SEPERTI menunggu bom waktu meledak. Cemas, serba tak pasti. Suasana itulah yang melanda PDI Perjuangan sekarang ini. Sang bom waktu adalah kasus Arifin Panigoro. Pengusaha minyak berusia 56 tahun yang baru masuk partai dua tahun silam itu memang moncer. Namanya hampir tiap hari menghiasi halaman depan koran-koran. Tapi kehadirannya kemudian jadi mencemaskan, terutama sejak 12 Juni lalu, setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan Kejaksaan Agung memeriksa Ketua Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P) di DPR tersebut. Kalau kasusnya ?meledak?, misalnya ia ditangkap, pasti bukan cuma PDI-P yang guncang. Getarannya tentu akan menggoyang kekuatan partai-partai seteru Presiden Abdurrahman di Gedung MPR/DPR Senayan.
Saat kejaksaan mengumumkan akan memeriksa bos perusahaan minyak Medco itu saja pentolan berbagai fraksi di DPR geger. Mereka yang sering berkumpul di rumah Arifin Panigoro di Jalan Jenggala 4, Jakarta Selatan, itu selama ini dijadikan motor penggerak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Para politisi dari PDI-P, Partai Golkar, PPP, PAN, dan PBB itu menurut Achmad Sumargono, Ketua Fraksi PBB, segera berapat. Sejumlah rumus penyelamatan dirancang.
Pengaruh ?Geng Jenggala? ini luar biasa. Terbukti, tak lama keresahan mereka bisa menjelma jadi keresahan mayoritas wakil rakyat di Senayan. Malah, pada 14 Juni lalu, ada seorang anggota DPR yang nekat. Di luar prosedur resmi, ia menelepon dan mengundang Jaksa Agung Baharuddin Lopa ke Komisi II DPR esok harinya untuk menjelaskan rencana pemeriksaan Arifin dan juga Akbar Tandjung. Lopa, yang baru beberapa bulan jadi jaksa agung, pun kaget. Lalu, ia menghubungi Ketua Komisi II, Amin Aryoso, menanyakan apakah ?sekasar? itu prosedur pemanggilan seorang pejabat.
Akhirnya Amin dan Lopa sepakat menjadwalkan rapat kerja Komisi II dengan jaksa agung, empat hari kemudian. Sampai sekarang tak terungkap siapa wakil rakyat yang ?meneror? Lopa itu.
Orang-orang di sekitar Arifin Panigoro pantas cemas. Menurut sumber TEMPO, bos Medco itu akan dijerat dengan kasus Bahana. Ini bertalian dengan pinjaman sebesar US$ 75 juta yang diperoleh Satelite Overseas Ltd., salah satu perusahaan Arifin, dari Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Oleh pengusaha yang besar ketika Orde Baru berkuasa tersebut, duit itu dipakai untuk membeli 46 persen saham Dragon Oil. Belakangan, harga saham perusahaan minyak itu anjlok, pinjaman kepada Bahana pun susah dikembalikan. Tapi, kejaksaan tak akan mengejar soal utang. Kata sumber TEMPO, aparat kejaksaan menduga adanya kongkalikong antara Arifin dan Sujiono Timan, bos Bahana, lembaga keuangan milik pemerintah, yang belakangan malah bekerja di tempat Arifin sebagai non-executive director (lihat: Jerat Baru Kasus Usang Panigoro).
Di DPR Senayan, Baharuddin Lopa menegaskan: rencana pemeriksaan Arifin Panigoro dan juga Akbar Tandjung tak ada sangkut pautnya dengan Sidang Istimewa (SI) MPR yang digelar 1 Agustus nanti. Namun, kelompok Arifin tetap menatapnya sebagai teror politik. Lalu, mereka menyiapkan serangan balik berupa rapat-rapat untuk mempercepat SI. Terakhir, Selasa malam pekan lalu, mereka berapat di Hotel Regent, Jakarta.
Hanya, upaya yang nyaris berhasil itu ?diveto? Megawati Sukarnoputri. Malam itu juga Mega mengirim pesan ke Hotel Regent. Ia kurang setuju SI dipercepat. Menurut sumber TEMPO, Megawati bilang: ?Kalau kita menunggu satu setengah tahun saja bisa, mengapa tidak bisa menunggu satu setengah bulan.?
Mau tak mau, Arifin Panigoro pasrah. Apalagi Badan Pekerja MPR belum merampungkan semua tugasnya. Kalaupun dipercepat, kata Arifin, paling mungkin SI digelar pertengahan Juli mendatang. Jadi, hanya maju dua pekan dari jadwal semula (lihat: ?Saya Sudah Tahu Skenario Kejaksaan?).
Seiring dengan macetnya manuver Arifin, gempuran dari koleganya sendiri di PDI-P kian gencar. Lihatlah, Selasa pekan lalu, demonstrasi terjadi di depan Kantor Pusat PDI-P di Jalan Pecenongan 40, Jakarta Pusat. Sekitar 500 orang simpatisan PDI-P dari Jakarta Selatan menuntut agar Megawati membersihkan partainya dari orang-orang Orde Baru semacam Arifin Panigoro. Saat itu Mega sedang memimpin rapat di sana.
Menurut Agnita Singedekane, Wakil Sekjen PDI-P, rapat yang berlangsung sekitar dua jam itu membahas persiapan SI MPR. Dalam pertemuan itu, Arifin duduk di samping Megawati. Perkara Arifin sendiri tidak dibicarakan, dengan alasan menyangkut urusan pribadi. Kata Agnita, yang dikenal dekat dengan Megawati, PDI-P baru akan memberikan tindakan kepada Arifin bila kasusnya sudah divonis di pengadilan.
Lain lagi sikap kelompok anti-Arifin. Dimyati Hartono, misalnya, meminta agar Arifin segera dinonaktifkan dari jabatan Ketua Fraksi dan Ketua PDI-P begitu ia diperiksa kejaksaan. Apalagi manuver kelompok Arifin yang kerap dijuluki anak-anak kos di PDI-P ini dinilai sering membingungkan. Contohnya, gerakannya mengadakan pertemuan lintas fraksi untuk mendorong memorandum I dan memorandum II yang berujung pada pelaksanaan SI MPR. Kata Dimyati, semua manuver itu diatasnamakan fraksi atau partai, padahal belum dirapatkan.
Dimyati Hartono juga mencium masuknya Arifin ke PDI-P berkaitan dengan skenario kebangkitan kekuatan Orde Baru pada 2004. Apalagi, kini semakin banyak orang Golkar yang masuk dalam kepengurusan cabang-cabang PDI-P.
Mengapa si anak kos itu bisa begitu dominan? Selain pandai menempatkan posisi di dekat Megawati, menurut sumber TEMPO, juga ada sumbangan cukup besar ke alamat partai. Tapi, Noviantika Nasution, bendahara partai, membantah dengan mengatakan sumbangan Arifin, seperti anggota Fraksi PDI-P lainnya, sebesar Rp 2 juta. Duit ini disisihkan dari gaji mereka di DPR. Jadi, soal sumbangan itu sulit dibuktikan.
Namun, kedekatan Arifin dengan Megawati bisa ?berantakan? kalau ia jadi diperiksa kejaksaan. Mega tentu bakal mementingkan keutuhan partai dibanding Arifin seorang. Dan kelompok anti-Arifin sudah mulai mengambil ancang-ancang. Kalau Arifin diperiksa, kata Imam Mundjiat, seorang kader kelompok nasionalis, mereka akan mengumpulkan tanda tangan anggota Fraksi PDI-P. Isinya: meminta Megawati segera menonaktifkan Arifin Panigoro dari partai dan DPR.
Kelihatannya, kalau proyek Mundjiat berjalan, Arifin bisa makin susah. Sebab, orang-orang lama PDI-P dan juga ?Kelompok Taufiq Kiemas? termasuk yang kurang ?berkenan? dengan sepak terjang Arifin. Dan dua kelompok itu saja sudah mayoritas di PDI-P. Selama ini Arifin bertahan karena Megawati masih belum ?melepas? tangan Arifin yang bergelayut erat di pundaknya.
Dukungan Mega juga yang menyelamatkannya dari serangan orang dalam pada September tahun lalu. Sebanyak 86 anggota Fraksi PDI-P telah berupaya mendongkel Arifin lewat pengumpulan tanda tangan. Ia dianggap memanipulasi sikap fraksi. Tanpa melalui rapat, Arifin langsung mendorong keluarnya hak interpelasi DPR dalam kasus pemecatan Laksamana Sukardi, Hamzah Haz, dan Jusuf Kalla dari kabinet. Oleh ?Kelompok 86?, sikap itu dinilai terlalu keras untuk Presiden. Toh, Mega mendamaikan konflik ini.
Sebagian anggota Kelompok 86, dimotori oleh Imam Mundjiat, beberapa bulan lalu maju terus dengan membentuk Kaukus Nasionalis. Markasnya di Jalan Tirtayasa 12, Jakarta Selatan, terpisah sekitar dua kilometer dari markas Arifin di Jenggala. Setiap hari Jumat, para anggotanya berkumpul di sana. Menurut Imam, para anggota Fraksi PDI-P yang sering datang di antaranya adalah Tarto Sudiro, Roy B.B. Janis, Noviantika Nasution, Emir Moeis, dan I Made Urip. Anggota Fraksi FKB Effendy Choirie dan Ali Masykur Musa, serta pengusaha Hartati Murdaya, kata Imam juga sering hadir.
Berbeda dengan Geng Jenggala, Geng Tirtayasa lebih lunak terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Kata Imam Mundjiat, dalam sidang istimewa harus diadakan kompromi lewat pembagian kekuasaan yang diatur dengan ketetapan MPR. Intinya: Abdurrahman Wahid menjadi kepala negara dan Megawati memegang pemerintahan sehari-harinya.
Suka atau tidak, manuver dari Tirtayasa itu bakal mempengaruhi konstelasi dalam sidang istimewa nanti. Sekarang, mereka baru disokong sekitar 20 anggota dari 153 anggota Fraksi PDI-P di DPR. Namun, jika Arifin benar-benar tersandung kasus Bahana, kekuatan Kaukus Nasionalis itu bisa mendadak membengkak. Dampaknya, karena PDI-P merupakan barometer politik di Senayan, desakan untuk melengserkan Abdurrahman Wahid akan mengendor. Ini disadari pula oleh Achmad Sumargono, yang sering mangkal di Jenggala. Tapi, kata Ketua Fraksi PBB itu, semua bergantung pada Megawati.
Megawati sendiri akan kebagian dilema besar jika kasus Arifin akhirnya membuyarkan peta politik DPR, yang sekarang ini mayoritas tak setuju Gus Dur terus. Dilema itu: ?pisah? ataupun berkompromi dengan Abdurrahman Wahid akan sama akibatnya bagi partainya, retak atau bahkan pecah.
Bom waktu yang dikirim kubu Abdurrahman benar-benar membuat Megawati harus berpikir keras mencari ?kabel mana yang harus dipotong? agar bom itu jinak. Salah potong bisa berarti kekalahan yang telak.
Gendur Sudarsono, Edy Budiyarso, Wenseslaus Manggut, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini