Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebakaran 2019 melanjutkan tren 20 tahun terakhir, selalu meningkat setiap tiga-lima tahun. Mengapa begitu?
Kalau melihat tren, itu betul, tergantung iklim. Tahun lalu kemarau panjang dan kering sekali. Pada 2015 paling parah. Ini bukannya saya berlindung di balik iklim. Pertama, kita memang tak bisa lepas dari faktor alam. Tapi, kedua, keadaan gambut kita yang sudah terbuka dan kering itu juga masih banyak. Dari 14 juta hektare gambut di Indonesia, yang terbuka setengah lebih. Ada yang dikelola dengan baik, ada yang tidak.
Apa maksudnya tidak dikelola dengan baik?
Masih ada praktik tidak bertanggung jawab. Tindakan membakar besar-besaran ini bukan petani yang cuma buka lahan 1-2 hektare. Ini masih ada oknum yang membuka lahan sampai puluhan hektare. Bukan sporadis, ini terpola dan besar. Jadi ada faktor ketiga, penegakan hukum. Jika menemukan oknum yang membakar, sengaja, dan berniat jahat, harus diproses secara hukum, dicari sampai ke pemodalnya. Biasanya pemodal yang memiliki kekuatan finansial dan hubungan politik yang bisa membakar besar-besaran.
Apakah pengawasan 14 juta hektare lahan gambut tadi semua di BRG?
BRG diberi kewenangan oleh Presiden seluas 2 juta hektare. Setelah dipetakan gambut-gambut yang terbakar pada 2015 dan rentan kembali terbakar, target restorasi menjadi 2,6 juta hektare, terdiri atas 1,7 juta hektare gambut konsesi (melekat izin di atasnya) dan 900 ribu hektare non-konsesi. Wilayah BRG yang 900 ribu hektare non-konsesi. Kami sudah melakukan pembahasan 800 ribu hektare, jadi sisanya harus dituntaskan akhir 2020.
Bagaimana dengan 1,7 juta hektare gambut konsesi?
Kami ada nota kesepahaman dengan Direktorat Jenderal Perkebunan untuk melakukan bimbingan teknis pembahasan di 555 ribu hektare gambut konsesi perkebunan sawit yang telah mengantongi hak guna usaha, dan sudah dilakukan pembahasan di 442 ribu hektare atau sekitar 78 persen. Sisanya, 1,2 juta hektare di hutan tanaman industri (HTI), langsung di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Temuan kami mensinyalir PT Bumi Mekar Hijau, perusahaan HTI, membangun kanal besar-besaran dan membelah kesatuan hidrologis gambut (KHG) di dekat Sungai Way Mesuji Lampung….
Kami berfokus di gambut non-konsesi dan konsesi sawit. HTI di KLHK.
Kami juga menemukan PT Kumai Sentosa yang juga diduga membelah KHG Sungai Buluh Besar sebelum kebakaran hebat tahun lalu….
Saya sedang melihat lagi daftar perusahaan sawit yang sedang kami beri bimbingan teknis. Nama itu tidak ada. Perusahaan yang kami beri bimbingan teknis itu sudah ada HGU, clean and clear. Tapi, menurut peraturan pemerintah dan peraturan gambut mutakhir, siapa pun tidak diperbolehkan membuka kanal untuk pengeringan gambut.
Bukankah gambut itu satu kesatuan ekosistem? Mengapa dibagi-bagi kewenangan mengawasinya?
Pembinaan oleh pemerintah itu yang punya wewenang KLHK. Kami hanya memfasilitasi. Tugas kami memantau gambut di luar konsesi.
BRG akan habis masa tugas kelembagaannya. Apakah perlu diperpanjang?
Kami menunggu peraturan baru. Kita tunggu saja. Tapi kuncinya bukan hanya itu. Koordinasi dengan berbagai kewenangan dan monitoring diperlukan. Biar kesalahan tidak berlarut-larut. Presiden sendiri sudah memerintahkan tata kelola per ekosistem, per KHG. Prosesnya sedang berjalan. Target kami harus selesai untuk pemetaan 106 KHG akhir tahun ini. Ini bisa menjadi solusi permanen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo