Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menebak Batu Bata Beraksara

Sektor permakaman dianggap sebagai zona inti penggalian. Terdapat temuan-temuan lepas, tapi belum bisa dipastikan apa tepatnya bangunan yang dulu berada di situs itu.   

12 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tulisan kuno pada penggalan batu bata yang ditemukan dalam ekskavasi Situs Kumitir sektor A di Dusun Bendo, Desa Kumtir, Kecamatan Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur./MI.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INSKRIPSI pada penggalan batu bata yang ditemukan di kedalaman dua meter itu dinilai cukup penting selama ekskavasi situs Kumitir di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang berakhir pada 9 September lalu. Berbahasa Kawi dan berhuruf Jawa Kuno, terdapat tiga baris tulisan di batu bata yang sisi-sisinya sudah gerepes tersebut. Baris pertama berbunyi ra, kedua dang ya, dan ketiga purawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua tim ekskavasi situs Kumitir, Wicaksono Dwi Nugroho, mengatakan pakar epigrafi, Ismail Lutfi, telah mencoba membaca huruf-huruf dalam penggalan batu bata itu. Menurut Wicaksono, ra di baris pertama inskripsi diterjemahkan menjadi rabut oleh Ismail. Rabut berarti tempat suci. Dang ya, menurut Ismail, kemungkinan besar dang yang yang terpenggal. Dang yang adalah gelar bangsawan pada masa itu. Adapun arti purawa belum diketahui.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wicaksono menuturkan, batu bata yang terpenggal dan pecah itu ditemukan di area penggalian sektor A yang diduga sebagai bangunan utama. Dia memperkirakan bata itu rusak karena bangunan utamanya runtuh. Penyebab pasti runtuhnya bangunan, kata dia, belum diketahui. Namun, ihwal batu bata yang terpendam cukup dalam, dia menyatakan kemungkinan besar penyebabnya adalah banjir lahar. Dia menjelaskan, hasil pembacaan inskripsi itu cukup signifikan bila dikaitkan dengan hipotesis yang mengawali ekskavasi situs Kumitir bahwa apakah Kumitir di situ sama dengan Kumitir dalam Nagarakretagama dan Kumeper dalam Pararaton sebagai lokasi pendarmaan Mahesa Cempaka.

“Benang merahnya sudah ketemu karena di sini ada bangunan suci atau rabut tadi. Agak mendekati hipotesis,” tutur Wicaksono saat ditemui Tempo di lokasi penggalian sektor A, B, dan C situs Kumitir, Selasa, 8 September lalu. Akan halnya arkeolog Agus Aris Munandar tatkala diminta pendapat tentang adanya batu bata dengan aksara ra, dang ya, dan purawa mengatakan, “Ra bisa rabut, bisa rahyang, bisa rakuti, bisa juga raksa, banyak kemungkinan.” Menurut Agus, selama ini rabut sebagai nama tempat bangunan keagamaan disebutkan dalam manuskrip-manuskrip kuno, misalnya naskah Bujangga Manik. Tapi hingga kini belum ditemukan kata rabut ditulis sebagai penanda sebuah kompleks. “Sejauh ini tidak ada bandingannya,” ucapnya.

Kawasan ekskavasi Situs Kumitir sektor A di Dusun Bendo, Desa Kumtir, Kecamatan Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur. Tempo/Kukuh S. Wibowo

Menurut Agus, batu bata yang digores aksara jarang ditemukan dalam ekskavasi. “Batu bata digores aksara sangat langka. Batu bata semacam itu misalnya pernah ditemukan di percandian Muaro Jambi. “Batu bata itu bertulisan huruf, seperti ‘Bha’, ‘Kha’, ‘Ga’,” ujarnya. Dia menambahkan, belum pernah ditemukan aksara di batu bata yang membentuk sebuah kalimat. “Yang membentuk frasa rasanya belum pernah ada. Kalau huruf di batu bata yang ditemukan di percandian Muaro Jambi diduga merupakan bijaksara atau aksara bermakna keagamaan, simbol dewa, atau mantra untuk menyeru dewa.”

Di sektor A, B, dan C area makam Kumitir cukup banyak ditemukan pecahan keramik. Dalam kanal Arkeo Vlog, Wicaksono menjelaskan terdapat berbagai jenis keramik di sektor barat permakaman. Pecahan keramik tertua diperkirakan berupa keramik Cina yang berasal dari abad ke-5-10. Lalu terdapat pecahan celadon yang mungkin berasal dari era Dinasti Sung, abad ke-10-12. Ada pula serpihan celadon dari Dinasti Yuan, abad ke-13-14. Dibanding dari era Sung, warna hijau pecahan celadon dari zaman Yuan lebih muda. Lalu terdapat pecahan mangkuk dari zaman Dinasti Ming. Cirinya memiliki corak berwarna kebiruan. Ditemukan pula pecahan keramik yang diperkirakan dari Vietnam dengan glasir agak kasar dan dari Thailand berupa dasar guci dengan glasir kasar.

Hal itu memunculkan pertanyaan: bila benar tempat tersebut bekas bangunan suci pendarmaan Mahesa Cempaka, mengapa banyak didapati pecahan keramik atau serpihan peralatan wadah yang semestinya berada di permukiman? Atau memang lapis-lapis batu bata yang tersingkap menandakan bekas bangunan yang tumpang-tindih yang mungkin berasal dari masa berbeda? “Bisa saja bangunan lama runtuh, disusul bangunan masa berikutnya, tapi menggunakan bangunan lama yang disusun ulang (rius),” kata Andi Muhammad Said, pamong budaya Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur.

Seperti diuraikan dalam tulisan sebelumnya, di kawasan makam banyak batu andesit bertebaran. Apa kaitannya dengan bangunan utama? “Dugaan saya, bangunan di situs inti belum selesai. Bangunan tak bisa dilanjutkan entah karena ada konflik politik entah karena bencana erupsi,” ujar Said. Dari temuan batu andesit kasar itu, Said menduga dulu batu-batu tersebut diusung ke sana dan akan dipakai untuk menyusun sebuah bangunan. Namun, belum selesai penyusunan, batu-batu itu ditinggal pergi dan pembangunan tidak dilanjutkan.

Di wilayah Kumitir, jauh sebelum penggalian di area perkebunan tebu, juga terdapat arca yang rusak parah tanpa kepala. Sebetulnya, batu itu tidak tepat disebut arca, melainkan batu bakal arca. Oleh warga setempat, batu tersebut sudah lama dianggap sebagai punden. Bahkan tampaknya masyarakat memandangnya sakral karena batu itu dibuatkan cungkup sederhana. Selain itu, selalu ada sisa sesajen di sana. Warga setempat menamai batu itu Joko Slining. Apakah batu tersebut merupakan batu yang semula akan dijadikan arca yang hendak dibawa ke area makam? Itu juga masih menjadi teka-teki.   

Kukuh S Wibowo, Seno Joko Suyono
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus