MUSEUM Rekor Indonesia perlu memasukkan Arifin Panigoro sebagai ?koleksi? terbaru. Soalnya, dialah satu-satunya tokoh yang pernah bermusuhan secara politis dengan empat presiden berturut-turut di negeri ini. Pengusaha minyak pendiri Grup PT Medco ini mula-mula berurusan dengan rezim Soeharto. Ia dituduh hendak menggulingkan kekuasaan setelah ikut diskusi politik di Hotel Radisson Yogyakarta, Februari 1998. Pemerintahan Presiden Habibie kemudian memburunya dalam urusan tindak pidana korupsi penyalahgunaan surat utang di perusahaan asuransi PT Jasindo, senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Sekarang giliran Presiden Abdurrahman Wahid yang berusaha memasukkannya ke bui dengan sejumlah tuduhan, antara lain korupsi di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Arifin, sebagai Angkatan 66, dalam berbagai kesempatan juga mengaku ikut menjungkirkan Presiden Sukarno. Uang dan kekuasaan adalah kombinasi yang melambungkan nama Arifin, dan kini mungkin bisa menenggelamkannya.
Presiden Abdurrahman, Juli tahun lalu, mengungkapkan adanya ?Dokumen Brawijaya?, yang berisi rencana sistematis mendongkel kekuasaannya. Dokumen itu rapi, kata pihak Gus Dur, dan di sana ada pembagian tugas serta antisipasi munculnya serangan balik. Kediaman Arifin di Jalan Brawijaya 5, Jakarta Selatan, disebut-sebut sebagai tempat berkumpulnya sejumlah tokoh yang menggagas rencana itu. Namun, kala itu Arifin membantah tuduhan Gus Dur.
Belakangan terbukti, bersama geng ?koboi DPR? (Ade Komaruddin, Didi Supriyanto, Alvin Lie dkk.), Arifin termasuk tokoh getol pengritik pemerintahan Gus Dur. Ia terlibat dalam upaya mengegolkan hak interpelasi dewan beberapa waktu lalu dalam soal pencopotan eks Menteri Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi. Sebagai Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, dia juga berperan meloloskan memorandum pertama dan kedua untuk Presiden dalam urusan Bulog dan Brunei.
Padahal, orang Bandung yang lahir pada 1945 ini tak mewarisi darah politik dari kedua orang tuanya. Orang tuanya pedagang, yang dalam budaya Sunda sering disebut urang pasar (orang pasar). Sejak SMP, Arifin sudah ikut berdagang, menjaga toko, sampai kuliah di jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia mengaku tidak punya pilihan lain, walaupun studinya terpaksa jadi sedikit terganggu. Arifin perlu waktu sepuluh tahun untuk lulus dari bangku kuliah.
Toh, urusan dagang dan pendidikan bisa menyatu di tangan Arifin. Setahun sebelum lulus, dia mendirikan perusahaan listrik Corona Electrical bersama dua orang temannya, pada 1972. Dan sukses. Di bawah bendera perusahaan tersebut, ia berhasil memperoleh proyek dari PT Nindya Karya senilai Rp 40 juta. Menyusul kemudian Bulog, PT Waskita Karya, dan PT Krakatau Steel menggunakan jasanya.
Roda bisnis Arifin berputar cepat. Ia mendirikan perusahaan yang bergerak di sektor perminyakan dan gas bumi, PT Meta Epsi Drilling Company (Medco), pada 1981. Setelah ?hanya? menjadi subkontraktor di beberapa proyek, pada 1982 bapak dua anak ini menandatangani kontrak dengan Pertamina untuk proyek pengadaan pipa gas sejauh 86 kilometer dari Bontang ke Badak, Kalimantan Timur.
Sejak saat itu hokinya bersinar. Apalagi, harga minyak waktu itu tengah membubung. Nama Arifin kian meroket sebagai usahawan sukses ketika Medco mengakuisisi dua ladang minyak di Kalimantan Timur yang dioperasikan oleh Tesoro Petroleum Company dan Tesoro Indonesia Petroleum Company, lalu membeli saham mayoritas PT Stanvac Indonesia senilai Rp 200 miliar pada 1995 dari Esso Eastern Inc., Exxon Overseas Investment Corp., Esso Exploration Holding Inc., dan Mobil Petroleum Company. Boleh dibilang, Arifin menjelma jadi raja minyak baru Indonesia.
Sulit dimungkiri, sukses Arifin lantaran didukung bekas teman-temannya sesama alumni ITB yang duduk di pemerintahan, seperti eks Menteri Pertambangan dan Energi Ginanjar Kartasasmita dan bekas Menteri Perumahan Rakyat dan Transmigrasi Siswono Yudhohusodo. ?Usahanya besar karena Orde Baru,? tutur Direktur Pusat Bantuan Hukum Indonesia, Hendardi, yang juga adik kelasnya di ITB. Itulah sebabnya, Arifin disebut-sebut sebagai salah satu dari Ginandjar?s boys. Tak mengherankan pula bila ia sempat bergabung dengan Golkar dan menjadi salah satu anggota MPR dari utusan golongan.
Arifin sendiri tak membantah. ?Saya memang diuntungkan oleh rezim lama,? kata Arifin kepada TEMPO dua tahun silam. ?Tapi, ketika suatu perubahan terjadi, apakah orang tidak boleh awas untuk melihat kelompok mana yang perlu didukung untuk suatu kebaikan yang lebih luas?? ia melanjutkan.
Dunia politik bukan hal baru bagi Arifin Panigoro. Menurut salah satu koleganya di PDI Perjuangan, Zulfan Lindan, bos Medco ini sudah aktif berpolitik sejak mahasiswa. Bersama dengan Siswono Yudhohusodo, dia menjadi bagian dari gerakan Angkatan 66. Hanya, kegiatan itu ditinggalkannya setamat kuliah. Arifin sibuk berbisnis. ?Saya dulu pernah melihat ada buku yang diterbitkan oleh alumni ITB. Di situ ada foto Arifin, Sarwono, dan sebagainya,? kata Sofian Effendi, dosen UGM dan salah satu pembicara diskusi di Radisson pada 1998, kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.
Sebagai salah satu Ginandjar?s boys, keterlibatan Arifin di dunia politik adalah ketika ia diminta Habibie membantu Amien Rais yang kala itu sedang dielus-elus jadi ketua Muhammadiyah. Arifin ikut membiayai pembangunan sebuah rumah sakit dan sekolah Muhammadiyah di Solo. Dari situlah Arifin dekat dengan Amien, sampai kemudian muncul geger kasus Hotel Radisson itu.
Kasus Radisson sendiri tampaknya seperti tiket masuk Arifin ke ranah politik nasional. Soalnya, setelah kasus itu mencuat, namanya justru kian populer, menjelang Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Tapi ia ke-mudian meninggalkan Amien Rais dan memilih bergabung ke PDI Perjuangan, setelah hadir di Kongres PDI Perjuangan di Bali pada 1999.
Pilihannya pada PDI-P?pemenang nomor satu Pemilu 1998?sempat mendatangkan cap oportunis. ?Arifin besar di zaman Golkar dan meninggalkan organisasi itu pada saat kejatuhan Orde Baru. Ia tahu betul kapan saat yang tepat untuk melompat,? ujar salah satu rekannya di Golkar.
Zulfan menilai alasan Arifin berpindah ke PDI-P lebih karena posisi partai ini yang oposan terhadap pemerintah. Lagipula, dia masuk sebelum PDI-P menang dalam pemilu. Saat itu orang masih pesimistis apakah PDI-P bisa menang. Perkiraannya, suara yang bisa didapat hanya 10 persen. ?Kalau Arifin masuk setelah PDI-P menang, mungkin bisa disebut sebagai oportunis,? kata Zulfan.
Di PDI-P posisi Arifin menanjak lekas. Dalam hitungan bulan, ia naik kelas menjadi Ketua Fraksi PDI-P, menggantikan Dimyati Hartono. Sejak tahun lalu, ia juga duduk dalam deretan Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI-P. Kedekatannya dengan Megawati disebut-sebut sebagai alasan kuatnya posisi Arifin di partai berlambang banteng itu.
Mungkin karena dana besarnya ia cepat menanjak? Tak gampang membuktikan anggapan umum ini. Benar bahwa ia menyediakan rumahnya di Jalan Jenggala untuk rapat lintas fraksi. Tapi, menurut Bendahara PDI-P, Noviantika, sumbangan Arifin ke PDI-P sama saja dengan anggota lainnya, tidak lebih. ?Setiap bulan, sumbangan anggota yang masuk ke partai hanya sekitar Rp 2 juta, termasuk dari Pak Arifin,? kata Noviantika.
Yang pasti, posisinya di partai itu banyak memicu friksi. Tak semua anggota partai menyetujui langkah politiknya. Ia bahkan dijuluki ?anak kos??bersama Herry Ahmadi serta Pramono Anung?yang dianggap tidak meniti karir dari ?akar? partai dan cuma numpang di partai itu. Ada juga yang menggugat bahwa Arifin dan kawan kosnya itu berupaya mempersulit peluang kader partai masuk ke ?atas?. Bahkan ia dituduh cuma menyelamatkan bisnisnya dengan tameng politik PDI-P.
Arifin pun pernah dihantam mosi tidak percaya. Tiga anggota Fraksi PDI-P DPR, Saul de Ornay, Emir Moeis, serta Dudhy Makmun Murod, melayangkan surat agar kepemimpinan Arifin ditinjau kembali. Ketiganya juga mengadakan gerilya tanda tangan dalam mencari dukungan. Konflik internal di tubuh PDI-P pun menghangat. Megawati terpaksa turun tangan.
Arifin sendiri tenang-tenang menghadapi semua serangan itu (lihat Saya Sudah Tahu Skenario Kejaksaan). Entah nanti, ketika Jaksa Agung Lopa ?memberondongnya? dengan status tersangka, misalnya.
Wicaksono, Leanika Tanjung, Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini