Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesian Music Expo digelar secara luring di Ubud 24-27 Maret 2022
18 grup musik etnik tampil di sana
Buyer dari luar negeri mulai melirik grup musik Indonesia
“TENG, teng, teng, tong, teng, tong, trung, treng, teng, teng, teng” nada suara itu terdengar diulang beberapa kali di halaman parkir Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali, tempat berlangsungnya Indonesian Music Expo (Imex) 2022 selama empat hari pada 24-27 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suara tersebut bersumber dari kaleng berwarna perak yang dijinjing oleh seorang pria paruh baya. Benda itu berbentuk setengah lingkaran. Di dalamnya tersimpan penganan arum manis warna merah muda yang dijual kepada pengunjung Imex dengan harga Rp 5.000 per bungkus. Untuk mengundang pembeli, si penjual memukul-mukul kaleng arum manis. Pukulan dengan tempo sedang pada lima kotak di sisi luar kaleng mengeluarkan suara berirama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak berselang lama, Franki Raden, 69 tahun, yang merupakan penggagas acara Imex, datang bersama dua rekannya. Sejurus kemudian, ketiganya membeli arum manis dari si penjaja yang asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, tersebut. Secara khusus, Franki mengundangnya ke Ubud demi meramaikan pergelaran Imex 2022.
Di tempat asalnya, penganan ini dinamai gula gending. Franki menilai ini jajanan unik, karena tak hanya menawarkan makanan, tapi juga unsur musik. “Sekarang masih mudah ditemui di Lombok, khususnya sekitar Kota Mataram,” ujarnya saat ditemui Tempo, Sabtu sore, 26 Maret lalu. Franki yang juga seorang etnomusikolog mengatakan gula gending adalah seni jalanan atau street art. “Dulu kan tidak ada ruang khusus untuk menampilkan seni. Jadi di jalanan saja,” tuturnya.
Penampilan grup musik Cilokaq pada acara Indonesia Music Expo 2022, di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali. Dok. Panitia
Untuk menghasilkan nada, pada sisi luar tempat gula gending sengaja diisi semacam kotak kosong. Kotak ini dipukul hingga mengeluarkan suara nyaring. Menurut Franki, pengaturan nada ada pada proses pembuatan kotak arum manis itu, yang secara tersirat menunjukkan bahwa proses menggali akar musik tidak harus formal. Inilah yang juga ingin disampaikannya lewat Imex 2022.
Imex adalah festival yang mengusung world music, termasuk musik tradisi. Perhelatan ini digelar untuk mempertemukan seniman musik tradisi dari berbagai penjuru Nusantara kepada pihak industri alias “pembeli” (buyer). Peminatnya bisa dari pemilik label rekaman, penyelenggara tur musik dunia, hingga jurnalis musik. Dalam acara ini, musikus etnik tampil di panggung untuk mengenalkan musik mereka, baik kepada pengunjung “biasa” maupun buyer.
Mekanismenya serupa dengan pagelaran dunia yang lebih dulu hadir, Worldwide Music Expo alias Womex yang digelar tahunan di Eropa. Ini adalah tahun kedua perhelatan Imex. Sebelumnya, pada pertengahan tahun lalu, perhelatan ini berlangsung daring karena pandemi.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid berharap Imex ke depan tak hanya mempertemukan musikus tradisi Indonesia dengan pihak industri ataupun peminat world music. Namun ini juga membuka kesempatan seniman Indonesia untuk bertemu dengan sesama musikus tradisi yang memungkinkan lahirnya kolaborasi baru dan eksplorasi musik Nusantara.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Ahmad Mahendra menambahkan, Imex merupakan puncak dari serangkaian festival musik yang digelar Kementerian Pendidikan. Sebelumnya, Kementerian menggelar festival musik tradisi di sejumlah daerah, seperti Pulau Samosir, Sumatera Utara, dan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Barat.
Franki Raden (kiri) saat acara Indonesian Music Expo 2022 di Museum Puri Lukisan, Ubud, Bali, Maret 2022. TEMPO/Made Argawa
Istilah world music atau musik etnik mucul secara global sekitar 30 tahun lalu. Penyebutan world music awalnya hanya digunakan dalam lingkungan akademik pada bidang etnomusikologi. Namun, setelah produsen dan toko cakram padat raksasa di Amerika Serikat dan Eropa seperti Virgin Record menggunakan nama ini untuk menjual produk khusus “World Music”, istilah ini menjadi populer.
•••
DALAM pergelaran tahun ini, terdapat sejumlah musikus dari berbagai penjuru Nusantara yang unjuk gigi di Imex. Ada yang dari Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, dan kelompok musik dari daerah lain. Bisa dibilang, kelompok-kelompok itu sudah punya pamor di kancah domestik, bahkan sebagian sudah pernah naik panggung mancanegara. “Poin paling penting untuk tampil di Imex adalah orisinalitas. Jika tidak ada itu, saya tidak mau,” ucap Franki.
Kurasi peserta yang tampil di Imex dilatari perjalanannya selama satu dekade terakhir. Ia menjelajahi Nusantara untuk menemukan seniman dan musik etnik. Kendati demikian, dia merasa masih cemas ihwal kelompok yang bakal tampil di pergelaran ini pada tahun mendatang. Franki menargetkan setidaknya 15 band baru untuk mengisi Imex berikutnya. Lebih baik lagi, kata dia, bila seniman itu berasal dari kalangan muda yang membawa gairah baru dalam pertunjukannya.
Karena itu, rencananya Franki kembali akan menjajaki seniman di Lembah Baliem yang sudah pernah ia jumpai. Selain ke pedalaman Papua, ia berencana blusukan ke pedalaman Kalimantan untuk menggali lebih dalam lagi kekayaan musik etnis Dayak. “Saya berharap pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendukung langkah ini sebagai upaya pelestarian cagar budaya,” katanya.
Penampilangrup musik Sako Sarikat asal Lampung pada acara Indonesian Music Expo, Maret 2022. Dok. Panitia
Untuk “cek ombak” sekaligus mensosialisasi Imex, Franki menyambangi Worldwide Music Expo (Womex) di Portugal, 27-31 Oktober 2021. Di sana, banyak buyer yang menyatakan keinginannya untuk datang ke Ubud demi Imex. Namun, gara-gara pandemi Covid-19, hanya tujuh buyer yang datang ke Ubud.
Franki memperkirakan nilai ekonomi musik etnik secara global mencapai US$ 6,5 miliar. Besarnya nilai uang yang beredar pada industri musik etnik inilah yang memicu munculnya Womex serta World of Music, Arts, and Dance (WOMAD). “Kami ingin Imex bisa menyamai itu, meski prosesnya lama,” tutur Franki. Pertunjukan langsung disebutnya masih menjadi magnet utama untuk menarik minat orang terhadap festival ini.
Untuk memancing pengunjung pada tahun awal perhelatan, Imex tak membebankan tiket masuk pada pengunjung. Ini berbeda dengan WOMAD dan Womex yang harga tiketnya berkisar 300 euro atau Rp 4,78 juta. Ubud juga sengaja dipilih sebagai tempat penyelenggaraan karena desa ini menjadi destinasi wisata turis asing, pun selama masa pandemi. Ini yang membuat setidaknya ratusan pengunjung datang ke festival.
Terlebih sepanjang empat hari ada konser gratisan yang disuguhkan 18 grup musik. Dari Sumatera ada Kande, Suarasama, Riau Rhytm, Sako Sarikat, dan Musik Batak Karo. Dari Baku tampil tiga grup: Bona Alit, Jegog Suar Agung, dan NoizeKilla, sedangkan dari Nusa Tenggara Timur ada Marinuz Kevin dan Folksong of Flores. Adapun dari Sulawesi tampil Dadendate dan Painkan Indonesia, dari Nusa Tenggara Barat ada Cilokaq dan Aksilaras, dari Jawa tampil Sambasunda dan Indonesian National Orchestra, Kalimantan diwakili oleh Tingkilan Kota Raja, sementara dari Maluku ada Hawaiian Teluk Ambon.
Lewat Imex, Fanki menganggap musik etnik Indonesia sedang berusaha merebut peluang pasar musik global. Namun hal itu memang tidak mudah. Terutama proses memperkenalkannya hingga mancanegara. “Untuk membuat pameran seperti di WOMEX pasti sulit. Siapa yang mau ngongkosi untuk membuat gerai-gerainya? Kecuali senimannya sudah kaya,” ujarnya.
Seorang buyer asal Kanada, Umair Jaffar, menilai Imex menjadi tempat yang bagus untuk orang dari luar Indonesia mengetahui ragam musik etnik di Nusantara. “Selama ini orang paling tahunya gamelan,” kata Direktur Eksekutif Small Wolrd Music dan Global Toronto Conference ini saat ditemui dalam acara.
Jaffar datang ke Ubud demi menengok Imex. Ia mengetahui acara ini dari Franki Raden saat bertemu di Womex 2021 di Porto, Portugal. Karena Imex digelar di Ubud, ia pun sekaligus mengajak anak dan istrinya berlibur. Dari empat hari perhelatan, ia tertarik pada penampilan grup Musik Batak Karo asal Sumatera dan Cilokaq asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Menarik jika Cilokaq tampil di Kanada,” ujarnya.
Namun niat ini sementara tertunda. Franki beralasan, Cilokaq baru terbentuk dan hanya punya sedikit lagu orisinal. Jikapun bertandang ke Kanada, itu mungkin baru bisa terlaksana tahun depan. Begitu pun grup musik Kande asal Aceh yang diminati salah satu buyer untuk tampil di luar negeri.
Franki Raden (kanan) saat acara workshop di Indonesian Music Expo 2022 di Ubud, Bali 2022. Dok. Panitia
Bagi Kevin Marinus asal Nusa Tenggara Timur, Imex menjadi peluang bagi musikus seperti dia untuk memperluas jejaring. Setelah tampil membawakan empat lagu berbahasa Nusa Tenggara Timur, ia dan kawan-kawan pun berusaha mendekati buyer yang datang ke sana. Begitu juga Edi Susanto, salah satu personel Cilokaq. Walau baru terbentuk dua tahun, Cilokaq sudah diajak Umair Jaffar untuk berpentas di Kanada. “Tapi Pak Franki bilang jangan dulu,” ucapnya. Franki sendiri menjadi mentor bagi Cilokaq yang anggotanya berasal dari tiga sanggar di Lombok. Menurut Edi, setelah tampil di Imex, mereka akan berfokus mengerjakan lagu baru lebih dulu.
Perwakilan dari Womex, Christine Semba, mengaku terkesan oleh Imex karena mengetahui Indonesia kaya akan musik tradisi. “Banyak band bagus yang tampil di sini,” tutur perempuan asal Jerman ini. Hal itu dianggap Semba menjadi modal bagi perkembangan musik etnik di Indonesia. Menurut dia, selain festival seperti Imex, penting adanya dukungan penuh dari pemerintah. Seperti halnya pemerintah Korea yang mendukung perkembangan musik pop Korea atau K-pop. “Saya berharap musik etnik di Indonesia juga begitu.”
Ke depan, Semba menilai Imex bisa seperti Womex yang mewadahi musikus dari 102 negara. Tahun ini, misalnya, sudah ada 1.270 perusahaan musik yang bakal terlibat di sana serta 290 musikus world music dan hampir seribu promotor acara musik. Namun, untuk bisa tampil di sana, syaratnya tak mudah. Penampil harus lebih dulu mengajukan proposal dan mengikuti seleksi karena jumlah pendaftarnya mencapai ribuan. Walau mereka tampil atas biaya sendiri, bisa dipastikan para musikus akan balik modal karena di Womex mereka mendapat tawaran menarik.
Sebagai penggagas, Franki membayangkan tahun depan Imex akan mengundang pemusik mancanegara sebagai pengisi acara dan menggelar pelatihan bersama untuk memancing kolaborasi. Ia juga berencana membuat forum yang mewadahi diskusi musikolog tentang musik Indonesia. Mengingat gairah konser virtual yang lahir karena pandemi, Franki optimistis peluang pemusik etnik Indonesia juga besar. “Selama pandemi pun musik etnik tumbuh karena para pekerja di industri ini solid mengembangkannya,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo