Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PILIHAN terbaik buat Prabowo Subianto, juga buat negara ini, adalah mencukupkan usahanya menjadi presiden. Bukan, bukan karena ia telah tiga kali mengikuti pemilihan dan selalu kalah. Bukan pula tersebab usianya yang tergolong senior, yakni 72 tahun. Jalan politik dan riwayatnya pada saat militerlah yang membuatnya tak patut memimpin Republik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai Gerindra sejauh ini dikabarkan akan kembali mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden, yang bakal diumumkan pada Sabtu, 13 Agustus 2022. Jika hal itu benar, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang dicopot karena terlibat penculikan aktivis pada 1998 tersebut empat kali mengikuti pemilihan—pada 2009 sebagai calon wakil presiden serta pada 2014 dan 2019 sebagai calon presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiprah Prabowo dalam dua pemilihan terakhir telah menjadi contoh buruk demokrasi. Ia selalu menolak hasil pemilihan, juga menihilkan putusan Mahkamah Konstitusi, jalur yang ia tempuh untuk mempersoalkan hasil pemungutan suara. Pada 2019, Prabowo bahkan membiarkan pendukungnya berusaha menggagalkan hasil pemilihan umum dengan membuat kerusuhan.
Prabowo terlihat menempuh cara apa pun untuk mewujudkan ambisi menjadi presiden. Ia tak segan merangkul kelompok intoleran dan memberi ruang kepada mereka untuk berkampanye menggunakan politik identitas, cara buruk yang sebenarnya juga ditempuh pendukung Joko Widodo pada 2014 dan 2019. Prabowo jelas punya peran besar dalam perpecahan berlarut-larut di masyarakat hingga kini.
Baca: Lirik-lirik Jodoh Prabowo
Setelah gagal menempati kursi tertinggi pemerintahan, Prabowo tanpa malu menjadi bawahan Jokowi. Ia mengkhianati pemilihnya dan bergabung dengan pemerintah, lalu membawa gerbong partainya masuk kabinet. Prestasi Prabowo selama menjabat Menteri Pertahanan pun nyaris tak terlihat. Ia jorjoran menghabiskan uang negara untuk belanja alat utama sistem persenjataan. Prabowo pun mengembalikan militerisasi dalam kehidupan sipil dengan membentuk Komponen Cadangan yang tak cocok dengan demokrasi.
Publik tentu juga tidak boleh melupakan riwayat Prabowo di militer. Walau tidak pernah diajukan ke pengadilan, ia dipecat sebagai tentara karena terlibat penculikan aktivis pada 1997-1998. Rentang waktu seolah-olah menghapus jejak kelamnya itu. Generasi pemilih baru pun banyak memberikan suara untuk Partai Gerindra yang kemudian dia didirikan. Pada 2019, partai itu menempati posisi kedua suara terbanyak di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Gerindra terlihat hanya menjadi partai yang didirikan untuk menjadi kendaraan Prabowo meraih kekuasaan. Dukungan 17,5 juta suara yang membuat mereka menguasai 78 kursi Dewan Perwakilan Rakyat pada Pemilu 2019 tak cukup menarik minat tokoh-tokoh potensial bergabung. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh tak adanya sirkulasi kepemimpinan di Gerindra. Walhasil, partai itu tak memiliki kandidat selain Prabowo.
Prabowo Subianto memang memiliki hak mencalonkan diri kembali pada 2024. Namun ia akan memberikan sumbangan besar buat demokrasi jika mengajukan tokoh lain yang mumpuni untuk menjadi calon pemimpin negara ini. Masih ada waktu untuk berpikir kembali, Pak Prabowo.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo