Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari mana datangnya kekejaman?
Anwar Congo (dalam film dokumenter The Act of Killing Joshua Oppenheimer): seorang lelaki tua dengan paras seorang kepala sekolah dusun, seorang bapak dengan kehangatan sapa seorang tetangga, seorang teman bicara dengan senyum yang selalu membayang. Tapi juga seseorang dengan riwayat yang buas.
Kamera menyorotnya: ia tunjukkan apa yang dilakukannya ketika ia membunuh orang. Itu berlangsung di hari-hari yang gelap dan guncang 1965-1966: ia belitkan sebatang kawat besi ke leher seorang korban, lalu ia tarik sekencang-kencangnya hingga orang itu tercekik; ia letakkan kaki meja di tenggorokan orang yang dalam keadaan tak berdaya ditelentangkan, dan Anwar-bersama teman-temannya-duduk di daun meja sambil mengguncang-guncangkannya, sampai terdengar suara napas yang putus. Atau ia pukuli orang hingga berdarah-darah dan mati.
Menonton The Act of Killing adalah menonton sebuah teater keganasan. Tapi juga sebuah gambar hidup ingatan.
Anwar seorang preman yang hidup sebagai tukang catut karcis bioskop di Medan, mungkin di tahun 1950-an. Ketika film Amerika masih diperbolehkan diputar, dan orang ramai datang menonton, penghasilannya cukup. Tapi kemudian, menjelang pertengahan 1960-an, PKI berkampanye mengganyang produksi Hollywood. Film Amerika pun dilarang masuk. Pemerintah "demokrasi terpimpin" Bung Karno meneruskan gerakan anti-"neo-kolonialisme".
Tapi, bagi Anwar Congo, di masa "komunis yang ingin berkuasa" itu, kehidupan berubah drastis. Tak banyak lagi penonton bioskop. Gedung itu sepi. Anwar, si tukang catut, kehilangan nafkah. "Kita sebagai preman susah cari makan."
Lalu datang Oktober 1965. PKI dituduh berada di belakang pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat, dan gelombang besar antikomunis menjulang, menggulung. Militer menggerakkan mesinnya. Orang "komunis" di mana-mana ditangkap dan dibunuh atau dikurung. Di Kota Medan, Anwar-dengan dendam di hati-jadi jagal. Di hari-hari itu, kata seseorang yang mengenalnya, mendengar nama Anwar saja orang ketakutan.
Anwar tersenyum lebar mendengarkan cerita itu. Ia bangga.
Dari mana datangnya rasa bangga akan kekejaman? Dari dalam dirinya? Bukankah ia seorang manusia?
Saya ingat kata-kata Ivan Karamazov: "Orang kadang-kadang berbicara tentang kebuasan binatang, tapi itu sangat tak adil bagi hewan. Hewan tak pernah sekejam manusia, hewan tak pernah begitu kejam secara artistik."
Mungkin Dostoyevski menciptakan Ivan dalam novel Karamazov Bersaudara untuk membuat kita tak percaya lagi-setidaknya sejenak-kepada makhluk yang, menurut kitab suci, diciptakan sesuai dengan citra Tuhan itu. Manusia, kata Karamazov ini, lebih dari macan. Macan "tak akan berpikir untuk memaku kuping orang, seandainya pun ia bisa melakukannya".
Ivan kemudian bercerita tentang tentara Turki yang menduduki Bulgaria: para serdadu yang merenggutkan orok dari perut ibunya, atau-setidaknya dalam cerita Ivan-para serdadu yang membuat seorang bayi tertawa-tawa sebelum kepalanya mereka tembak dari jarak dekat.
Manusia, kata Ivan pula, telah menciptakan Iblis mirip dengan dirinya.
Di sini, saya kira, Dostoyevski ingin menciptakan satu bagian yang hiperbolik untuk novelnya. Sebab di luar novel, kekejaman, kekejian, kejahanaman, mala-semua itu tak terjadi sebagai ekspresi sifat-sifat Setan yang kekal. Tapi juga tak selamanya larut ke dalam rutin hidup sehari-hari. Hannah Arendt melihat adanya "the banality of evil". Saya lebih melihat "the contingency of evil". Yang mala, yang keji, yang jahanam, bisa terjadi tapi juga bisa tidak, bergantung pada sebuah masa, sebuah tempat: sebuah situasi.
Bagi saya, The Act of Killing merisaukan hati bukan karena film ini mendokumentasikan kekejaman Anwar Congo. Sebuah gambar hidup ingatan adalah sebuah narasi yang berlubang-lubang: Anwar tak mengisahkan riwayat hidupnya secara penuh; dalam film ini, latar Kota Medan-hubungan etnis dan ketegangan kelas-kelas sosialnya-tak tergambar.
Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, di Medan tak ada konflik di sekitar tanah pertanian yang meledak dalam kebuasan terhadap para pendukung PKI. Yang tampak dalam film dokumenter ini sebuah latar lain-dan itulah justru yang merisaukan: kekejaman Anwar Congo adalah bagian yang akrab dengan apa yang bisa disebut sebagai "ekologi kekerasan". Ia tak akan berhenti setelah semua orang "komunis" dihabisi.
"Preman"-apa pun etimologi kata ini-adalah bagian masyarakat yang paradoksal. Mereka tak sepenuhnya di dalam. Mereka, dengan diperlakukan sebagai sesuatu yang di-"luar" kehidupan bersama yang resmi, artinya di "luar" polis, secara tak langsung justru membangun makna polis sebagai wilayah tempat hukum dan lembaga-lembaga politik berfungsi. Tapi pada saat yang sama "preman", seperti yang ditunjukkan dalam The Act of Killing dalam wujud Pemuda Pancasila, juga bagian dari kekuasaan yang membuat polis ditegakkan dan politik dijalankan.
Dengan seragam, upacara, dan hierarki yang mirip tentara resmi, dengan pertemuan yang dihadiri bahkan oleh seorang Wakil Presiden, dengan anggota yang berwajah bengis yang dengan sewenang-wenang mengutip uang dari pedagang kecil orang Tionghoa di pasar, para preman itu menunjukkan betapa akrabnya kekuasaan dengan kekerasan.
Anwar Congo lahir sebagai jagal di tengah ekologi kekerasan itu. Dan ia tak sendiri.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo