Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim forensik menemukan tiga luka tembak di tubuh Brigadir Yosua.
Satu luka diduga berasal dari tembakan di atas kepala.
Ada banyak hambatan pada proses autopsi kedua Brigadir Yosua.
TELEPON seluler Ade Firmansyah Sugiharto berbunyi saat pesan masuk pada Kamis, 21 Juli lalu. Pengirim pesan adalah Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI yang meminta Kepala Departemen Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, itu membentuk tim autopsi ulang jenazah Brigadir Yosua Hutabarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenazah Brigadir Yosua terkubur di kampung halamannya di permakaman umum Simpang Yanto, Kecamatan Sungai Bahar, Muarojambi, Jambi. Polisi menyebutkan sopir Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo itu tewas dalam baku tembak dengan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu pada Jumat, 8 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klaim polisi itu meragukan setelah pengacara keluarga Brigadir Yosua mengungkap banyak luka janggal di tubuh polisi 27 tahun tersebut. Keraguan banyak orang itu membuat polisi berniat membongkar kembali kuburan Yosua dan memeriksa ulang tubuhnya. Mendapat permintaan itu, Ade Firmansyah setuju.
Ia membentuk tim beranggota sepuluh orang. Lima di antaranya dokter forensik dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo; Rumah Sakit Pusat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; Universitas Udayana, Bali; dan Universitas Andalas, Sumatera Barat. Ada juga dua teknisi yang membantu mereka. Selain itu, Ade mengajak tiga guru besar sebagai penasihat. “Autopsi ulang bukan sesuatu yang lumrah,” katanya pada Rabu, 3 Agustus lalu. “Kami tidak tahu masalah atau kekurangan saat autopsi pertama.”
Ade dan timnya membongkar makam Brigadir Yosua pada Rabu, 27 Juli lalu, sekitar pukul 07.30 WIB. Semua anggota keluarga inti Yosua menghadiri pembongkaran makam itu. Puluhan polisi mengawal ketat proses penggalian.
Ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, terlihat lunglai saat menghadiri pembongkaran makam. Sesekali ia menjerit histeris. Ia beberapa kali mengatakan anak keduanya itu disiksa dan dibunuh. “Tolong kami, Yesus, berikan keadilan untuk anakku,” ujar Rosti. Tangis Rosti mulai reda saat kerabatnya memapah dia menjauh dari makam.
Yosua ditemukan meninggal bersimbah darah di rumah dinas Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Markas Besar Polri mengklaim Brigadir Yosua tewas ditembak Bharada Eliezer. Keduanya adalah ajudan Ferdy.
Polisi baru mengumumkan kematian Yosua tiga hari setelah penembakan. Menurut polisi, Yosua tewas oleh lima peluru. Tapi dokumen autopsi pertama yang dibaca Tempo menyebutkan ada tujuh luka tembak. Dua di antaranya luka tembusan.
Ada luka tembak di kepala bagian belakang sebelah kiri, di bibir bagian bawah, dua luka di dada kanan, dan di tangan kiri. Ada pula bekas luka di wajah dan jari manis tangan kiri Yosua. Dokter forensik menemukan logam peluru keemasan bersarang di bawah kulit punggung sisi kanan. Mereka menyimpulkan kematian Yosua akibat luka tembak di kepala.
Keluarga menilai luka-luka di tubuh Yosua janggal. Sebab, mereka menemukan luka lain di sebagian wajah dan organ lain. Pengacara keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, menduga Yosua disiksa sebelum tewas. “Ada luka selain bekas tembakan,” tuturnya.
Keluarga Yosua pun tak percaya pada hasil autopsi pertama oleh dokter Rumah Sakit Bhayangkara Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, itu. Kamaruddin mengatakan autopsi pertama Yosua seharusnya diketahui dan mendapatkan izin keluarga. Kecurigaan ini berujung pada permintaan autopsi ulang jenazah Yosua dengan merekrut dokter forensik dari beragam instansi.
Polisi mengabulkan permintaan itu. “Kami menyiapkan autopsi ulang dengan berkomunikasi dengan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo.
Autopsi kedua berlangsung selama lima jam di Rumah Sakit Umum Daerah Sungai Bahar. Meski pembedahan berjalan lancar, dokter forensik menemukan sejumlah hambatan. Ade Firmansyah mengatakan sejak awal timnya memperkirakan ada beberapa kesulitan yang akan mereka hadapi dalam autopsi ulang jenazah Brigadir Yosua.
Salah satunya adalah jasad Yosua diawetkan memakai formalin. “Kalau jenazah sudah diautopsi, organnya dilepas sehingga saluran luka akan sulit dicari tahu pada autopsi kedua,” katanya.
Tim forensik juga tidak memakai foto-foto jenazah Yosua yang dibuat oleh pihak keluarga. Foto yang banyak beredar di media sosial tersebut membuat publik tergiring opini bahwa Yosua disiksa sebelum tewas. “Foto-foto itu tak sesuai dengan kaidah forensik,” ucap Ade.
Informasi lain menyebutkan tim forensik kesulitan mengidentifikasi luka tembak karena jenazah Yosua mulai membusuk. Jenazah Yosua yang terkubur 19 hari membuat luka mulai kabur. Tim forensik hanya menemukan tiga liang bekas luka tembak.
Salah satunya luka tembak di bagian belakang kepala yang menembus hidung. Tim forensik autopsi kedua meyakini luka ini yang menyebabkan Brigadir Yosua melepas nyawa. Dilihat dari posisi luka, senjata api yang ditembakkan diperkirakan berada tak jauh di atas kepala Yosua.
Luka ini berbeda dengan keterangan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu kepada penegak hukum. Dalam salah satu pemeriksaan, Richard mengatakan ia melepaskan empat peluru pertama ke arah tubuh Yosua bagian depan. Pada dua tembakan terakhir, ia mengarahkan moncong pistol Glock 17 ke dada. Dua peluru meletus mengenai dada Yosua, yang ketika itu tengah bersujud.
Penyidikan polisi lain lagi. Seseorang yang mengetahui pemeriksaan Richard mengatakan anggota Korps Brigade Mobil tersebut menembakkan satu peluru terakhir dari belakang tangga. Ia menembak tanpa melihat posisi Yosua. Tembakan ini, kata penyidik, yang meninggalkan luka menganga di bagian belakang kepala Yosua.
Polisi menetapkan Bharada Richard sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Yosua. Sebelumnya, polisi mengatakan Richard menembak karena lebih dulu ditembak Yosua. Belakangan, Direktur Tindak Pidana Umum Brigadir Jenderal Andi Rian Djajadi menyatakan penyidik tak menemukan indikasi Richard membela diri.
Pengacara Bharada Richard, Andreas Nahot Silitonga, dengan mengutip keterangan kliennya, mengatakan Richard menembak untuk membalas tembakan Yosua. Andreas berkukuh Richard menembak dalam posisi membela diri. “Terlalu dini menyimpulkan status tersangka karena pemeriksaan saksi dan autopsi kedua masih berlangsung,” ujarnya. Andreas tak lagi mendampingi Richard sejak Sabtu, 6 Agustus lalu.
Ade Firmansyah enggan membuka secara detail hasil autopsi ulang Brigadir Yosua. Timnya membutuhkan waktu dua-empat pekan untuk mengidentifikasi dan menyimpulkan penyebab luka. Ade menjelaskan bahwa tim perlu waktu agak panjang untuk memeriksa secara mikroskopis jaringan tubuh Yosua. Pemeriksaan ini bertujuan mengidentifikasi intravital, yakni mengetahui luka sebelum atau sesudah kematian. “Ada 20 sampel yang kami ambil,” tuturnya.
Ade berharap keluarga Brigadir Yosua menerima apa pun hasil autopsi ulang. Ia mencontohkan, jika ada luka yang tidak bisa ditentukan penyebabnya, mereka akan menjelaskan apa adanya. Ia berjanji bahwa tim forensik bekerja secara profesional dan independen. “Tidak ada titipan dalam proses autopsi kedua ini,” katanya.
LINDA TRIANITA, RIKY FERDIANTO, AGUNG SEDAYU, RAMOND E.P.U. (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo