Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANAUSU Herrera masih ingat saat langit cerah di Kota Fraga, Spanyol, mendadak mendung. Hujan deras tumpah dibarengi petir membikin panik. Dia pun berlindung di balik pepohonan di tepi jurang. Nahas, kereta bayi berisi tas seberat 23 kilogram yang ia dorong tergelincir, lalu jatuh menabrak pohon. Rodanya kempis tertusuk dahan. Perjalanan terpaksa berhenti. Herrera akhirnya bermalam dengan menggelar tenda di dalam hutan karena permukiman terdekat masih jauh, sekitar 8 kilometer.
Di dalam tenda Herrera sempat berpikir, apakah perjalanan layak diteruskan? Dia buru-buru menepis keraguan. Kampanye perdamaian harus terlaksana. “Saya harus berjalan kaki melampaui batas-batas negara untuk mempromosikan kedamaian di tengah ketakutan akan kebangkitan nasionalisme dan fasisme di ranah global,” ujarnya kepada Tempo.
Herrera mulai menenteng tas pada 24 Mei 2017. Kedua kakinya, bersama selembar kain bertulisan “pilgrim for peace” yang tergantung di lehernya, sudah mengembara sejauh 10 ribu kilometer dan melintasi belasan negara di kawasan Eropa. Dia juga menyempatkan diri menziarahi tempat-tempat religius yang menjadi tujuan pejalan pada masa lampau. Dia sempat pulang kampung ke London pada Desember 2018 karena sakit. Tapi, sejak 16 Agustus lalu, dia kembali berjalan. Kali ini perjalanannya dimulai dari Finlandia menuju selatan.
Menurut Herrera, bala yang menciutkan nyali memang tak bisa dihindari ketika berjalan kaki. Tapi kebaikan orang yang ditemui menjadi obat penawar. Dia menerima banyak sumbangan, dari uang, makanan, penginapan gratis, kereta bayi, hingga sekadar senyuman.
Pria 41 tahun ini merasa berjalan kaki memulihkan jiwanya. Herrera mengaku saban hari pikirannya selalu tenang dan dia sering tersenyum walau cobaan melanda. Dia juga menyatakan berjalan jauh selayaknya dirasakan setiap orang untuk merehabilitasi koneksi manusia dengan alam yang makin renggang karena kemajuan teknologi. “Ziarah bisa menjadi sarana komunikasi kembali dengan jiwa kita, mendulang pengalaman-pengalaman baru yang ditemukan di jalan. Saya bertemu dengan remaja di Prancis yang ‘dihukum’ pengadilan berziarah ke Santiago de Compostela, Spanyol, untuk memperbaiki dirinya.”
Musibah berulang turut dialami Stephanie Dale, penulis asal Australia yang juga menekuni aktivitas berjalan kaki lintas negara. Dalam blog pribadi Dale menceritakan salah satunya, yakni saat ia melangkah di pegunungan Makedonia. Badai salju disertai petir membuat badannya menggigil hebat. Demi keselamatan, dia terpaksa pulang setelah berjalan kaki sejauh 1.500 kilometer dari Roma sejak 2007.
Dale pantang merasa kapok. Menurut dia, penderitaan sudah sepaket dengan kebahagiaan perjalanan. Dengan hanya memanggul tas gunung dan memegang tongkat kayu hazel sepanjang kurang-lebih 120 sentimeter, dia merasakan kedekatan ekstra dengan alam dan warga sekitar. Semua pengalaman itu ia tumpahkan dalam memoar My Pilgrim’s Heart, yang terbit pada 2009.
Perempuan ini pun mendirikan perkumpulan The Write Road untuk memfasilitasi penulis memperluas pikiran melalui ziarah. Caranya, di sela-sela perjalanan, The Write Road kerap mengadakan lokakarya dan sesi berbagi kesan antarpeserta. “Kita bisa berjalan kaki sesuai dengan kemauan kita, duduk dan menyepi, lalu mencari irama kreatif dan menemukan cara baru untuk menulis,” ucap Dale kepada Byronnews.com.au.
Ateis pun Berziarah/Tempo
ZIARAH dengan berjalan kaki adalah salah satu aktivitas tertua dalam peradaban manusia. Sejarawan Tamim Ansary dalam buku Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes mengatakan, sejak Abad Pertengahan, para penganut Nasrani—kebanyakan bangsawan—Eropa kerap berpelesir ke tempat-tempat suci, seperti Katedral Canterbury di Inggris, Katedral Santiago de Compostela, dan Yerusalem. Tujuannya mencari mukjizat. Ansary juga berpendapat gangguan yang dialami peziarah saat berkunjung ke Yerusalem adalah salah satu pemicu Perang Salib.
Beberapa tahun belakangan, aktivitas ziarah bergairah. Agen perjalanan Caminoways.com mencatat jumlah peziarah Katedral Santiago de Compostela melonjak menjadi 270 ribu orang pada 2018. Pada 1987, katedral itu hanya disambangi 1.000 pengunjung. Fenomena serupa dialami organisasi nonprofit British Pilgrimage Trust, yang mengelola jasa perziarahan di Inggris sejak 2014. Pendiri organisasi itu, Will Parsons, melaporkan kenaikan jumlah perjalanan hingga dua kali lipat dalam rentang 2014-2017.
Meski begitu, Parsons mengatakan, tak sedikit peziarah yang berjalan kaki tanpa alasan religius. Bahkan ada yang mengaku sebagai ateis dan ingin berziarah guna mencari ketenangan hidup. Untuk membuka diri, Parsons menambahkan, organisasinya rajin mengkampanyekan ide “Bawa Kepercayaanmu Sendiri” untuk memberi kesan ziarah sebagai aktivitas inklusif. “Tempat-tempat sakral yang menjadi tujuan saat ini sudah ditafsirkan dengan cara dan perjalanan yang berbeda oleh setiap pejalan di banyak negara. Karena itulah ziarah adalah tradisi yang unik,” tuturnya.
ROBBY IRFANY MAQOMA, MOYANG KASIH DEWIMERDEKA (CANTERBURY)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo