Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kemampuan nonteknis menjadi faktor penting bagi atlet untuk berprestasi di tingkat dunia.
Salah satu keterampilan yang harus dikuasai atlet adalah berbicara di depan publik.
Penguasaan bahasa Inggris menjadi penting.
SUKSES sebagai atlet berprestasi, Aldila Sutjiadi tak hanya menggembleng kemampuan teknik, fisik, dan strategi. Petenis putri kelahiran Jakarta 26 tahun silam ini juga membekali dirinya dengan kemampuan nonteknis, seperti bahasa Inggris dan pendampingan psikolog untuk mengasah mental.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dila—sapaan akrabnya—berlatih tenis sejak berusia 5 tahun dan mulai terjun dalam berbagai kejuaraan tenis empat tahun kemudian. Ia mengikuti kursus bahasa Inggris sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. “Kursus bahasa Inggris berguna sekali sekarang saat saya mengikuti turnamen di luar negeri,” katanya kepada Tempo melalui pesan suara WhatsApp, Jumat, 24 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika berusia 11-12 tahun, Dila juga mendapat pendampingan psikolog olahraga untuk melatih mentalnya saat bertanding. Setiap kali berlaga, dia selalu didampingi psikolog. “Memang ada cara-cara khusus yang dilakukan oleh pelatih psikolog untuk membantu mental saya saat bertanding,” ujarnya.
Menurut Dila, olahraga tenis tidak hanya membutuhkan latihan fisik dan teknik, tapi juga mental untuk menghadapi pertandingan. Ini terbukti dari pendampingan psikolog yang turut membentuk mental juaranya dalam setiap kompetisi. “Itu sangat membantu performa saya sampai saat ini,” kata Dila, yang menargetkan tiga emas dalam Pekan Olahraga Nasional XX di Papua pada 2-15 Oktober nanti.
Satu lagi kemampuan yang menurut Dila penting adalah berbicara di depan publik. Setiap kali mengikuti kejuaraan internasional dan menjadi finalis atau juara, ia mesti memberikan sambutan saat pemberian piala. Peraih medali emas ganda campuran Asian Games 2018 ini mengaku tidak secara khusus melatih public speaking. Ia belajar dari pengalamannya berbicara di depan media saat konferensi pers. “Saya juga melihat atlet-atlet yang sering diwawancarai di televisi,” tutur petenis yang mewakili Jawa Timur di PON XX itu.
Serafi Anelies Unani. Facebook.com/ Serafi Anelies Unani
Serafi Anelies Unani juga melakoni karier atlet yang penuh liku. Jauh sebelum meraih sederet prestasi seperti sekarang, perempuan kelahiran Surabaya dari kedua orang tua berdarah Serui, Papua, ini merintisnya sejak 2002. Saat itu, ia bergabung dengan klub atletik dan mulai menunjukkan potensinya.
Ia tumbuh di Kota Pahlawan, tempat ayahnya, Johan Unani, bermain di salah satu klub sepak bola. Perkenalannya dengan olahraga bermula dari rutinitas sejak kecil mengikuti ayahnya ke lapangan untuk berlatih. Ketika PON XV berlangsung di Surabaya pada 2000, Johan mengajak putrinya menonton cabang atletik. Momen itu membuat Serafi terpincut pada dunia lari.
Meniti karier di Jawa Timur, yang merupakan gudang atlet atletik berbakat, Serafi tercatat sebagai atlet termuda dan perempuan berdarah Papua satu-satunya yang bergabung dengan pemusatan latihan daerah. Perbedaan asal-usul dan latar belakang membuatnya beradaptasi lebih keras untuk bisa bersaing dengan atlet lain. “Itu melatih mental saya. Saya merasa tidak boleh diremehkan, nih,” kata Serafi, 32 tahun, saat dihubungi Irsyan Hasyim dari Tempo, Senin, 20 September lalu.
Menjadi perempuan Papua satu-satunya di dalam tim tak membuat Serafi minder. Ia justru terpacu menjadi atlet berprestasi. Ia berlatih keras supaya tidak ada atlet lain yang bisa menggeser posisinya. Upayanya menempa mental dan teknik berbuah manis. Pada 2002, Serafi meraih emas kategori Student Sprint di Nganjuk, Jawa Timur. Tiga tahun berselang, ia mendapatkan medali emas dalam kompetisi lari 100 meter ASEAN-Europe Meet di Thailand. Sejak itu, prestasinya seakan-akan tak pernah putus.
Serafi selalu berfokus pada apa yang hendak ia capai. Dia membuktikannya dengan puluhan prestasi yang diraihnya. Bahkan ia menjadi sprinter perempuan tercepat Asia Tenggara dengan menjuarai lari 100 meter putri pada SEA Games 2011 di Jakarta dan Palembang. “Puji Tuhan, saya juara nasional lima kali berturut-turut dari 2010 sampai 2012,” ujar Serafi.
Perbedaan latar belakang sebagai minoritas terbukti tak menghalangi Serafi berprestasi di dunia olahraga. Ia bahkan kembali dipercaya mengikuti PON XX. Bergabung dengan kontingen Jawa Timur, Serafi bakal berlaga di nomor lari 100 meter dan lari estafet 4 × 100 putri. “Tahun ini merupakan PON kelima saya,” tuturnya.
Susanto Megaranto. Tangkapan layar instagram @94rcho
Kemampuan nonteknis juga menjadi faktor penting bagi grandmaster Susanto Megaranto. Bagi pecatur 33 tahun itu, olahraga tidak hanya membutuhkan penguasaan teknik. Sebagai pecatur yang kerap berlaga dalam ajang internasional, ia menilai atlet juga perlu menguasai kemampuan nonteknis, seperti berkomunikasi dalam bahasa Inggris. “Itu berguna banget saat bertanding dan mengajukan keberatan kepada juri,” kata Susanto, Kamis, 23 September lalu.
Menurut Susanto, kemampuan berbahasa Inggris tidak diperoleh di pemusatan latihan nasional ataupun sekolah catur. Tapi setiap atlet yang ingin berkiprah di kancah internasional harus mempersiapkannya. “Atlet catur seperti saya biasanya melatih sendiri kemampuan bahasa,” ujarnya.
Susanto mengatakan pola latihan di pelatnas catur berfokus pada mematangkan taktik permainan. Ia, misalnya, harus berlatih setiap hari mulai pukul 14.00 sampai 18.00 untuk bisa menguasai strategi baru. Selama masa pandemi, ia mesti berlatih secara virtual karena pelatihnya berada di luar negeri. Adapun untuk memperkuat mental bertanding, ia sering berbagi pengalaman dengan atlet lain atau pelatih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo