Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kamis, 19 Desember 2013, pukul 12.30-15.30 dan Jumat, 20 Desember 2013, pukul 10.00-13.00, para peminat Perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT) dapat datang dan mengambil buku cuma-cuma. Ini adalah sisa koleksi perpustakaan. Karena penghematan besar-besaran, KIT terpaksa harus melakukannya."
Itulah isi pengumuman yang disebarkan di media massa, jejaring sosial, dan kemudian beredar dari mulut ke mulut yang mengagetkan banyak orang. Mengagetkan karena perpustakaan dengan gedungnya yang anggun dan sudah berusia 103 tahun itu harus berhenti di titik ini.
Marion Vorst, 42 tahun, salah satu dari ratusan orang yang tergerak mengambil buku gratis itu. Sejak pagi-pagi sekali, peneliti yang sudah 20 tahun bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk Afrika itu mendatangi gedung Institut Tropen, yang berada di pojok persimpangan Mauritskade dan Linnaeusstraat di Amsterdam, Belanda. Antrean tampak mengular sampai ke jalan raya, tapi Vorst tak bisa menghitung berapa tepatnya orang yang hadir waktu itu.
"Yang pasti, saya harus menunggu satu jam untuk bisa sampai ke gerbang Institut Tropen," kata perempuan berperawakan kurus dengan rambut kemerahan ini.
Dengan membawa tas-tas besar, Vorst berharap bisa mendapatkan buku yang ia sukai. Walau repot dengan persiapan Natal dan akhir tahun, ia tetap menyempatkan diri. Saat pulang, Vorst mengaku sepedanya kerap limbung karena beratnya bawaan. "Ya, mungkin tidak semuanya saya butuhkan, tapi akan saya simpan," ujarnya.
Penutupan Perpustakaan Institut Tropen resmi dilakukan per 1 Agustus 2013. Sejak tanggal itu, publik tidak dapat lagi mengakses seluruh koleksi perpustakaan, jurnal elektronik, dan pangkalan data ilmiah. Pengunjung juga tidak bisa memasuki ruang baca, ruang peta, dan ruang katalog digital. Penutupan ini merupakan imbas dari krisis pendanaan yang dihadapi Institut Tropen sejak akhir 2011, ketika Kementerian Luar Negeri memutuskan menghentikan subsidi tahunannya yang sebesar 20 juta euro mulai 1 Januari 2013.
Sejak terbetik rencana itu, Institut Tropen melakukan banyak langkah mengencangkan ikat pinggang. Sebelum menghentikan layanan perpustakaan, Institut menghentikan penyelenggaraan pertunjukan teater dan musik di gedungnya. Untuk mengurangi biaya operasional, segala bentuk pelatihan dan manajemen informasi ditiadakan. Memasuki 2014 ini, 23 dari 52 karyawan KIT dirumahkan.
Museum Tropen, salah satu museum etnografik terkemuka di Eropa yang berada di bawah Institut Tropen, juga terkena dampak kebijakan kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Mark Rutte. Museum yang berdiri pada 1864 ini akan digabungkan dengan dua museum etnografik lainnya yang ada di Belanda, yakni Museum Nasional Etnologi (Rijksmuseum Volkenkunde) di Leiden dan Museum Afrika di Berg en Dal.
Pengetatan ikat pinggang itu, selain memberi efek kepada masyarakat Belanda, mempengaruhi lembaga pendidikan mancanegara yang selama ini banyak bekerja sama dengan Institut Tropen. Indonesia salah satunya. Kebijakan baru itu, misalnya, berdampak pada Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Wakil Dekan Bidang Kerja Sama Fakultas Ilmu Budaya UGM Daud Tanudirjo menjelaskan, Institut Tropen merupakan lembaga yang memberi banyak kontribusi kepada kajian permuseuman di UGM. Menurut dia, sejak 2008, lembaga itu membantu penyusunan spesifikasi Program Museologi di Jurusan Arkeologi Pascasarjana UGM. Kerja sama itu berakhir tahun ini.
"Institut Tropen secara rutin mengirim dua-tiga kuratornya setiap semester untuk mengajar di Program Museologi," ucapnya. Para kurator Institut Tropen, Daud menambahkan, memiliki pengetahuan luas mengenai pengelolaan museum dan konservasi koleksi. FIB UGM, kata dia, masih ingin memperbarui kerja sama. "Termasuk menyelenggarakan seminar internasional tentang museum pada tahun ini." Tapi Daud tidak tahu tahun-tahun ke depan apakah masih bisa terjadi kerja sama. Ia masih berharap bisa.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat juga telah merasakan bantuan Museum Tropen. Balai Konservasi Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta mendapat bantuan Museum Tropen dalam melakukan konservasi koleksi museum-museumnya. Sedangkan Kabupaten Sintang dibantu dalam asistensi teknis pembangunan Pusat Kebudayaan Sintang dan Museum Kapuas Raya pada 2007.
Kisah pedih Institut Tropen itu bermula dari kebijakan penghematan anggaran yang digalakkan Kabinet Rutte. Pada 2008, ketika masih bekerja sama dengan partai populis yang anti-Islam, Partij Van Vrijheid, pimpinan Geert Wilders, Kabinet Rutte I melakukan pemotongan dana besar-besaran di bidang seni-budaya. Kabinet Rutte mencetuskan istilah mengejek terhadap dunia kesenian dan kebudayaan. Mereka menyebut dunia kebudayaan sebagai linkse hobby-hobi kiri. Terminologi ini menyindir dunia kebudayaan dan kesenian, yang selalu bergantung pada subsidi. Kabinet Rutte menargetkan penghematan sebesar 350 juta euro. Akibatnya, lembaga-lembaga seni budaya, termasuk perpustakaan dan museum, serta sekolah musik di Belanda terpaksa jungkir-balik.
Kebijakan penghematan itu mendapat tentangan keras. Protes dan petisi dilakukan. Misalnya unjuk rasa yang dilakukan anak-anak usia 6-11 tahun di depan Concertgebouw, gedung konser Amsterdam, 22 Oktober 2011. Tangan-tangan kecil itu membawa poster dengan wajah pedih: "Aku mencintai biolaku, tanpa ia dunia sepi". Setahun sebelumnya, pada 20 November 2010, berlangsung protes nasional bertajuk "Nederland Schreeuwt om Cultur" atau "Belanda Berteriak (Lantang)". Lebih dari 60 desa dan kota menggelar demonstrasi. Sekitar 75 ribu orang terlibat di dalamnya. Di Leidsplein, Amsterdam, dan De Nuede, Utrecht, ribuan orang datang untuk menyaksikan pergelaran berbagai komposisi musik berdasarkan karya Beethoven, Symphony No. 9.
Setengah tahun kemudian, tepatnya pada 24-27 Juni 2011, digelar Mars van der Beschaving, Pawai untuk Peradaban. Pawai secara maraton itu menempuh jarak 25 kilometer dari Rotterdam ke Den Haag. "Ini untuk menegaskan kembali dan sekali lagi kepada kabinet bagaimana kemarahan kami dan rasa tidak respek kami," Jan-Willem van Kamp, seorang pematung, menjelaskan. Aksi itu adalah terbesar yang pernah terjadi sampai hari ini. Dimulai di Festival Kebudayaan Oerol, aksi kemudian beranjak ke Rotterdam, Delft, kemudian berkumpul di Lapangan Malieveld, Den Haag. Lebih dari 2.000 orang berkumpul. Di sana digelar berbagai pertunjukan musik dari sekolah-sekolah musik serta pemajangan spanduk-spanduk dan poster-poster yang antara lain berbunyi "Alles van waarde is weerloos" ("Semua yang bernilai kembali lepas") atau "Kunst is de bouwsteen van een samenleving" ("Seni adalah pilar kerja sama").
Tiga bulan setelah demonstrasi akbar itu, delapan museum seni rupa modern memasang iklan di pelbagai media cetak menentang penghematan. "Kehancuran yang terjadi sekarang adalah sebuah kehilangan besar," demikian seruan Museum Boijmans van Beuningen, Rotterdam. "Ini seruan kepada kabinet untuk menghentikan penjagalan di bidang seni-budaya," kata direkturnya, Sjarel Ex, seperti dikutip Communicatie. Iklan tersebut ditandatangani pula oleh Museum Van Abbe di Eindhoven, Museum Centraal di Utrecht, Het Gemeentemuseum di Den Haag, dan Het Stedelijk Museum di Amsterdam.
Pada awal 2013, kian merebak kekhawatiran akan penutupan Museum Tropen, yang menjadi bagian dari KIT, dengan alasan penghematan melawan krisis ekonomi. Petisi secara online, "Selamatkan Museum Tropen", pun digagas oleh Jan-Willem van Rijnberk. Petisi itu ditujukan kepada Tweede Kamer (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk mendesak pemerintah memasukkan Museum Tropen dalam anggaran negara. Petisi ini menargetkan 40 ribu tanda tangan dukungan dari warga Belanda untuk mengatakan kepada pemerintah bahwa rakyat Belanda tidak setuju terhadap penutupan institusi yang mendunia itu.
Petisi online itu ternyata cukup ampuh. Pada 19 Juni 2013, Tweede Kamer memutuskan subsidi tetap diberikan kepada Museum Tropen sampai 2016. Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Pembangunan tetap akan memberikan subsidi sebesar 11 juta euro untuk tahun anggaran 2014 dan 2015. Kemudian langsung disambung oleh Kementerian Pendidikan sebesar 5,5 juta euro untuk 2016. Bukan hanya Museum Tropen yang mendapatkan subsidi, KIT juga mendapatkan dana sebesar 17 juta euro untuk mereformasi departemen-departemen lainnya.
"Kami gembira terhadap keputusan ini," demikian D.J. Derk Vermeer, anggota pengurus Museum Tropen, dalam siaran persnya, Juni tahun lalu. Yang sangat disayangkan dari proses ini adalah banyak terjadi pemecatan. Sebanyak 90 dari 260 lapangan pekerjaan di KIT dihilangkan. "Kami harus mengucapkan selamat tinggal kepada banyak orang, dan ini menyakitkan," ujar Vermeer.
TAPI, meski Museum Tropen dijanjikan tetap akan disubsidi sampai 2016, bayang-bayang kesedihannya tak terelakkan. Seusai liburan tahun baru lalu, Tempo merasakan hal ganjil ketika menapaki tangga-tangga ke arah gerbang indah gedung Markant Gebouw. Biasanya gedung berkarakter yang terletak di Jalan Mauritskade Nomor 63, Amsterdam, itu selalu dipenuhi hilir-mudik orang dengan buku tebal di tangan mereka. Banyak diskusi dilakukan di sana. Apalagi pada malam-malam saat digelar konser musik atau pertunjukan teater, selalu ada perasaan indah kala memasuki bangunan ini.
Siang itu, Selasa pertama pada 2014, memang masih terlihat beberapa orang lalu-lalang, tapi dari tipe yang berbeda. Sejak kegiatan Institut Tropen ditutup, tempat ini disewakan kepada untuk seminar apa saja. Sedangkan ruang teater masih dipakai untuk pertunjukan dengan sistem sewa dari penyelenggaranya. "Untuk bisnis," ucap perempuan setengah baya yang bertugas di bagian informasi.
Museum Tropen mulanya bernama Museum Kolonial. Museum Kolonial di Amsterdam itu adalah pindahan dari Museum Kolonial di Harleem. Museum Kolonial didirikan oleh Frederik Willem van Eeden, Sekretaris Maatschappij ter bevordering van Nijverheid (Lembaga untuk Promosi Industri), dengan tujuan untuk studi ilmiah tentang produk turunan dari koloni serta meningkatkan perdagangan dan produksi.
Dulu lahan tempat bangunan ini berdiri merupakan kawasan pekuburan Oosterbegraafplaats. Saat itu, Belanda tengah jaya-jayanya, dan bangunan ini dijadikan salah satu bukti kesuksesan kolonialisme Belanda. Dengan sumbangan beberapa perusahaan, Gedung Markant dibangun kembali dengan gaya neo-renaisans yang kaya dekorasi dan ornamen. Warna keemasan muncul di sana-sini dan berusaha sedekat mungkin mengacu pada ornamen dari kultur dari tanah-tanah jajahan Kolonial Belanda.
Museum Kolonial di Amsterdam dibangun melibatkan tiga arsitek, yakni J.J. Van Nieukerken, yang setelah meninggal digantikan anaknya, M.A. dan J. Van Nieukerken. Untuk mengerjakan ornamen dan dekorasi, dibentuk Commissie voor de Symboliek (Komisi untuk Simbol). Hasil kerja mereka dapat dilihat sejak pintu gerbang masuk, relief-relief, pahatan, dan potongan kayu yang menggambarkan perdagangan, kerajinan tangan, penjelajahan samudra, pembaruan, dan keterlibatan KIT.
Pada Perang Dunia I, pembangunannya sempat terhenti. Baru 11 tahun kemudian, pada 9 Oktober 1926, pembangunan itu rampung dan diresmikan oleh Ratu Wilhelmina. Saat diresmikan, Museum Kolonial memiliki 30 ribu koleksi obyek dan foto. Lima tahun setelah Indonesia merdeka, misi tidak lagi difokuskan pada kolonialisme, tapi pada isu tropis dan kebudayaan secara umum. Jangkauan kerjanya meluas ke wilayah tropis lain, seperti Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Namanya pun berubah menjadi Museum Tropen.
Museum Tropen kini memiliki 175 ribu koleksi, 155 ribu berupa foto, 10 ribu lainnya berupa gambar, lukisan, dokumen, dan naskah. Di bagian seni pertunjukan, terdapat 5.500 koleksi instrumen musik; ratusan atribut teater; boneka, termasuk wayang; kostum; topeng; dan perangkat lengkap gamelan. Di tingkat internasional, Museum Tropen termasuk museum terbesar untuk koleksi tekstil. Lebih dari 21 ribu jenis tekstil menjadi koleksinya, baik dalam bentuk kain maupun produk lain. Pada 2010, tercatat 197 ribu pengunjung mendatanginya.
Koleksi-koleksi itu kelak, pada awal 2017, mungkin tak lagi mengisi ruang-ruang di Markant Gebouw. Sebagian akan berada di Museum Nasional Etnologi atau Museum Afrika. Menurut keterangan petugas bagian informasi tadi, pada waktu mendatang, tempat ini akan disewakan kepada beberapa perusahaan. Sebagian besar orang di Belanda merasa dirampok oleh kebijakan ini. Sebab, jangankan meraup ilmu pengetahuan dari Perpustakaan Tropen dan Museum Tropen, kesempatan untuk menikmati keindahan Markant Gebouw yang kaya ornamen itu pun tampaknya kian tipis.
"Kami sudah lama merasa diremehkan oleh Kabinet Rutte yang neo-kapitalis dan pragmatis ini. Bidang seni dan budaya mereka sebut sebagai hobi kiri," kata Justus van den Bergh, 23 tahun, mahasiswa Universitas Leiden. Ia khusus datang ke Amsterdam untuk antre mengambil buku-buku gratis itu.
Dody Hidayat, Lea Pamungkas (Amsterdam), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo