Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wawancara dengan David Jenkins soal penulis buku Young Soeharto: The Making of a Soldier.
David Jenkins menemukan informasi baru tentang Soeharto muda.
Ia juga menceritakan kunjungannya ke Indonesia di masa Orde Baru awal.
BUKU Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945 adalah bagian pertama dari rencana David Jenkins, 79 tahun, menerbitkan buku trilogi tentang mantan Presiden Soeharto. Sebagai jurnalis, Jenkins ingin memberi gambaran yang utuh dan lengkap mengenai riwayat hidup Soeharto semenjak kanak-kanak hingga menggapai kekuasaan.
Pada 1969, saat umurnya baru 26 tahun, Jenkins berkesempatan mewawancarai khusus Soeharto di Jakarta. Ia juga pernah menerbitkan buku Soeharto and His Generals, dan sempat membuat geger saat tulisannya di Sydney Morning Herald pada April 1986 tentang Soeharto memicu kemarahan Istana. Artikel itu membuat Jenkins sempat dilarang masuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bertahun-tahun setelah itu, Jenkins menambah lagi risetnya dan melakukan wawancara mendalam untuk menyajikan temuan-temuan yang sebelumnya tak banyak diketahui orang. Soeharto, disebutkan Jenkins, tidak memiliki latar belakang sosial dan pendidikan yang dimiliki banyak orang untuk naik ke puncak piramida politik, birokrasi, dan militer Indonesia pascaperang. “Tapi dia punya banyak keberuntungan. Anehnya, sering kali kartu keberuntungan jatuh ke arahnya, dan dia memainkan itu dengan baik. Ia juga tenang dan dingin di bawah tekanan. Ia juga pekerja keras, ambisius dan kompeten,” ujarnya dalam wawancara tertulis, Jumat, 24 September lalu.
Kapan Anda mulai mempersiapkan biografi Soeharto?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 1995 saya mulai berpikir mungkin ada ruang untuk buku “kehidupan dan waktu” tentang Presiden Soeharto, yang tidak hanya berfokus pada tahun kekuasaannya, tapi juga masa pembentukan dan awal kariernya, yang tak kalah menariknya.
Menurut Anda, seberapa jauh masa kecil Soeharto membentuk karakternya sebagai orang dewasa?
Dia baru 48 tahun ketika saya bertemu dengannya pada 1969. Meskipun saya tidak berniat menulis biografi pada waktu itu, saya secara alami tertarik kepadanya. Saat berkunjung ke Wonogiri, Jawa Tengah, saya sempat mengunjungi salah satu mentor terpentingnya, Romo Daryatmo. Soeharto berusia sekitar 14 tahun ketika dia bertemu Daryatmo, seorang dukun yang dihormati dan memiliki pengaruh besar padanya. Tak perlu diragukan lagi kehangatan perasaan Soeharto terhadap Romo Daryatmo, yang mengajarinya meditasi dan kebatinan serta pertanian, mata pelajaran yang selalu dekat di hati Soeharto.
Beberapa narasumber yang mengenal baik Soeharto memberi pandangan soal masa kecilnya yang telah membentuk karakternya. Salah satunya adalah mantan presiden Bacharudin Jusuf Habibie. Selama lima jam makan siang dan wawancara di Paris pada 2001, Habibie berpendapat bahwa “masa kecil buruk” Soeharto mungkin telah menjadi “kekuatan motivasi yang tidak terlihat” dalam kehidupan selanjutnya. Karena telah menderita pada tahun-tahun awalnya, Habibie berspekulasi, Soeharto berusaha untuk memberikan kompensasi. Dia berusaha mengendalikan diri, menghindari membuat kesalahan, dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna. “Bisa jadi itu alasan mengapa dia rendah hati dan pendiam. Mungkin itu semacam kompleks inferioritas (inferiority complex) yang tak terlihat.”
Perwira Angkatan Darat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang pernah menjabat atasan atau bawahan Soeharto—termasuk Jenderal Nasution, Simatupang, Moersjid, Benny Moerdani, Alamsjah Ratu Perwiranegara dan Profesor K.P.H. Haryasudirja—juga memberikan wawasan berharga tentang apa yang mereka lihat sebagai pengaruh dari masa kecilnya. Begitu pula sejumlah tokoh sipil, di antaranya mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Slamet Bratanata, Roeslan Abdulgani, Soedjatmoko, dan Harry Tjan Silalahi.
Di Young Soeharto, Anda menulis deskripsi rinci yang bertentangan dengan “fakta sebelumnya” yang pernah ditulis Soeharto dalam biografinya. Apakah Soeharto sengaja menulis ulang kisah hidupnya?
Ada masa ketika sesuatu seperti itu tampaknya telah terjadi. Misalnya, Soeharto mengklaim bahwa dia salah satu dari dua orang yang dipilih dari sekitar 500 orang oleh Jepang di Yogyakarta pada Oktober 1943 untuk pelatihan komandan peleton Pembela Tanah Air. Namun, dalam sebuah wawancara di rumahnya di dekat Gunung Fuji pada 1999, mantan Letnan Tsuchiya Kiso, yang menyeleksi, mengaku dirinya merekrut setidaknya 20-30 taruna perwira di Yogyakarta hari itu. Tiga dari mereka, termasuk Pranoto Reksosamodra, akan menjadi rekan dekat Soeharto dan melayani bersamanya selama perang, revolusi, dan seterusnya. Pak Harto pasti sudah tahu bahwa pernyataannya tidak benar saat membuatnya.
Dalam memoarnya, Soeharto menyebut dua orang teman yang ia kenal di kursus Bogor, Jawa Tengah. Salah satu yang ia tulis adalah “Pranoto Wijono”. Ini aneh. Catatan arsip Jepang menunjukkan tidak ada nama itu di lapangan. Pensiunan perwira tentara Indonesia yang berada di lapangan membenarkan hal itu. Satu-satunya Pranoto, menurut mereka, adalah Pranoto Reksosamodra, orang yang dibenci Soeharto setelah Pranoto, sebagai Kepala Staf Diponegoro, melaporkan bosnya karena penyelundupan. Saat berkuasa, Soeharto memenjarakan Pranoto selama 15 tahun, menuduh dia pengikut sayap kiri. Tidak ada pengadilan.
Anda seperti terkoneksi dengan Soeharto. Anda pernah mewawancarainya khusus dan membuat drama skala besar ketika artikel Anda tentang korupsi Soeharto diterbitkan di halaman depan Sydney Morning Herald pada April 1986. Lalu sekarang Anda kembali menulis buku tentangnya….
Artikel Sydney Morning Herald 1986, yang sekarang diakui secara luas, merupakan penyimpangan. Saya telah menulis ratusan artikel tentang Indonesia dalam 17 tahun hingga 1986. Pemerintah Indonesia tidak menyukai beberapa di antaranya, terutama yang berkaitan dengan jumlah tahanan politik yang tidak konsisten. Artikel Herald berbeda. Itu adalah bagian fitur panjang yang telah berjalan di halaman 14, yang awalnya saya nilai akan berlalu tanpa banyak komentar. Pada menit terakhir, seorang editor memutuskan untuk menayangkannya di halaman pertama, bersama dengan kata “Eksklusif” dan judul provokatif yang tidak perlu.
Kapan volume 2 dan 3 akan diterbitkan?
Dengan sedikit keberuntungan, jilid 2, yang mencakup periode Revolusi Nasional (1945-1949), akan muncul dalam waktu sekitar 18 bulan. Jilid 3 (1950-1968) akan menyusul sekitar dua tahun setelah itu.
Bagaimana pandangan Anda tentang cara Soeharto memperlakukan teman-temannya? Ia sosok yang setia tapi di sisi lain “membuang” nama teman dekatnya yang pernah ia kenal di barak militer.
Memang benar Soeharto cenderung sangat setia kepada teman-temannya. Tapi juga benar bahwa dia menjauhkan diri dari beberapa orang yang pernah bersahabat dengannya. Salah satunya Letnan Jenderal Pranoto Reksosamodra yang berteman dengannya di kursus Peta shodancho (komandan peleton) di Bogor pada 1943.
Yang lainnya adalah Profesor Haryasudirja, seorang anggota Pakualaman yang pernah menjabat di bawah Soeharto baik sebagai komandan batalion (1949) maupun menteri kabinet (1967). Presiden dan Ibu Tien mengundang insinyur itu untuk memainkan peran kunci dalam proyek Taman Mini pada 1970-75. Soeharto menghadiri pernikahan dua putra Haryasudija. Tapi sang pangeran merasa bahwa Presiden tidak ingin berurusan lebih lanjut dengan orang-orang yang mengenalnya di masa-masa awal.
Siapa mantan anggota Partai Komunis Indonesia atau simpatisannya yang Anda wawancarai untuk buku ini?
Pada 1969 saya bertemu dengan dua orang, Darsono dan Semaun, yang ikut mendirikan PKI pada 1920. Pada saat itu, tentu saja, keduanya telah meninggalkan komunisme. Darsono adalah tetangga dekat dan saya secara rutin membawakannya koran serta majalah asing yang dia suka baca. Kami duduk di beranda pada sore hari, minum kopi tubruk kental, mendengarkan kisahnya tentang perjuangan politik besar 1920-an dan pertemuannya dengan Stalin dan Trotsky di Uni Soviet.
Saya juga sempat mengunjungi enam penjara politik pada Oktober 1977, Nirbaya dan Bulu, Plantungan dan Mlaten, serta Sumber-Rejo dan Amborawang. Dua bulan kemudian saya juga ke Buru. Dalam kunjungan itu, saya bertemu dengan sejumlah tahanan terkemuka yang dianggap berpihak pada spektrum politik kiri, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Subandrio, dan Marsekal Udara Omar Dhani. Pada 2000, saya berbicara sangat panjang dengan Soemarsono, yang berperan sentral dalam Peristiwa Madiun dan yang—setelah bertahun-tahun di penjara—tinggal di panti jompo di Sydney, Australia. (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo