Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Ekuilibrium Rita Widagdo

Selasar Sunaryo menggelar pameran tunggal Rita Widagdo. Sebuah pameran langka dari pematung senior keturunan Jerman.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal pematung senior Rita Widagdo.

  • Pameran perjalanan kiprah Rita Widagdo sebagai pematung.

  • Eksplorasi patung-patung Rita Widagdo.

BATANG-batang aluminium yang diwarnai kekuningan saling melekat serabutan. Sementara itu, di bagian tengahnya, batang-batang tersebut terpola rapi seperti terali. Relief tanpa judul berukuran 2 x 8 meter itu merupakan karya terbaru Rita Widagdo buatan 2019-2020 yang dipasang sebagai interior gedung Jakarta Box Tower.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini sebagian karya lain pematung 80 tahun itu tengah dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Durasinya dibuat panjang, mulai 17 September hingga 24 Desember 2021. “Kapan lagi bisa pameran besar Bu Rita yang kini sudah berusia 80 tahun,” kata Sunaryo, Senin, 20 September lalu. Sunaryo pun kemudian mengerahkan tim untuk melakukan wawancara, mendata karya, sekaligus membujuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Sunaryo, Rita sempat berdalih tidak punya banyak karya baru untuk dipamerkan. Namun, tutur Sunaryo, pameran di tempatnya hendak mengangkat sosok Rita. Karena situasi pandemi Covid-19, Selasar harus menunggu selama dua tahun hingga sekarang bisa menghelat pameran berjudul “Ekuilibrium: Karya dan Pikiran Rita Widagdo” itu.

Karya Rita Widagdo berjudul Formed Surface and Line buatan 1996, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Anwar Siswadi

Karya Rita Widagdo berjudul Formed Surface and Line buatan 1996, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Anwar Siswadi

Pameran tunggal Rita tergolong langka. Selama 48 tahun, hanya tiga kali Rita berpameran tunggal. Pameran perdananya di Goethe-Institut Jakarta pada 1973; kemudian di Galeri Nasional, Jakarta, pada 2005; dan kini di Selasar Sunaryo. Selebihnya karya Rita hadir beberapa kali dalam acara pameran bersama, juga di ruang publik dan interior kantor. “Kekaryaannya belakangan lebih ke proyek patung arsitektural,” ujar Nurdian Ichsan, kurator pameran. “Dalam proyek seperti itu, Rita berkolaborasi dengan para arsitek.”

Di ruang pameran, karya Rita dibagi dalam dua kelompok. Ruang A menjadi tempat karya personal, sedangkan Ruang B untuk melihat kekaryaan arsitektural berupa maket dan dokumentasi. Total ada 10 karya patung, 8 relief, 13 maket, serta catatan dan arsip yang menangkap keseluruhan proses kreatif Rita sejak 1960-an. Pematung asal Jerman bernama asli Rita Wizemann yang lahir pada 26 November 1938 itu diboyong suaminya, Widagdo, ke Indonesia pada 1965.

Berbekal gelar master dari Akademi Seni Rupa Stuttgart, Jerman, pada 1964, Rita lantas mengajar di Institut Teknologi Bandung dan mengembangkan Studio Seni Patung bersama But Muchtar dan Gregorius Sidharta. Setelah 38 tahun di ITB, Rita pensiun pada 2003.

Menurut Nurdian, tema pameran ini merupakan interpretasi terhadap figur Rita dan praktik seninya. Ekuilibrium tidak hanya menyoroti kualitas estetik kekaryaan, tapi juga peran Rita sebagai seniman dan pengajar, serta cara dia berpikir dan berkarya.

Belajar mematung di masa seni modern yang sedang mapan di Eropa, karya Rita cenderung abstrak dan formalis dengan corak elemen seperti garis, bentuk, dan warna. Adapun abstraksi, bagi Rita, adalah mengolah suatu obyek yang bisa bersifat nyata. Perenungan diperlukan untuk mencapai tipikal, sifat esensial, dan asal-usul. “Proses pengolahan obyek yang bersifat nyata ini sering disebut juga dengan menyederhanakan atau mereduksi bentuk,” ucap Nurdian.

Rita percaya kehidupan identik dengan “keberaturan”, atau keberaturan adalah tanda dan sifat utama dari segala kehidupan. Keberaturan ini yang menjadi realitas murni atau sari kenyataan yang Rita cari melalui karya-karyanya. Dia pernah menyatakan, “Proses berkarya di bidang seni adalah kesempatan untuk merenungkan asal-mula keberaturan di dunia ini.” Pernyataan itu menjelaskan basis konseptual praktik seni abstraknya.

Salah satu masalah utama praktik kesenian Rita, menurut Nurdian, adalah soal arti garis pada bentuk tiga dimensi. Pertanyaan soal garis memunculkan serangkai karya dalam berbagai eksplorasi kemungkinan bentuk. 

Ruang B pameran Rita Widagdo di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 24 September 2021. TEMPO/Prima mulia

Pada 1970-an, kata Nurdian, karya Rita Widagdo memperlihatkan bentuk yang menonjolkan pertemuan antarbidang, kedalaman antara permukaan dan volume. Garis sebagai batas pertemuan bidang terlihat dalam karya berjudul Continuity (1970) dan Line and Form (1970). Dalam karya Moving (1969) dan Sound Composition (1964), misalnya, Rita mengawali pencarian soal arti garis lewat eksplorasi permukaan pada media relief yang dua dimensional. “Garis dihasilkan dari bentuk yang timbul atau tenggelam, muncul sebagai bagian dari komposisi bidang datar,” ujar Nurdian.

Pola seperti itu menjadi dasar untuk memahami kekaryaan relief awal Rita, seperti Relief I sampai Relief IV (1973-1976). Penjelajahan bidang datar mengantarkan eksplorasi berikutnya, yaitu mengubah lempeng yang datar menjadi tiga dimensi. Percobaannya pada karya seperti From Two to Three Dimensions (1982) dan Wrapping (1982) kemudian membawa dua kecenderungan. Kelompok pertama, menurut Nurdian, patung yang menjauhi permukaan dan gravitasi meski menggunakan pedestal atau tiang penyangga. 

Dimulai dari karya Roundness (1978), lempeng-lempeng yang dipotong dan ditekuk menghasilkan bidang terbuka dan ruang kosong seperti pada Melati Bud (1983). Secara konseptual, patung Rita pada kelompok itu memfokuskan masalah patung dengan melepaskan diri dari lingkungan tempat ia dipasang. 

Adapun kelompok kedua adalah karya-karya patung yang berdiri dan memiliki titik berat relatif terhadap permukaan. Dalam rangkaian karya ini, Rita banyak memanfaatkan potensi plastisitas lembaran lempeng dengan melipat dan menggulung. Dalam Pair II (1985) dan Young Woman (1986), Rita mulai menjelajahi problem ruang dalam dan luar dalam bentuk melingkar yang berpusat atau bersumbu. “Kualitas tiga dimensional patung pada kelompok ini tercapai ketika bentuk tidak mencirikan bagian depan, samping, atau belakang,” ucap Nurdian.

Rita juga memakai material kawat kuningan seperti pada Embrace (1986). Kawat menjadi garis nyata dan susunannya secara dramatis mengubah kualitas bidang permukaan yang bersifat keras dan kaku menjadi lembut dan fleksibel. Terobosan itu kemudian menjadi lima karya relief pada 1996-1997, seperti Formed Surface and Line (1996). Menurut Nurdian, Rita menunjukkan bahwa kualitas sifat tidak bergantung pada karakter bahan, tapi ternyata bisa dipengaruhi oleh persepsi soal bentuk. 

Sejak tinggal di Indonesia, Rita Widagdo sangat terpengaruh oleh alam, terutama tumbuhan. Dia sering mengamati flora di sekitarnya dan menganalisis struktur bentuk-bentuk yang ada di alam. Metode itu yang diajarkan Rita di Seni Rupa ITB dan masih dipakai sampai sekarang bagi mahasiswa baru. “Mengajarkan kepekaan terhadap bahasa bentuk atau visual melalui metode pengalaman langsung,” kata Nurdian. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus