Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kompas didirikan P.K. Ojong dan Jakob Oetama, tapi perjalanan sejarah menjadikan Jakob sosok sentral satu-satunya di harian itu.
Ojong menolak meminta maaf kepada rezim Orde Baru ketika Kompas dibredel.
Rosihan Anwar menyebut sikap Kompas sebagai jurnalisme kepiting.
KABAR meninggalnya Jakob Oetama membawa ingatan saya kembali pada peristiwa enam tahun lalu. Pagi itu, sekitar Maret, saya duduk bersama salah seorang pendiri Kompas tersebut di ruang kerjanya di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. “Jadi Anda kuliah di Leiden? Dulu saya hampir saja kuliah di Belanda juga. Tapi seorang pastor menasihati saya, ‘Jakob, guru sudah banyak. Wartawan belum...,’” demikian tuturnya setelah saya memperkenalkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suaranya terdengar bijak, hangat, dan bersahabat. Kala itu, saya memang tengah menempuh studi doktoral di Universiteit Leiden, Belanda. Saat bertemu dengan Jakob, saya telah beberapa minggu berada di Kompas untuk menulis disertasi tentang biografi harian tersebut. Sebelumnya, saya mendengar banyak cerita dari jurnalis baru ataupun lama tentang arti penting sosok Jakob Oetama. Maka kesempatan wawancara pagi itu adalah sesuatu yang sudah sangat saya nantikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima tahun, delapan bulan, sembilan hari adalah waktu yang saya butuhkan untuk merampungkan penulisan disertasi saya. Salah satu aspek penting dari studi itu adalah Jakob Oetama. Kompas adalah Jakob Oetama. Demikian jika saya mesti menjelaskan arti penting sosok Jakob bagi harian itu. Kompas memang didirikan bersama oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Namun perjalanan sejarah menjadikan Jakob sosok sentral satu-satunya di Kompas.
Sejak awal sudah ada kesepakatan di antara kedua pendiri itu bahwa kebijakan redaksi surat kabar terutama akan menjadi kewenangan Jakob. Sedangkan Ojong lebih berfokus pada pengelolaan aspek bisnis surat kabar dan perkembangannya. Salah satu pertimbangan utama di balik ini adalah fakta bahwa Ojong masih dipandang sebagai orang buangan politik oleh rezim Sukarno pada 28 Juni 1965. Karena itu, untuk menghindari koran dilarang oleh rezim, Ojong memutuskan untuk tidak terlibat secara mencolok dalam kebijakan editorial. Pada terbitan pertama surat kabar itu nama Ojong bahkan tidak dicantumkan sebagai salah satu wartawan di Kompas, apalagi dalam daftar anggota staf redaksi.
Kedua, peristiwa pembredelan Kompas pada 21 Januari 1978 membuat pengaruh Jakob menjadi tak tertandingi. Saat itu, Kompas dibredel dan dipaksa meminta maaf kepada rezim Orde Baru sebelum diizinkan beroperasi kembali. Perdebatan serius terjadi di antara kedua pendiri. Ojong menolak memenuhi persyaratan rezim. Menurut dia, sebaiknya Kompas ditutup selamanya saat itu juga karena bisa diancam akan ditutup lagi kapan saja di masa depan. Dalam kata-katanya: “Jakob, jangan minta maaf.... Cepat atau lambat, mereka akan menutup kita lagi.”
Jakob, sebaliknya, setuju memenuhi tuntutan rezim. Ia juga setuju memenuhi persyaratan yang lain dengan menandatangani surat perjanjian bahwa Kompas tidak akan pernah lagi menerbitkan berita yang mengkritik rezim. Dia percaya bahwa perjuangan melawan rezim otoriter harus terus berlanjut dan ini tidak bisa dilakukan dengan surat kabar yang mati. “Anda tidak dapat menjadikan mayat sebagai sekutu Anda,” kata Jakob.
Sebagai konsekuensi dari posisi yang berbeda ini, Ojong sepenuhnya menarik diri dari semua urusan editorial dan sepenuhnya mendelegasikan pekerjaan itu kepada rekannya tersebut. Pengaruh Jakob menjadi makin kuat setelah Ojong meninggal pada 1980. Sejak itu, Jakob menjadi satu-satunya tokoh sentral di Kompas.
Kepergian Jakob pada Rabu, 9 September 2020, adalah sebuah kehilangan besar bagi Kompas dan dunia pers Indonesia. Membaca biografi Jakob laksana membaca sejarah politik Indonesia itu sendiri. Jakob aktif dan berperan mewarnai bangsa dengan kerja-kerja jurnalistiknya bersama Kompas, yang telah hadir sejak masa Orde Lama (1965) sampai era reformasi. Selama lebih dari separuh abad itu, dia telah mengemban misi sebagai kompas, pemandu jalan bagi bangsa ini untuk menjalani setiap periode evolusi politik dengan damai.
“Ngono yo ngono ning ojo ngono” adalah filosofi yang lekat dengannya. Hasilnya adalah jurnalisme Kompas yang memakai “rasa”, yang mengkritik tanpa menyakiti, yang lentur dalam cara tapi tegas dalam prinsip, yang menginspirasi dan mengimbau laksana seorang guru. “Menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan” adalah kredo lain harian Kompas yang lekat dengan sosok Jakob. Kees de Jong, sejarawan dari Nijmegen, Belanda, menuliskan dalam disertasinya pada 1990 bahwa jurnalisme Kompas didasari nilai “humanisme transendental” atau kemanusiaan yang beriman. Artinya, kemanusiaan yang didasari oleh spirit ketuhanan.
Tak seperti humanisme di Barat yang lahir setelah manusia berpaling dari Tuhan dan gereja, humanisme Kompas lahir dari kepercayaan kepada Tuhan yang pengasih. Menyadari bahwa dalam setiap orang ada sosok malaikat dan sekaligus iblis. Maka setiap orang berhak diberi kesempatan menjadi orang baik. Pukullah mereka ketika melakukan kesalahan, tapi jangan sampai dia jatuh dan tak mampu bangkit lagi. Demikian ia tetap bisa bangkit lagi dan memperbaiki diri.
Meski demikian, tidak sedikit kritik yang diajukan kepadanya karena sikap itu. Jurnalis senior (almarhum) Rosihan Anwar menyebut sikap itu sebagai jurnalisme kepiting. Seperti kepiting, Kompas berani menyerang musuh dan terus maju selangkah demi selangkah untuk menguji seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi buat kebebasan pers. Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa langkah. Jika kondisi tidak memungkinkan, kaki kepiting bisa mundur beberapa langkah. Karena terlalu lunak pada Orde Baru, Kompas disebut ilmuwan politik Ben Anderson sebagai “the New Order newspaper par excellence”.
Demikianlah, kehati-hatian Jakob adalah satu kelemahan tapi juga satu kelebihan untuknya. Andai saja Jakob mengambil posisi seperti Ojong pada 1978, Kompas mungkin sudah tinggal kenangan. Tanpa Kompas, Orde Baru mungkin menjadi rezim yang lebih otokratik dan lebih brutal daripada yang kini diingat sejarah.
Satu hal yang tak boleh dilupakan: Kompas-lah salah satu harian yang pertama kali mendesak Soeharto, penguasa otoriter Orde Baru itu, untuk mundur dari kursi kepresidenan. Ini dituliskan melalui berita utama Kompas pada 14 Mei 1998 dengan judul “Kalau Rakyat Tak Lagi Menghendakinya, Presiden Siap Mundur”. Kompas dengan sengaja membingkai judul berita yang seakan-akan mengesankan Soeharto siap lengser meskipun sebenarnya tidak demikian. Pertanyaan itu dimaksudkan penguasa Orde Baru tersebut dalam bayangan bahwa dia tidak terpilih lagi pada pemilihan umum berikutnya, bukan karena dilengserkan oleh kekuatan massa. Ini adalah satu bukti sejarah bahwa Kompas, dengan caranya sendiri yang khas, berani turut mendorong lengsernya Soeharto.
Pertanyaan yang lantas muncul adalah masih relevankah gaya jurnalisme itu untuk dipraktikkan hari ini manakala Indonesia tengah mengalami demokratisasi dan membutuhkan dorongan yang lebih kuat untuk menjadi demokrasi yang terkonsolidasi?
Belum lagi terpaan revolusi digital yang berdampak secara serius bagi kehidupan demokrasi dan mengubah secara signifikan peradaban politik bangsa. Suara yang lebih jernih dan berani diperlukan untuk menjadi pemandu di tengah kebisingan media sosial yang dipenuhi kabar bohong dan ujaran kebencian.
Mengutip teori habitus dari sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, saya menteorikan bahwa selama lebih dari tiga dekade Kompas telah mengembangkan habitus jurnalisme yang hati-hati demi kepentingan bertahan hidup pada masa Orde Baru yang otoriter. Habitus itu dipengaruhi sangat kuat oleh Jakob Oetama yang Jawa sekaligus Katolik, sebagai dua hal yang lekat dengan sosok ini, yang mengasuh Kompas selama puluhan tahun. Namun, sayangnya, habitus lama itu tidak serta-merta berganti saat rezim politik berubah dari otoriter menuju demokrasi serta satu gaya jurnalisme baru yang lebih tepat dengan semangat zaman diperlukan.
Pada saat seperti inilah sosok paling bersejarah dalam harian itu pergi untuk selamanya. Ia seakan-akan memberikan pesan: sudah saatnya bagi generasi baru untuk melanjutkan misi sejarah menjadikan Kompas sebagai media yang tetap relevan bagi bangsa, memberi arah dan penunjuk jalan bagi misi penyelamatan demokrasi. Ini adalah juga misi bagi insan jurnalisme di mana pun, dengan platform seperti apa pun, entah cetak entah digital, untuk membimbing arah bangsa ini buat menahan laju kemunduran demokrasi menuju demokrasi terkonsolidasi.
Seperti selalu dikatakannya, setiap orang memanggul salibnya sendiri-sendiri. Setiap generasi mengemban misi kesejarahan masing-masing. Jakob Oetama telah menuliskan sejarahnya. Kini giliran generasi yang lebih muda untuk menulis kisahnya sendiri. Selamat jalan, Pak Jakob!
WIJAYANTO, DIREKTUR CENTER FOR MEDIA AND DEMOCRACY LP3ES, DOSEN MEDIA DAN DEMOKRASI DI PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo