Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN baliho dan spanduk bertulisan "Wanita yang beradab adalah wanita yang berjilbab" menyapa siapa pun yang singgah di Cianjur, Jawa Barat.
Ini tak sekadar slogan. Lewat surat edaran yang dikeluarkan Bupati Wasidi Swastomo pada 2006, para pegawai pemerintahan di kota itu, baik pria maupun wanita, diwajibkan berbusana muslim.
Jelas tak semua memakai dengan sukarela. Kepada Tempo, Enti—bukan nama sebenarnya—seorang karyawati nonmuslim, mengaku kini tiap Jumat memakai jilbab. "Ini karena terpaksa," kata perempuan 30 tahun itu.
Dalam peraturan itu ditegaskan, setiap Jumat pegawai pria diwajibkan memakai baju lengan panjang atau pendek model koko, celana panjang, serta peci hitam. Sedangkan pegawai perempuan mesti tampil dengan baju lengan panjang, celana atau rok panjang semata kaki, serta kerudung.
Di kantor-kantor pemerintah, kewajiban ini dipatuhi. Tempo menyambangi kantor Satuan Polisi Pramong Praja pada Jumat dua pekan lalu. Semua pegawai perempuan yang berjumlah 14 orang memakai kerudung. Yeni Aisyah, salah satu pegawai, membenarkan ihwal aturan itu. "Ini memang keharusan," katanya.
Berbeda dengan perempuan, beberapa pegawai pria justru mbalelo. Mereka tak memakai baju koko, tapi batik atau safari. "Lebih nyaman," ujar seorang pegawai.
Tahun ini merupakan tahun kelima pemberlakuan aturan syariah di kota yang memproklamasikan diri dengan sebutan Gerbang Marhamah itu. Adapun Gerbang Marhamah adalah akronim "Gerakan Pembangunan Masyarakat Akhlakul Karimah". Nama ini juga digagas Wasidi Swastomo, yang pada 2006 dikalahkan Tjetjep Muchtar Soleh, bupati sekarang.
Wasidi, yang didukung sejumlah organisasi massa Islam yang dinaungi Majelis Ulama Indonesia, sebelumnya menerbitkan empat aturan syariah pada 2001 dan 2002. Keempat aturan itu menyangkut Gerakan Aparatur Berahlaqul Karimah dan Masyarakat Marhamah; Pembentukan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI), Pelayanan Publik yang Berasaskan Moral Islam dan Masyarakat Islam, serta Perda tentang Rencana Strategis Kabupaten Cianjur tahun 2001-2005.
Sederet peraturan syariah itu sebelumnya menimbulkan polemik di masyarakat. Warga nonmuslim, juga sebagian muslim, menentang munculnya peraturan semacam itu. Sebagai jalan tengah, akhirnya disepakati bahwa peraturan-peraturan ini hanya imbauan. "Sebagai gerakan moral umat Islam," kata Kepala Bagian Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Cianjur Aban Subandi. Tak ada sanksi.
Menjelang lengser pada 2006, Wasidi, yang menjadi bupati berkat dukungan antara lain Partai Golkar, menelurkan lagi tiga peraturan syariah. Antara lain, Peraturan Daerah tentang Pemakaian Dinas Harian Pegawai di Lingkungan Pemerintah Cianjur dan, itu tadi, surat edaran pemakaian seragam kerja muslim dan muslimah pada hari kerja. Jadi bisa dibilang Cianjur termasuk daerah yang banyak memiliki peraturan berbasis syariah.
Anggota DPRD Cianjur, Yadi Mulyadi, mengatakan peraturan syariah ini muncul sebagai respons atas maraknya dunia hiburan di Cianjur. "Ada kekhawatiran terjadi degradasi moral," ujarnya.
Kendati sudah dipayungi peraturan syariah, toh tak bisa dibantah praktek prostitusi, misalnya, tetap saja ada di wilayah itu. "Gerbang Marhamah tak menyurutkan hiburan malam," kata seorang warga sembari menunjuk kawasan Cipanas, yang selama ini dikenal sebagai pusat esek-esek di Cianjur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo