Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegiat lingkungan mendesak pembaruan peta jalan keuangan berkelanjutan yang dibangun Otoritas Jasa Keuangan.
Perbankan teridentifikasi terus menggelontorkan dana ke debitor yang berisiko merusak hutan.
OJK menyiapkan peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II untuk penguatan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola di bisnis jasa keuangan.
TANTANGAN berat dihadapi Otoritas Jasa Keuangan. Peta jalan keuangan berkelanjutan yang mereka gulirkan enam tahun lalu dianggap belum ampuh memaksa industri jasa keuangan agar mengerem penyaluran pembiayaan kepada korporasi-korporasi yang berisiko merusak lingkungan hidup. "Reformasi dibutuhkan untuk memaksa bank menerapkan kriteria pinjaman yang lebih ketat," kata Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia Edi Sutrisno, Jumat, 4 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OJK menggulirkan peta jalan keuangan berkelanjutan 2015-2019 di penghujung 2014. Ketua Dewan Komisioner OJK saat itu, Muliaman D. Hadad, menyebut peta jalan ini sebagai bagian dari peran OJK dan industri jasa keuangan dalam menyokong berbagai komitmen Indonesia terhadap upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahap awal, peta jalan ini menyasar penguatan keuangan berkelanjutan lewat regulasi dan sistem pelaporan, peningkatan pemahaman, pengetahuan, dan kompetensi pelaku industri jasa keuangan. Kelak, secara jangka panjang 2020-2024, peta jalan bakal fokus mengintegrasikan manajemen risiko, tata kelola perusahaan, penilaian tingkat kesehatan bank, dan pembangunan sistem informasi terpadu yang berkaitan dengan keuangan berkelanjutan.
Edi mengatakan, upaya meningkatkan kompetensi pelaku industri jasa keuangan memang telah dimulai sejak peta jalan itu bergulir. Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan digelar melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti bankir hingga organisasi non-pemerintah. Dari peta jalan ini pula lahir Peraturan OJK nomor 51 Tahun 2017 yang mewajibkan bank di Indonesia agar menyusun Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan. Bank juga harus menerbitkan Laporan Keberlanjutan tahunan untuk menunjukkan bagaimana perseroan mengelola risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST).
Di tahap awal, semuanya tampak menjanjikan. Pada Mei 2018, misalnya, OJK menginisiasi lahirnya Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) yang berisi delapan bank first mover implementasi praktik keuangan berkelanjutan. Delapan bank ini menguasai 46 persen aset perbankan nasional, yakni meliputi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Artha Graha Internasional Tbk, PT Bank BRIsyariah Tbk, PT Bank Muamalat, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk.
Sepanjang lima tahun pertama peta jalan keuangan berkelanjutan itu, perbankan juga mulai membuka laporan tata kelola keuangan berkelanjutan mereka. "Tapi faktanya, mereka tak berhenti membiayai debitor-debitor yang selama ini mengancam hutan," kata Edi.
Aksi aktivis lingkungan dari berbagai lembaga non pemerintah menolak Bank BNI memberi pinjaman kepada Korindo di depan Gedung OJK Jakarta, 30 Juni lalu. Foto: Walhi/Aminullah
Kasus kebakaran hutan dan lahan 2019 menjadi acuan TUK Indonesia bersama Rainforest Action Network (RAN), Jikalahari, Walhi, dan Profundo untuk menilai komitmen bank. Mereka mengidentifikasi 17 grup di balik 83 perusahaan kehutanan dan perkebunan sawit yang disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kelompok usaha itu merupakan emiten-emiten di Bursa Efek Jakarta, Kuala Lumpur, dan Singapura.
Raksasa-raksasa industri kehutanan dan perkebunan sawit ditengarai menerima pembiayaan US$ 19,1 miliar atau senilai Rp 262 triliun sepanjang 2015-2019. Di antara daftar kreditornya adalah tiga bank first mover Industri Keuangan Berkelanjutan Indonesia: BRI, Bank Mandiri, BNI.
Sekretaris Perusahaan BNI, Meiliana, menegaskan perusahaannya menganut prinsip kehati-hatian dalam memberikan pembiayaan kepada debitor. Pembiayaan, kata dia, harus memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. Dia mencontohkan pembiayaan kepada perkebunan sawit. BNI hanya menyalurkan kredit kepada perusahaan yang mengantongi sertifikasi keberlanjutan, baik dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). “Agar dapat memastikan pembiayaan kepada debitor sawit yang berkelanjutan,” kata Meiliana.
Dengan prinsip ini, menurut Meiliana, BNI juga memperhatikan isu-isu deforestasi, potensi tumpang tindih konsesi perusahaan dengan lahan masyarakat atau area konservasi, atau pelanggaran legalitas lainnya oleh para debitor. “Apabila ditemukan pelanggaran, BNI akan melakukan verifikasi untuk meminimalisasi pemberian kredit yang tidak patuh pada peraturan yang berlaku,” ujarnya.
Upaya Tempo meminta penjelasan dari BRI dan Bank Mandiri tak membuahkan hasil. Sekretaris Perusahaan BRI, Aestika Oryza Gunarto, sempat membalas pesan pada Selasa, 8 September lalu, untuk meminta waktu menyiapkan jawaban. Namun hingga Jumat, 11 September lalu, dia tak lagi menanggapi pesan pendek dan panggilan Tempo. Adapun Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rully Setiawan sama sekali tak menjawab pesan dan panggilan Tempo soal temuan sejumlah kelompok masyarakat sipil.
Otoritas Jasa Keuangan sebenarnya juga telah mengevaluasi implementasi peta jalan keuangan berkelanjutan 2015-2019 yang selama ini berfokus pada peningkatan kesadaran dan kapasitas industri jasa keuangan. Evaluasi terhadap peta jalan tahap pertama ini, kata juru bicara OJK Sekar Putih Djarot, dilakukan dengan mengkaji dokumen Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan dan Laporan Keberlanjutan yang disusun oleh industri jasa keuangan.
Sekar mengatakan hasil evaluasi menunjukkan pentingnya beberapa langkah penyempurnaan pada peta jalan keuangan berlanjutan tahap kedua yang kini sedang disiapkan oleh lembaganya. Menurut dia, OJK juga berencana merevisi pedoman teknis untuk implementasi POJK Nomor 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, serta POJK Nomor 18/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Sekar berharap pengembangan peta jalan ini akan menjadikan inisiatif keuangan berkelanjutan sebagai arus utama dalam setiap pelaksanaan kredit, pembiayaan, dan investasi di sektor jasa keuangan. “Saat ini OJK sedang melakukan finalisasi roadmap tahap II,” kata Sekar. “Antara lain peningkatan pemahaman, penguatan ketentuan serta hubungan kelembagaan terhadap inisiatif keuangan berkelanjutan.”
Disinggung soal industri jasa keuangan yang masih membiayai perusahaan-perusahaan berisiko tinggi merusak lingkungan, Sekar menjelaskan, bahwa OJK terus berupaya mengarahkan agar seluruh lembaga jasa keuangan menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan, terutama aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. “Penerapan ini tentu memerlukan waktu sampai dapat diimplementasikan secara menyeluruh di sistem jasa keuangan,” kata dia. Sekar memastikan, pengawas OJK juga melihat aspek kepatuhan dan kesadaran bank terhadap implementasi keuangan berkelanjutan dalam melakukan pemeriksaan.
Artikel ini ditayangkan pada Selasa, 15 September 2020, untuk memperbaiki akurasi pemberitaan di artikel sebelumnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo