Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gugatan dari Instagram

Gerakan serupa #MeToo merebak di Mesir berkat sebuah akun media sosial. Hukum di sana tak memihak perempuan dan korban kekerasan seksual.

12 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perlombaan lari sebagai usaha mengkampanyekan anti kereasan terhadap perempuan, di Kairo, Mesir, November 2018. Reuters/Amd Abdallah Dalsh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gerakan #MeToo merebak di Mesir melalui sebuah akun di Instagram bernama Assault Police.

  • Dua kasus besar terbongkar dari gerakan ini, salah satunya melibatkan anak pemimpin perusahaan besar di sana.

  • Menurut jajak pendapat PBB, sebagian besar perempuan di Mesir pernah mengalami pelecehan seksual

KEJAKSAAN Agung Mesir mengumumkan pada Rabu, 9 September lalu, bahwa seorang pelatih squash di sebuah klub olahraga didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap tiga gadis di bawah umur. Ketiga korban diserang secara seksual dan mengalami kekerasan fisik ketika mencoba melawan. Kejaksaan tak menyebutkan nama dan waktu kejadian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Al-Ahram, terdakwa mengancam korban jika menceritakan peristiwa tersebut kepada orang tua mereka. Salah satunya dengan “dipermalukan”. Terdakwa, menurut kejaksaan, mengakui perbuatannya terhadap tiga gadis itu, tapi membantah melakukan hal serupa kepada dua gadis lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkara ini adalah kasus terbaru dari serangkaian kekerasan terhadap perempuan yang mencuat sejak kampanye mirip #MeToo merebak di Mesir dalam dua bulan terakhir. Gerakan yang dimulai dari akun Instagram bernama Assault Police itu mendorong banyak perempuan bersuara mengenai kekerasan dan perundungan seksual yang pernah mereka alami.

Akun Assault Police dibikin oleh Nadeen Ashraf, mahasiswa American University in Cairo, pada 1 Juli lalu. Gadis 22 tahun itu mengaku membuatnya setelah mendengar cerita teman-temannya tentang Ahmed Bassam Zaki, bekas mahasiswa di kampusnya yang diduga telah memerkosa sejumlah perempuan.

“Saya membaca sebuah unggahan yang ditulis seorang perempuan dari akun pribadinya, yang mengisahkan perundungan seksual oleh Zaki dan memperingatkan para perempuan lain,” kata Ashraf kepada Thomson Reuters Foundation. “Saya benar-benar marah karena gadis itu ditekan (oleh orang-orang yang berkomentar secara online) agar menghapus unggahan tersebut.... Banyak orang tahu tentang apa yang Zaki lakukan, tapi tidak ada tindakan yang diambil terhadapnya.”

Ahmed Bassam Zaki adalah lulusan American International School, salah satu sekolah menengah elite di Kairo. Remaja 22 tahun itu lalu masuk American University in Cairo pada 2016 dan segera “terkenal” karena perilaku buruknya terhadap perempuan. Bahkan, saat masih menjadi mahasiswa baru, dia sudah didepak dari klub salsa karena merundung perempuan.

Ahmed Bassam Zaki /Instagram Assault Police

Menurut Mada Masr, surat kabar online Mesir, Zaki adalah putra Bassam Zaki, Wakil Direktur Eksekutif Fiber Misr, perusahaan telekomunikasi besar di Mesir yang banyak menggarap proyek infrastruktur telekomunikasi pemerintah. Kekayaan dan kekuasaan keluarganya diduga menyebabkan banyak korban tutup mulut.

“Ada lingkaran korupsi yang berhubungan dengan pengaruh keluarganya, dan ayahnya punya kekuasaan untuk menyuap polisi,” ujar Presiden Pusat Bantuan Hukum Perempuan Mesir Azza Soliman kepada Mada Masr. “Semua gadis itu takut terhadap dia dan kekuasaan keluarganya,” tutur pengacara yang menangani sebelas pengaduan tentang Zaki sejak akun Assault Police muncul tersebut.

Kasus Zaki sebetulnya sudah mencuat sejak 2018. Sekitar 50 mahasiswa mengadukannya ke kampus, tapi tak ada penyelidikan lebih lanjut. Zaki lalu pindah ke European Union Business School di Barcelona, Spanyol.

Unggahan pertama di akun Assault Police adalah gambar Zaki sebagai predator seksual. Melalui pesan dalam bahasa Inggris dan Arab, akun itu mendorong para korban bersuara dan memberikan jaminan anonimitas bagi mereka. Ribuan orang kemudian mengikuti akun tersebut. Hingga Jumat, 11 September lalu, akun itu sudah diikuti 193 ribu pengguna dan lebih dari 150 orang menyampaikan pengaduan.

Menurut sejumlah kesaksian, Zaki menggunakan berbagai tipuan untuk mendapatkan nomor telepon korban, seperti mengaku sebagai anggota klub sosial abal-abal. Dia membujuk korban agar memberikan foto intimnya yang kemudian ia gunakan untuk memaksa mereka berhubungan seksual dengannya. Dia lalu mengancam akan mengirim foto tersebut kepada orang tua mereka jika korban menolak.

Dewan Nasional untuk Perempuan (NCW), lembaga pemerintah yang memperjuangkan hak-hak perempuan, kemudian mewakili para korban dan melapor ke kejaksaan. Zaki akhirnya ditahan dengan dakwaan berusaha memerkosa dan mengancam dua perempuan dan seorang gadis di bawah umur. Ayah Zaki mundur dari perusahaan, tapi membantah tudingan bahwa putranya telah melakukan pemerkosaan.

Terbongkarnya kasus Zaki diikuti persetujuan parlemen atas rancangan undang-undang yang memberikan hak anonimitas kepada para korban pemerkosaan dan perundungan seksual. Rancangan ini disambut gembira kelompok pembela hak-hak perempuan. Randa Fakhr El-Deen, pemimpin Serikat Melawan Praktik Penyiksaan terhadap Perempuan, menyebut rancangan itu sebagai langkah luar biasa untuk mengubah Mesir menjadi tempat yang lebih aman bagi perempuan.

Gebrakan kedua adalah kasus Fairmont. Sebuah pengaduan mampir ke Assault Police pada akhir Juli lalu bahwa sembilan lelaki dari keluarga kaya telah memerkosa seorang gadis di bawah umur dalam sebuah pesta di Fairmont Nile City Hotel, hotel bintang lima di Kairo, pada Agustus 2014. Mereka merekam kejahatan tersebut dan memakai video itu untuk membungkam korban.

Awal September lalu, Jaksa Agung Hamada El-Sawy memerintahkan penyelidikan atas kasus ini. Namun penanganan kasus ini aneh. Menurut Middle East Eye, polisi telah menahan tujuh orang dan kemudian membebaskan empat di antaranya. Hanya satu dari tujuh orang itu yang diduga sebagai pelaku. Sisanya adalah saksi, seorang aktivis, dan bahkan seseorang yang tak punya hubungan apa-apa.

Semua tahanan dipaksa menjalani tes narkotik dan telepon seluler mereka disita. Sejumlah saksi dipaksa menjalani “tes anal” untuk memastikan apakah mereka punya kebiasaan homoseksual dan seorang tahanan perempuan harus menjalani “tes keperawanan”. Dua tes yang tak ilmiah ini dikecam kelompok-kelompok hak asasi sebagai bentuk kekerasan dan penghinaan. Middle East Eye menduga kasus ini sengaja dibelokkan menjadi kasus homoseksualitas, yang dianggap sebagai kejahatan di Mesir.

Mesir memang rawan bagi perempuan. Jajak pendapat Thomson Reuters Foundation pada 2017 menemukan Kairo adalah kota besar paling berbahaya bagi perempuan. Survei Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2013 menunjukkan 99 persen perempuan mengalami perundungan di negeri itu.

Selama ini, perempuan Mesir enggan melaporkan kasus perundungan seksual karena adanya stigma sosial. “Masyarakat menyalahkan korban, bukan pelakunya, dalam kebanyakan kasus,” tutur psikiater Remon Qannas kepada Al-Ahram Weekly. Ulama Al-Azhar University telah menyatakan bahwa sikap dan pakaian perempuan tak dapat dijadikan alasan untuk menyerang martabat dan kebebasan mereka. Namun pernyataan ini belum banyak mengubah pandangan masyarakat dan pemerintah.

Polisi bahkan menahan para korban, bukan menolong mereka. Pada Mei lalu, misalnya, Menna Abdel Aziz muncul di TikTok dengan muka sembap dan luka sambil menuturkan bahwa teman sekolahnya, Mazen Ibrahim, telah memerkosanya. Polisi malah menahan gadis 17 tahun itu dengan tuduhan menghasut kebejatan dan melanggar nilai-nilai kekeluargaan. Adapun Amal Fathy, anggota Komisi Mesir untuk Hak Asasi dan Kebebasan, divonis 2 tahun penjara gara-gara membahas perundungan seksual melalui TikTok.

Sherif Gamal, Direktur Eksekutif Pusat Bantuan Hukum Perempuan Mesir, menilai hukum dan stigma sosial di sana harus diubah agar lebih melindungi perempuan. Dalam banyak kasus, kata dia, perempuan yang menjadi korban bukannya diberi dukungan oleh keluarga, tapi malah dikurung di rumah, dihukum, atau, dalam kasus pemerkosaan, dibunuh karena dianggap menodai keluarga.

IWAN KURNIAWAN (THOMSON REUTERS FOUNDATION, MIDDLEEAST EVE, CAIRO 24, AL-AHRAM WEEKLY)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus