Teirisias memasuki panggung. Peramal buta itu dipapah anak kecil. Penampilannya seperti penari butoh. Hanya bercawat putih. Gundul. Mukanya disaput pupur putih. Kalung lehernya berbandul ratusan kerang. Tongkat berhiaskan kepala kambing digenggamnya. Ia reot tapi tetap tegas memperingatkan Creon, sang raja lalim. Ia mencandra bakal terjadi malapetaka di Kota Thebes.
"Altar-altar kita ternoda oleh daging jenazah Polyneices. Aku sajikan kurban. Tetapi empedu binatang meledak di api dan tak ada lemak di tulang kaki." Tentu saja ucapan yang keluar tidak demikian, karena pertunjukan seluruhnya dalam bahasa Yunani. Hanya penonton yang pernah membaca terjemahan Rendra atas Antigone bisa mengira-ngira apa yang diomongkan Konstantinos Laskos, aktor Teater Knossos, malam itu.
Antigone, kita tahu, adalah buncit dari trilogi Oedipus karya Sophocles, pengarang Yunani kuno. Syahdan, Creon, raja pengganti Oedipus, melarang Antigone (putri Oedipus) mengubur saudara laki-lakinya: Polyneices. Ia menginginkan gagak mencabik bangkai Polyneices. Tapi Antigone melawan.
Sejak Rendra memainkan Oedipus Sang Raja pada 1960-an, kisah tragedi ini cukup populer di sini. Dalam festival teater remaja pun kerap dimainkan. Terakhir, tahun 1999 trilogi Oedipus semuanya dipentaskan semalam suntuk oleh Teater Alam di Yogya, hingga pengamat Bakdi Sumanto menyebut (sembari mengutip Aristoteles) problema pokok mengenai takdir yang ingin disampaikan Aristophanes terlihat jelas.
Saraf keingintahuan kita tentu tergelitik dengan kedatangan Teater Knossos, asli dari Yunani ini. Adakah penggunaan topeng dan kor dominan? Untuk menggugah ribuan penonton, unsur variasi kor di teater Yunani kuno banyak ditonjolkan. Ada bagian dalam kor disebut stasimon. Di sini paduan suara bergerak, tak hanya berdiri terpaku di panggung. Kor tersebut bisa mewakili suara nurani rakyat atau bahkan suara gaib dewata. Adakah Antigone, yang oleh banyak pengamat dari sekian karya Sophocles disebut paling kaya kornya, dimainkan demikian menggoda oleh Teater Knossos?
Sebab, unsur kor yang digarap baik inilah dahulu yang membuat Antigone Rendra sukses berat. Saat itu kor yang diaransir Max Pallar dibarengi dengan gerak silat aliran Siauw Lim Pek Ho ala Rendra. Tapi mereka yang mengharapkan hal-hal semacam itu dari pertunjukan Teater Knossos tentu kecewa. Saat stasimon, kata-kata tak banyak dilagukan. Padahal, lewat siasat olah paduan suaralah sebenarnya kemungkinan bahasa Yunani bisa hadir ke kita. (Seperti juga kita merinding apabila mendengar lagu Gregorian yang tak kita mengerti bahasa Latinnya).
Bahkan dialog antara Creon dan kor masyarakat Thebes kurang greget. Bloking yang disajikan konvensional. Permainan Lampros Tsagkas sebagai Creon tak begitu meyakinkan. Didampingi empat pengawal yang tak bergerak sepanjang pertunjukan (semuanya figuran dari Teater Lembaga Institut Kesenian Jakarta), ia lebih seperti raja yang gelisah. Adapun Georgia Atzoletaki, perempuan gempal, berambut cepak pemeran Antigone, terlihat sudah sedari aslinya berwatak keras. Karakternya bukan semacam putri yatim piatu yang lemah lembut tapi berubah liat dan berani lantaran keadaan. Alhasil, perseteruan Creon-Antigone, yang merupakan metafor antara pertarungan physis (hukum alam) dan nomos (kekuasaan manusia), tak tersampaikan.
Kostum rancangan Harry Darsono lain lagi. Perancang yang pengetahuan busana panggungnya didapat dari para aktor Shakespearean di London ini memberi sentuhan etnis Batak sampai Minang pada tubuh aktor-aktor Yunani itu. Dada Creon yang terbuka dihiasi lempengan garuda. Adapun bajunya sutra sulaman. Pengadaptasian naskah asing ke lokal adalah hal biasa di teater modern kita. Tapi tentunya bukan sebatas busana. Idiom, bahasa pengucapan teater rakyat tradisional kita pun dibawa.
Misalnya, Pernikahan Darah karya Fredico Garcia Lorca, di tangan Teguh Karya menjadi bernuansa Aceh dan Minang. Itu yang pada pertunjukan ini agak problematik. Sebab, tentu saja idiom-idiom pemanggungan para aktor Yunani tersebut jauh dari spirit kerakyatan yang tecermin dari baju yang dipakainya. Apa boleh buat, kostum Harry hanya menjadi sekadar kemolekan visual tanpa roh.
Sampai muncullah Teirisias. Orang mungkin mengkritik mengapa perlu pendeta yang waskita ini dituntun anak kecil. Peran anak penggandeng ini lebih cocok untuk Oedipus, yang mencucuk matanya sendiri sampai berdarah, dan kehilangan arah. Toh munculnya kedua makhluk yang kontras itu menjadi kekuatan tersendiri. Sosok Teirisias yang purbawi, tanpa jubah sulaman manik-manik emas, menghidupkan panggung.
Pada akhir pertunjukan, Creon meratapi kain milik Haemon (tunangan Antigone), anaknya yang bunuh diri. Sebuah kain merah digelar. Dan ia tergulung di bawahnya. Pentas ini, meski tak terlalu istimewa, toh mengingatkan bahwa kekuasaan selalu bersifat sementara.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini