Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI kelima belas. Para mahasiswa Departemen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, dipimpin geolog Doktor Amien Widodo terjun ke lokasi ekskavasi situs Kumitir, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Mojokerto, Jawa Timur. Hari itu Senin, 24 Agustus 2020. Sudah sekitar dua minggu tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan penggalian di Kumitir. “Kami datang sebagai sukarelawan membantu BPCB,” kata Amien Widodo. Para mahasiswa ITS itu bergerak melakukan survei geolistrik, georadar, dan stratigrafi terukur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang mahasiswa tampak mengulur meteran sepanjang kurang-lebih 15 meter di kawasan penggalian yang berlokasi di belakang permakaman umum Desa Kumitir. Dari ujung meteran, dua mahasiswa mendorong alat georadar bolak-balik. Setelah itu, mereka membaca data yang tertera pada layar alat tersebut. Alat georadar bisa menembus kedalaman tanah sampai 30 meter. “Kami meneliti kondisi tanah di lokasi penggalian. Kami juga mengambil sampel di beberapa tempat,” ucap Amien. Sampel-sampel itu selanjutnya diteliti di laboratorium geofisika ITS selama sekitar tiga pekan. “Sehingga kami bisa menyimpulkan ini dulu bekas endapan apa,” tutur Amien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa Teknik Geofisika ITS sedang meneliti lapisan tanah menggunakan alat georadar di Situs Kumitir, Mojokerto, 24 Agustus lalu. Tempo/Kukuh S. Wibowo
Amien berujar, dilihat dari sampel yang telah dikaji ITS, mungkin ada endapan bekas banjir bandang yang menerjang Kumitir. Atau mungkin bekas banjir lahar akibat erupsi gunung api. “Endapan banjir bandang dan banjir lahar punya ciri-ciri khusus, maka kami di sini meneliti ciri-ciri itu. Kami mengambil sampel dari sisi hulu, tengah, dan hilir,” ucap Amien.
• • •
EKSKAVASI sebulan penuh, sejak 4 Agustus sampai 9 September lalu, yang dilakukan BPCB Jawa Timur di Kumitir itu disebut-sebut merupakan ekskavasi paling spektakuler untuk menyibak kehidupan masa lalu Majapahit dalam beberapa tahun terakhir. Penggalian dilakukan di area seluas 6 hektare dan melibatkan kurang-lebih 55 pekerja warga setempat serta sekitar 40 tenaga ahli BPCB. Awalnya, pada 2017, sejumlah perajin batu bata di Kumitir menemukan sebuah struktur batu bata kuno seperti tembok rendah. BPCB memperkirakan temuan itu adalah struktur talut yang sesungguhnya memanjang jauh.
Pada 21-30 Oktober 2019, BPCB melakukan penggalian hingga kedalaman 1,5 meter mengikuti struktur tembok kuno itu. Hasilnya menakjubkan: benar, ada talut panjang yang tersembunyi ratusan tahun di dalam tanah. Kondisinya pun masih baik. Panjang talut itu mencapai 187 meter dengan tinggi 120 sentimeter. Adapun ketebalan bata merahnya mencapai 140 sentimeter. Talut kuno itu mempesona karena tampak masih kokoh dan setiap 5 meter terdapat dimensi pilar.
Berdasarkan temuan itu, para arkeolog BPCB menyusun hipotesis. Talut panjang tersebut diperkirakan merupakan talut yang berada di sisi timur dan bagian dari desain kompleks besar talut berdenah segi empat. Artinya, masih ada struktur talut lain di bagian barat, utara, dan selatan. Yang lebih menantang, BPCB menduga talut itu mengelilingi sebuah bangunan suci. Di titik ini, BPCB mengeluarkan hipotesis menggairahkan: kawasan inti itu mungkin merupakan tempat pendarmaan Mahesa Cempaka, yang meninggal pada 1280 Masehi. Mahesa Cempaka adalah bangsawan Singasari. Dia cucu Ken Arok dan Ken Dedes. Raja-raja Majapahit, seperti Raden Wijaya dan Hayam Wuruk, memiliki garis silsilah langsung dari Mahesa Cempaka. Mahesa Cempaka wafat saat Singasari dipimpin Kertanegara. Nama tahbisannya adalah Narasinghamurti.
Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi di situs Kumitir Dusun Bendo, Desa Kumitir, Mojokerto, Jawa Timur, 10 Agustus lalu. Tempo/Kukuh S. Wibowo
Dari mana BPCB memiliki hipotesis bahwa Desa Kumitir dulu merupakan lokasi pendarmaan Mahesa Cempaka? Jawabannya: kitab Nagarakretagama dan Pararaton. Dalam Nagarakretagama dan Pararaton disebutkan Mahesa Cempaka didarmakan di Kumeper. Nagarakretagama menjelaskan bangunan suci yang dilengkapi arca Syiwa yang indah. Nama Kumitir juga ada dalam teks kuno Kidung Wargasari. Dalam teks itu, Kumitir disebut sebagai nama sebuah daerah yang dilintasi seorang pemuda bernama Wargasari (tokoh cerita ini) dalam perjalanannya menuju Lemah Tulis, Majapahit, untuk mempelajari agama. Nama beberapa daerah yang disebut dalam kidung itu memang mirip dengan nama-nama desa di sekitar Trowulan sekarang, seperti Sajabung (Desa Lebak Jabung) dan Banjaran Getas (Desa Getas). Menurut KRT Manu J. Widyasaputra, ahli bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kata kumeper dan kumitir bersinonim. “Kalau dari segi morfologi, kumeper asal katanya keper, yang artinya lambaian. Kumeper artinya melambai-lambai karena angin. Sedangkan asal kata kumitir adalah kitir atau lambaian. Kumitir, karena itu, juga berarti melambai-lambai karena angin,” katanya kepada Tempo.
Ekskavasi besar-besaran lalu dirancang BPCB Jawa Timur untuk membuktikan apakah hipotesis mengenai pendarmaan Mahesa Cempaka itu benar. Pelaksana tugas Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Jawa Timur, Harjo Lukito, mengatakan evakuasi baru bisa dilaksanakan pada Agustus lalu karena menunggu anggaran dari pusat turun. Selain itu, negosiasi pembebasan lahan dengan pemiliknya membutuhkan waktu. “Belum seluruh lahan bisa kami bebaskan karena negosiasinya alot,” tutur Harjo. Sedianya, ekskavasi juga akan melibatkan enam perguruan tinggi Indonesia yang memiliki jurusan arkeologi. Tapi, karena pandemi, hal itu tak memungkinkan. Akhirnya, hanya BPCB yang turun.
Sasaran penggalian BPCB selain talut adalah kawasan yang diperkirakan selama ratusan tahun memendam bangunan suci pendarmaan Mahesa Cempaka, yakni area permakaman umum Dusun Bendo, Desa Kumitir. Dugaan itu didasari posisi tanah pekuburan yang lebih tinggi daripada kawasan lain di Kumitir. Bila kita ke sana, memang yang menarik adalah di lahan sisi timur, di antara makam dan rerumputan, banyak bertaburan batu andesit lepas. Batu yang biasa digunakan sebagai bahan candi. Beberapa di antaranya bahkan digunakan penduduk untuk membuat nisan atau kijing. Dapat dilihat, misalnya, dua batu andesit kasar cukup besar teronggok di sudut berbeda yang bentuknya pipi tangga candi. Menurut Ismail Lutfi, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Timur, ada kemungkinan batu itu adalah batu calon makara. “Mengarah ke makara karena sepasang. Makara diletakkan di bagian depan pintu masuk candi.”
Tim ekskavasi penggalian situs Kumitir di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Mojokerto, Jawa Timur, 10 Agustus lalu. Tempo/Kukuh S Wibowo
Di lahan timur permakaman itu juga ditemukan batu andesit yang polanya melengkung. Dalam amatan Ismail, batu itu adalah batu bakal kala. Kala biasanya dipasang di ambang pintu. Juga didapati sebuah nisan dari batu andesit yang bongkahannya berbentuk kubus. Ismail memperkirakan batu itu calon antefiks. Antefiks adalah hiasan bagian luar candi yang menyatu dengan bagian induk. Ditemukan pula batu andesit yang memiliki pelipit.
Dengan adanya sebaran batu andesit yang biasa digunakan untuk membuat candi, BPCB memutuskan menggali lahan permakaman sebelah barat. BPCB membuat kotak-kotak galian berukuran 4 x 3 meter di sana. Total terdapat 15 kotak. BPCB membaginya menjadi sektor A, B, dan C. “Lahan sebelah barat ini dulu juga makam,” ujar Ismail. Namun sekarang tidak terdapat nisan-nisan seperti di sebelah timur lahan makam. “Hemat saya, posisi candinya memang di sektor A, B, C ini, bukan di lahan makam sebelah timur. Di sektor ini juga terdapat sejumlah batu candi dalam kondisi baik yang sudah halus maupun yang masih kasar,” kata Ismail. Berbarengan dengan penggalian parit talut, selama sebulan penuh BPCB menggali sektor barat pekuburan ini.
• • •
PENEMUAN-PENEMUAN dalam penggalian tidak semudah yang dibayangkan. Menurut pamong budaya Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Andi Muhammad Said (sebelumnya Kepala BPCB Jawa Timur), kondisi tanah di lokasi ekskavasi telah turun sekitar 3 meter lantaran digunakan sebagai linggan (tempat pembuatan batu bata). Berdasarkan laporan Belanda, tutur Said, sejak akhir 1780, penggalian batu bata hampir tiap hari terjadi di Trowulan. Lapisan tanah atas umumnya sudah rusak karena digali terus-menerus. Itulah yang menyebabkan ekskavasi baik di talut maupun di permakaman selama sebulan banyak menjumpai hambatan. “Bayangkan, sejak abad ke-17 sampai sekarang tanah-tanah persawahan itu digali. Pasti sudah banyak artefak penting yang hilang karena dijual,” ucapnya.
Penggalian talut, misalnya, tidak bisa menemukan seluruh deretan talut yang kokoh memanjang dengan perkerasan bata di lantai seperti temuan spektakuler di sisi timur. Setelah sebulan penuh menggali, tim BPCB mendapati kenyataan bahwa kondisi luar talut di timur banyak mengalami kerusakan. Betapapun demikian, tim BPCB mampu menganalisis struktur desain besar talut.
Kerja keras tim BPCB antara lain berhasil menemukan pojok timur laut talut (pertemuan antara talut timur dan utara) serta pojok barat laut talut (pertemuan antara talut barat dan utara). Sudut-sudut talut itu, kata Said, sudah saling menyambung. Namun pojok tenggara dan barat daya talut belum ditemukan. Bagian barat daya talut sudah sedemikian rusak. Tampak pernah terjadi pengambilan batu bata secara masif di situ. Pada 1970-an, warga diperkirakan mengambil batu bata bertruk-truk untuk pembuatan semen merah. Tim juga menemukan anomali: struktur di luar talut timur ada yang tidak lurus betul dan ada yang agak berbelok masuk setengah meter.
Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi skala besar penemuan struktur bata kuno berbentuk talut di kawasan cagar budaya situs Kumitir Dusun Bendo, Desa Kumitir, Mojokerto, Jawa Timur, 7 Agustus lalu. Antara/Syaiful Arif
Yang juga menarik, pojok talut di sisi barat laut diduga merupakan lokasi pintu gerbang yang besar. Sebab, terlihat konstruksinya lebih megah daripada pojok lain. Pojok talut barat laut itu lebih besar dibanding talutnya. Terdapat konstruksi melebar dengan pola menonjol. Juga terdapat susunan batu bata seperti membentuk terap atau undakan. Penyusunan batu bata tidak memakai nat perekat, tapi dilengketkan dengan digosok. Di situ juga ditemukan batu bata yang memiliki relief. “Kemungkinan besar pojok barat laut ini ada pelatarannya. Itu yang perlu kami dalami. Tapi kami terhambat soal lahan pembebasan yang belum beres,” tutur Said.
Pada masa lalu, pojok barat laut itu diperkirakan merupakan gerbang utama atau bagian depan kompleks Kumitir. Pada zaman dulu, gerbang di pojok barat tersebut mungkin menjadi penanda utama kompleks tersebut dari kejauhan. Jika kita di sana, Gunung Penanggungan memang terlihat jelas. Orientasi mata angin gerbang utama itu diperkirakan adalah Gunung Penanggungan. Para arkeolog menduga, pada masa lalu, untuk mengakses kompleks Kumitir, orang tidak bisa masuk dari semua arah, melainkan hanya melalui pintu gerbang utama itu.
Pintu masuk dan keluar kompleks dibedakan. Karena itu, masuk akal bila gerbang di setiap sudut berbeda. Di pojok timur laut, misalnya, dari analisis didapatkan bahwa ukuran susunan bata tidak sebesar yang berada di pojok barat laut. Ismail Lutfi mengatakan pola keluar-masuk dengan pintu berbeda ukuran juga bisa dilihat pada gapura Candi Jedong di Gunung Penanggungan. Di sana terdapat gapura lebih kecil untuk jalan keluar. Sampai sekarang, para arkeolog BPCB belum bisa memastikan model gapura seperti apa yang ada di sudut barat laut talut itu. Di Trowulan, ada model Gapura Bajang Ratu dan Gapura Wringin Lawang. Ada pula model candi bentar yang tidak memiliki atap penghubung, juga model paduraksa yang mempunyai atap.
Selama sebulan ekskavasi di berbagai area talut, tidak banyak temuan artefak lepas. Hanya ada serpihan atau pecahan terakota yang di antaranya bergambar ikonografi lidah api dan sayap. Lalu ada potongan arca yang hanya menyisakan bentuk lengan dan bahu. Dari hasil analisis, bentuknya adalah bahu kanan yang memakai kelat (gelang) bahu atas dan bawah. Karena mengenakan kelat bahu dobel, menurut Ismail, arca itu jelas merupakan arca tokoh penting. Ditemukan pula arca batu andesit yang sangat rusak sehingga tidak bisa diidentifikasi. Di dalam sisi talut juga didapati jobong terakota berbentuk silinder dengan 18 susunan silinder. Tiap lapis silinder setebal 25-35 sentimeter. Jobong adalah sumur era Majapahit. Temuan ini melengkapi data sebelum penggalian yang menyatakan di sekitar area situs terdapat dua sumur kuno berbentuk persegi empat dan melingkar. Jadi terdapat tiga model jobong di kompleks Kumitir.
• • •
DARI penggalian sektor A, B, dan C yang berada di lahan barat makam, para arkeolog BPCB Jawa Timur mendapatkan denah bangunan yang polanya mengarah ke bangunan tertentu. Pola itu memiliki sudut melebar ke kanan dan ke kiri. Pada hari ketiga penggalian, di sektor A dan B ditemukan struktur dasar bekas bangunan dengan batu bata enam lapis. Orientasinya dari timur ke barat. Secara keseluruhan, dari penggalian selama sebulan, tampak dari bagian muka ada sisa susunan terap batu bata untuk menaiki sektor makam ini. Dan betapapun yang ditemukan hanya pola, dari seluruh denah yang ada dapat diindikasikan di situ dulu terdapat bangunan besar seluas 250 x 312 meter.
Sebagaimana ekskavasi talut, temuan lepas dari hasil penggalian di sektor area makam cukup minim. “Dari kotak ekskavasi dapat diketahui kerusakan bahkan sampai pada lapisan bata paling bawah,” kata Ismail Lutfi. Hal ini membuat tim agak susah mengidentifikasi bangunan apa sebenarnya yang pernah berdiri di situ. Penggalian mendapatkan serpihan genting, potongan hiasan genting, pecahan mangkuk keramik dan benda keramik lain, serta pecahan gerabah dan terakota. Juga ditemukan sisa remukan dan pecahan batu bergambar ragam hias batik kawung.
Sampai sekarang, belum ada penjelasan jernih dari arkeolog BPCB Jawa Timur yang mengaitkan batu-batu andesit yang tersebar di sektor timur dan barat area makam dengan fondasi bangunan yang ditemukan. Apakah kira-kira memang batu-batu andesit itu nantinya menjadi bagian dari bahan baku bangunan tersebut? Sebab, dari ekskavasi, yang diperoleh hanya susunan batu merah dan sama sekali tidak terdapat susunan batu andesit. Hampir semua candi di Trowulan memang berbahan baku batu merah. Hanya satu candi berbahan andesit, yaitu Minakjinggo. Adakah hubungan batu-batu andesit berbentuk calon makara yang tersebar di makam itu dengan pola bangunan yang ditemukan?
Yang juga membuat para arkeolog BPCB “pusing” adalah banyaknya rounded boulder atau batu-batu bulat dengan ukuran hampir sama yang ditemukan “melimpah ruah” saat penggalian di sektor makam. Batu-batu itu ditemukan mengelompok baik di atas maupun di bawah permukaan batu bata yang menjadi pola bangunan. Pertanyaannya: apakah batu-batu tersebut memang bagian dari bangunan—artinya keberadaannya di sana buatan manusia—atau terbawa oleh banjir lahar?
Masuk akal bila batu-batu itu diletakkan di bawah lantai bata. Gunanya, mudah dianalisis, adalah untuk mengeraskan tanah. Namun mengapa terdapat banyak rounded boulder di atas batu bata? Itu yang “aneh”. “Struktur seperti itu belum pernah dijumpai dalam ekskavasi BPCB lain di situs-situs seluruh Jawa Timur,” tutur Wicaksono Dwi Nugroho, arkeolog BPCB yang menjadi koordinator ekskavasi. Yang juga menjadi teka-teki, boulder itu banyak didapati hanya dalam penggalian di sektor makam dan hampir dikatakan tidak ditemukan saat ekskavasi talut. Dalam diskusi virtual yang diadakan BPCB bersama geolog juga belum diperoleh kata pasti untuk itu. Geoarkeolog UGM, J.S.E. Yuwono, menyarankan data catatan penggalian Candi Tikus di zaman kolonial dilihat. Sebab, posisi Candi Tikus di Trowulan lumayan dekat dengan Kumitir. Adakah didapati boulder serupa saat penggalian Candi Tikus dulu? Sayangnya, catatan tersebut belum ditemukan sampai sekarang.
• • •
JADI apakah berani memastikan area makam adalah bekas lokasi pendarmaan Mahesa Cempaka? “Kemungkinan itu masih ada,” kata Wicaksono Dwi Nugroho (lihat tulisan di boks). Namun Profesor Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia yang mengamati ekskavasi dari jauh, menyatakan belum bisa ditarik kesimpulan karena penggalian masih berjalan 30 persen. “Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Mungkin tahun depan, saat lebih dari 50 persen kawasan Kumitir tersingkap,” ucapnya.
Agus sendiri memiliki hipotesis tentang talut di sana. “Kumitir menurut saya adalah sebuah gugusan bangunan dikelilingi tembok. Yang digali dan diperkirakan talut itu saya duga bagian tembok,” ujarnya. Temuan yang disebut talut itu dalam perkiraannya adalah bagian dasar dari tembok yang ketebalannya tidak sama dengan tembok di atasnya. “Tembok ketebalannya tak sama antara bagian atas dan bagian dasarnya. Bagian dasar memiliki kualitas adhistana (kedudukan utama). Tembok ini lebih kokoh dari yang di atas.”
Agus menduga dulu Kumitir memiliki tembok keliling tinggi. Bagian atasnya lebih ramping, tipis, dan kecil daripada bagian bawah. Hal seperti itu bisa diamati pada pagar keliling kompleks pura-pura Bali periode kuno. “Bagian atas yang ramping ini yang roboh, hilang, dan tersisa hanya bagian dasarnya,” dia menjelaskan. Agus melihat bangunan dinding itu mengelilingi sebuah kompleks yang luas dengan arah tenggara ke Gunung Penanggungan. Kompleks ini pun belum tentu hanya bangunan religi. “Kumitir menurut saya belum tentu situs sakral. Bisa jadi sakral-profan,” ujar Agus.
Tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur melakukan ekskavasi pada bangunan utama situs Kumitir di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, 8 September lalu. Antara/Syaiful Arif
Akan halnya Andi Muhammad Said, mengingat di tiap sudut talut mungkin terdapat pojok pengintaian (bastion) dan luas situs Kumitir jauh lebih besar dibanding kawasan Sumur Upas di Trowulan, memiliki pertanyaan menggelitik. “Situs Kumitir areanya lebih besar dari Sumur Upas yang selama ini diyakini sebagai kedaton Majapahit. Lalu sesungguhnya kota apa Kumitir ini?” Sejauh ini, para arkeolog meyakini Sumur Upas sebagai pusat istana Majapahit berdasarkan banyaknya artefak dari lapisan kelas atas yang ditemukan di tempat tersebut. Selain artefak, temuan umpak besar di situs Sumur Upas menandakan pernah ada bangunan besar di situ. Juga ada temuan motif lantai yang menyerupai block paving segi enam.
Said tak menutup kemungkinan bahwa situs Kumitir beserta talutnya merupakan “kota tersembunyi”. “Inilah puzzle yang harus dipecahkan,” katanya. “Bisa juga sebenarnya Siti Hinggil Majapahit di Kumitir. Tapi kami belum menyimpulkan apa-apa.” Tim BPCB, menurut Wicaksono, telah mengukur sudut kemiringan temuan sisa-sisa bangunan di area makam dengan kemiringan talut sisi timur dan barat. “Ternyata sama. Dan satu garis lurus dengan pintu gerbang,” ucapnya. Karena itu, Wicaksono menyimpulkan bangunan utama serta talut dan dinding yang mengelilinginya berasal dari satu zaman.
Wicaksono menduga talut tersebut dibangun pada zaman Singasari dan diperbagus pada masa Majapahit. Arah hadapnya pun, dia menambahkan, selaras dengan arah hadap Gunung Penanggungan sebagai pusat kosmis Majapahit. “Sudah kami ukur dan sudah kami ‘tembak’ (arah hadapnya). Tapi tidak pas benar di Puncak Penanggungan, melainkan di puncak kedua, yaitu Gunung Bekel,” tuturnya. Tim BPCB, Wicaksono melanjutkan, juga mulai mengaitkan keberadaan situs Kumitir dengan Candi Bajang Ratu dan Candi Tikus. Kedua candi itu terletak 3 kilometer di sebelah barat Kumitir. “Kami mau mengukur apakah situs Kumitir selaras dengan Bajang Ratu dan Tikus.”
• • •
LALU apa yang membuat, istilah Andi Muhammad Said, “kota tersembunyi” itu bisa terkubur dalam tanah? Tim relawan ITS belum mengumumkan hasil riset laboratoriumnya. Tapi geolog Amien Widodo menduga kemungkinan besar terjadi bencana hebat di Kumitir. Sebuah katastrofe. Dari peta geologi, menurut Amien, bisa dilihat adanya jalur-jalur aliran lahar menuju Mojokerto dan tampak kawasan Kumitir pernah dihantam dari dua arah. “Dari Gunung Arjuna-Welirang dapat dilihat di peta ada aliran yang langsung membelok ke arah Kumitir. Dan juga dari arah kawasan Oro-oro Ombo,” kata Amien dalam diskusi virtual yang diadakan BPCB Jawa Timur. Curah hujan di kawasan Trowulan cukup tinggi. Amien menduga bukan hanya sekali aliran banjir lahar dan debris flow membentuk kipas aluvial, tapi berkali-kali.
Teori katastrofe ini memang masih berupa kemungkinan. Sebab, jarak antara situs Kumitir dan Gunung Welirang jauh sekali. Dan jikapun ada banjir lahar, belum bisa dipastikan kapan terjadi. Apakah betul bencana itu terjadi pada zaman situs Kumitir masih digunakan? Juga apabila benar banjir lahar menghajar Kumitir, mengapa sama sekali tidak terdapat sisa-sisa kerangka atau artefak lain? Mungkinkah early warning system masyarakat Kumitir dulu sangat kuat sehingga sebelum bencana menerjang mereka sudah meninggalkan Kumitir beserta harta bendanya? Atau, sebagaimana dipercaya beberapa warga di sana, apakah bencana Kumitir sesungguhnya letusan lumpur dari bawah tanah yang merendam kawasan tersebut?
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho menunjukkan foto udara kawasan situs Kumitir di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Mojokerto, Jawa Timur, 1 Juli lalu. Antara/Syaiful Arif
Said mengatakan penggalian Kumitir masih panjang. Sekarang baru 30 persen dari area Kumitir yang tergali, masih ada 70 persen lagi. Menarik bila penelitian ke depan makin multidisiplin. Sebab, data pemindaian geolistrik tim ITS, misalnya, memperlihatkan di kedalaman 3-7 meter area yang belum digali terdapat “sesuatu” yang bisa jadi struktur bangunan. Pihak ITS sendiri belum menggunakan data bor untuk mengambil sampel tanah. Teknologi light detection and ranging alias lidar juga belum dipakai. Penggunaan teknologi ini tengah menjadi tren untuk membantu ekskavasi arkeologi.
Lidar adalah sistem pemindaian dari ketinggian menggunakan teknologi cahaya laser untuk memindai kawasan tanah yang luas. Keistimewaan lidar adalah dapat menembus kawasan yang tertutup alang-alang dan pepohonan. Dengan bantuan lidar, para arkeolog Amerika Latin, misalnya, bisa menyingkap kota tersembunyi Maya yang terselubungi hutan lebat Guatemala selama kurang-lebih 1.500 tahun. Karena itu, teknologi ini sangat berguna, misalnya untuk memindai kawasan ladang tebu yang luas di Kumitir. “Kami berencana menggali isi kompleks 6 hektare Kumitir. Kenapa sampai 6 hektare? Itu pekerjaan kami tahun depan,” ujar Wicaksono Dwi Nugroho.
Seno Joko Suyono, Kukuh S. Wibowo
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo