Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Atas Nama Prasangka

Perempuan bisa ditangkap di Tangerang hanya karena dianggap pelacur. Korbannya meninggal karena depresi.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH nyata ini datang dari Tangerang, kota terbesar di Provinsi Banten. Suatu Senin malam akhir Februari 2006. Lilis Lindawati, 39 tahun, tengah menanti kendaraan umum di pertigaan Pos Gerendeng, Karawaci. Restoran tempatnya bekerja buka sampai malam, sehingga Lilis pun baru bisa pulang pada malam hari.

Tak lama lewatlah Satuan Polisi Pamong Praja Kota Tangerang. Tanpa bertanya apa-apa, mereka meringkus Lilis dengan tuduhan melacur. Perempuan yang sedang me­ngandung dua bulan itu membantah keras tuduhan tersebut. Satpol tak menggubrisnya. Kustoyo, suami Lilis, seorang guru pendidikan jasmani di Sekolah Dasar Negeri V Gerendeng, bergegas datang untuk mengklarifikasi. Percuma. Lilis digelandang bersama 27 perempuan lain yang terjaring razia operasi yustisia malam itu. Dia dipaksa menginap di kantor Satpol PP.

Keesokan harinya, pengadilan memutuskan Lilis bersalah. Dia diwajibkan membayar denda Rp 300 ribu atau menjalani kurungan empat hari. Sejak itu Lilis menarik diri dari pergaulan—dia malu karena dicap pelacur. Dalam film dokumenter Atas Nama Moralitas dan Agama yang digarap Komnas Perempuan pada 2009, Kustoyo mengatakan hidup istrinya berubah setelah kasus itu. "Dia selalu ketakutan keluar rumah atau jika melihat orang berseragam." Kustoyo pun terpaksa berhenti mengajar karena sekolahnya tak mau punya guru "beristrikan pekerja seks".

Dua tahun menahan hati sembari berpindah-pindah rumah, Lilis mulai sakit-sakitan. Dia wafat pada September 2008. Memang tak ada dokumen medis yang mencatat penyebab kematiannya. "Tapi, berdasarkan pendampingan, psikolog, dan pengakuan keluarga, Lilis menderita depresi," kata Andy Yantriani kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Andy adalah Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.

Nah, Satpol PP berdalih punya dasar hukum dan merasa tak bersalah. Pemerintah Kota Tangerang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran. Ini melengkapi peraturan yang melarang peredaran minuman keras di kota itu. Pasal-pasal dalam peraturan daerah tentang larangan pelacuran itu ternyata masih sarat persoalan.

Misalnya, aparat pemerintah kota bisa menangkap seseorang berdasarkan prasangka. Intisari peraturan itu melarang setiap orang yang perilakunya mencurigakan—sehingga bisa dianggap pelacur—berada di jalan umum, lapangan, penginapan, warung kopi, tempat hiburan, serta lokasi lain di Tangerang. Aturan ini menuntut partisipasi masyarakat tapi, lagi-lagi, cukup dengan modal kecurigaan.

Menurut Andy, kriteria pelanggaran berdasarkan dugaan itu, "Melanggar hak masyarakat memperoleh kepastian hukum. Padahal, itu prinsip utama negara hukum," perempuan ini menegaskan. Toh, Wali Kota Tangerang Wahidin Hamid tenang-tenang saja. Dia menolak tudingan bahwa aturan yang dibuatnya berlawanan dengan hukum.

Menurut dia, peraturan daerah ini justru menerjemahkan hukum pidana umum yang tak tuntas mengatur hubungan sosial masyarakat. Dia pun menolak pandangan yang menyebutkan aturan itu berbau syariah atau hukum Islam. Wahidin menegaskan, aturan itu merefleksikan sikap warga Tangerang yang menentang pelacuran dan minuman keras. "Ini cukup efektif dan akan tetap ditegakkan," ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Sampai sekarang posisi pemerintah Kota Tangerang berada di atas angin. Upaya Tim Advokasi Perda Diskriminatif mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung pada 2006 lalu ditolak. Mahkamah beranggapan tak punya kewenangan menguji produk politik pemerintah daerah dan DPRD.

Guru besar ilmu hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, berpendapat sebaliknya. Menurut dia, peraturan daerah itu jelas-jelas bermasalah. Alasannya? Sebuah peraturan daerah tak seharusnya mengurusi kesusilaan karena sudah diatur secara hati-hati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Indriyanto menegaskan, "Suatu dakwaan atas pelanggaran sebuah aturan tak boleh dilakukan dengan prasangka."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus