Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Penjaga Hutan Adat Kinipan

Effendi Buhing menjadi Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan pertama. Sebagai upaya menghentikan pembabatan hutan.

12 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Kamis 3 September 2020./TEMPO/ Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Effendi Buhing ditangkap tepat di hari ulang tahunnya yang ke-51.

  • Ia melaporkan petugas kepolisian yang menangkapnya ke Propam Polri, Komnas HAM, dan Kompolnas.

  • Bagi masyarakat Kinipan, hutan adalah supermarket tempat mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

SAMBIL duduk di kantin Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta, Effendi Buhing memperlihatkan rekaman video banjir di kampungnya yang terjadi pada hari itu via telepon selulernya. Air berwarna cokelat menggenang sampai ke atap rumah. Dua orang yang terlihat dalam video itu tampak berupaya menyelamatkan padi mereka ke atas perahu. “Dulu ndak pernah ada banjir begini,” kata Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan itu kepada Tempo, lalu menghela napas berat, Senin, 7 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa Kinipan terletak di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Lokasinya berada di atas bukit. Menurut Effendi, baru dua tahun terakhir banjir besar menghampiri laman (kampung) mereka. “Setelah hutan ditebang,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hutan adat mereka dan sekitarnya dibabat sejak 2018. Hutan adat Laman Kinipan adalah satu dari sedikit rimba yang tersisa di Kalimantan Tengah. Sebagian besar hutan di provinsi tersebut sudah ditebang untuk dialihfungsikan, antara lain menjadi perkebunan sawit. Sebagian lain ludes terbakar.

Ketika warga Kinipan berupaya mempertahankan hutan adat mereka agar tak ikut dialihfungsikan, lima warga ditangkap polisi pada hari yang berbeda, termasuk Effendi. Empat lainnya adalah Riswan, Teki, Embang, dan Semar yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan merusak alat berat dan mesin pemotong pohon (chainsaw) milik PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

Sedangkan Effendi dituding mencuri chainsaw. “Padahal saat kejadian saya tak ada di tempat. Dan yang ada di lokasi tersebut pun tak mencuri, mereka menahan chainsaw agar para pekerja menghentikan penebangan,” tuturnya.


BAGI masyarakat Kinipan, hutan adalah supermarket tempat mereka memenuhi kebutuhan harian. Mereka, misalnya, mendapatkan daging dengan berburu babi hutan atau rusa, juga menjala ikan. Beras diperoleh dengan berladang di lahan rimba.


Effendi jauh-jauh datang dari Desa Kinipan ke Jakarta untuk memperkarakan proses penangkapannya pada 26 Agustus lalu itu. Ia melaporkan petugas kepolisian yang membekuknya tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-51 tersebut ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Ia juga mengadukan penangkapan itu ke Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Penangkapan tersebut, kata Effendi, menyalahi aturan karena sebelumnya ia tak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan. Ketika ia menolak ditangkap, polisi menyeretnya. Beberapa polisi bersenjata api laras panjang dengan rompi antipeluru dan berhelm pun turut mendorongnya masuk ke mobil.

Elizabeth Ringit, istri Effendi, merekam peringkusan suaminya tersebut. Teriakan penolakan Effendi terdengar nyaring dalam rekaman video itu. “Rekaman itu satu-satunya bukti yang bisa menyelamatkan kami,” ucap Elizabeth.

Ia mengirimkan video tersebut kepada keluarganya dan pemimpin besar pasukan merah se-tanah Dayak, Pangalangok Jilah. Jilah, yang ditemui terpisah, mengucurkan air mata melihat video itu. “Orang yang merusak hutan dibiarkan, yang membela hutan ditangkap. Di mana keadilan di Indonesia?” tuturnya.

Sebelumnya, Jilah membuat video ultimatum agar polisi membebaskan Effendi. Menurut dia, kasus tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap orang-orang yang menentang kepentingan PT SML. Jika Effendi tidak dibebaskan, Jilah akan turun tangan. Dukungan terhadap Effendi juga meluas setelah video itu viral di media sosial. Ia dibebaskan keesokan harinya.

• • •

BAGI masyarakat Kinipan, hutan adalah supermarket tempat mereka memenuhi kebutuhan harian. Mereka, misalnya, mendapatkan daging dengan berburu babi hutan atau rusa, juga menjala ikan. Beras diperoleh dengan berladang di lahan rimba. Hutan juga memberi mereka buah-buahan, seperti durian dan langsat; jengkol; bumbu dapur; tanaman obat, seperti akar kuning yang digunakan untuk menyembuhkan sakit pinggang; serta karet, rotan, dan kayu ulin.

Orang-orang dewasa terbiasa tinggal selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, di dalam hutan untuk berladang ataupun meramu. Mereka membangun dukuh dahas, tempat tinggal sementara selama melakukan pekerjaan tersebut.

Anak-anak mulai dikenalkan kepada rimba setelah mereka berusia sekitar tujuh tahun, termasuk Effendi kecil. Ia diajak masuk ke hutan oleh ayah atau pamannya. Tepi wana terdekat bisa mereka tempuh dengan menyusuri sungai menggunakan perahu, lalu berjalan kaki selama sejam. Sedangkan yang terjauh jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Di dalam hutan itu, mereka mengambil apa saja yang bisa dibawa pulang. “Kadang kebetulan dapat babi, kadang ketemu pohon ulin,” ujarnya.

Selain dikonsumsi sendiri, sebagian hasil meramu tersebut dijual kepada tengkulak yang datang ke laman. Uang hasil penjualan mereka gunakan untuk keperluan lain, seperti membeli sabun, menyekolahkan anak, juga membeli telepon seluler, sepeda motor, dan mobil. Sebagian warga di Laman Kinipan berprofesi sebagai guru. Ada pula yang menjadi tentara. Effendi sendiri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lamandau periode 2004-2009 dan 2009-2014. “Hutan mencukupi kebutuhan kami,” ucapnya.

Masyarakat menyepakati hukum adat terkait dengan hutan. Mereka, misalnya, akan menandai pohon ulin yang mereka pilih untuk dibawa pulang kemudian. Kayu pohon ini bisa digunakan sebagai bahan konstruksi rumah, juga dijadikan atap. Kalau ada orang lain yang menebang pohon tersebut, orang pertama yang menandai bisa memperkarakannya. Demikian pula dengan lahan yang sudah ditandai untuk dijadikan ladang. Jika orang yang mengambil lahan dianggap bersalah, hukumannya berupa denda yang bisa dibayar dengan tempayan.

Warga Kinipan menghafal batas-batas hutan milik kampung mereka dengan batas hutan desa tetangga memakai patokan pohon, batu, atau bukit. Jika ada yang hendak memasuki rimba yang bukan kawasan mereka dan mengambil isinya, mereka diwajibkan meminta izin.

Ketika PT SML datang pada 2012 untuk mensosialisasi rencana perusahaan mengalihfungsikan hutan, masyarakat Kinipan menolak. Belajar dari pengalaman desa lain, pengalihfungsian hutan justru membuat masyarakat tak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain harus mengubah mata pencarian, mereka khawatir pembabatan rimba akan merombak tatanan hidup mereka, terutama yang berkaitan dengan adat. Demikian pula dengan kondisi alam. Kampung mereka menjadi rawan dihantam banjir dan tanah longsor. “Penebangan hutan akan merusak banyak hal,” tutur Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Lamandau, Junaedi, yang ikut menemani Effendi ke Jakarta.

Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing di kebun buahnya./Istimewa

Lewat musyawarah, warga bersepakat membentuk komunitas adat. Effendi terpilih menjadi Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan pertama, yakni pada 2015. Seluruh penduduk Laman Kinipan, yang berjumlah sekitar 900 jiwa, menjadi anggota komunitas tersebut. Mereka pun bermufakat memetakan hutan yang mereka kelola untuk mempertahankannya.

Batas hutan, yang semula hanya diingat dengan patok alam, mereka gambar menjadi titik koordinat. Pemetaan tersebut selesai pada 2017. Luas hutan dari hitungan mereka mencapai 16.164 hektare. Mereka membawanya ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Setelah melakukan verifikasi, BRWA menyatakan Laman Kinipan layak ditetapkan menjadi wilayah adat. Sertifikat wilayah adat mereka dikeluarkan pada Juli 2017. Namun pemerintah belum mengakui keberadaan hutan adat itu.

PT SML mulai menebangi rimba mereka pada 2018. Effendi mendapat laporan dari masyarakat yang kebetulan menjumpai para penebang di hutan. Beberapa orang meminta mereka menghentikan penebangan tersebut. Masyarakat adat Kinipan memberi mereka sanksi adat sebesar Rp 5 miliar lantaran menggusur lahan warga seluas 1.242 hektare.

Namun PT SML terus menebangi hutan mereka dan menggantinya dengan sawit. Effendi dan kawan-kawan kemudian mengadukan hal itu kepada Bupati Lamandau, DPRD Lamandau, Gubernur Kalimantan Tengah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komnas HAM, juga Kantor Staf Presiden pada 2018. “Warga Kinipan iuran untuk memberangkatkan kami berdelapan ke Jakarta,” kata Effendi.

Kepala Hubungan Masyarakat PT SML Wendi Soewarno membantah tuduhan kriminalisasi terhadap warga Laman Kinipan. “Bukan kriminalisasi. Pencurian itu murni tindak pidana,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Rabu, 26 Agustus lalu. Wendy mengatakan wilayah yang diklaim warga Laman Kinipan berada di area konsesi PT SML.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan belum ada penetapan hutan adat Laman Kinipan. Penetapan itu membutuhkan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat Laman Kinipan oleh Pemerintah Kabupaten Lamandau. Namun pemerintah daerah tak kunjung memberikannya. “Kami hanya ingin pembabatan dihentikan,” ucap Effendi.

NUR ALFIYAH, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus