Vermeer, Presiden KIT (ad interim), dan Duta Besar Indonesia untuk Belanda, H.E. Retno L.P. Marsudi, melakukan penandatanganan atas hibah tersebut.
Buku-buku berkaitan dengan masalah pembangunan sumber daya manusia, antara lain politik dan keadilan hukum, pertanian, kebudayaan, transportasi, serta pengelolaan air, kata Bambang, dikirim langsung oleh Tropen ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. "Tak ada tempat yang cukup untuk itu di KBRI." Rencananya, buku-buku itu sampai di Jakarta akhir Januari ini.
"Selain itu, Perpustakaan Tropen menawarkan puluhan buku tua dan naskah-naskah kuno yang tak bernilai harganya untuk dipinjamkan, kemudian ditempatkan atau dipamerkan di beberapa museum di Indonesia," ucap Bambang. "Namun, dengan pertimbangan bahwa ini sangat riskan dan punya konsekuensi berat, kami menolak."
Ini hal aneh. Mengapa tawaran memamerkan dan meminjamkan naskah-naskah langka itu ditolak? Derk Vermeer, dalam wawancara lewat telepon dengan Tempo, membenarkan kabar bahwa pihaknya juga bermaksud memamerkan naskah-naskah kuno di museum-museum Indonesia. "Ya, awalnya kami hendak meminjamkan beberapa buku tua dan naskah kuno kepada Indonesia, tapi ditolak karena pertimbangan konsekuensi. Akhirnya naskah dan buku itu diserahkan kepada Rijksuniversiteit van Leiden."
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto mengaku baru mendengar informasi soal itu. Saat dihubungi pada pertengahan Januari ini, Harry, yang sedang berada di Museum Sangiran, mengatakan, "Saya belum dengar tentang Tropen yang ada kabar mengenai KITLV." Akan ditempatkan di mana 13 ribu buku itu?
Lea Pamungkas (Amsterdam), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo