Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sepucuk Surat Cinta Untuk Hollywood

Quentin Tarantino mencoba memperlihatkan cintanya kepada Hollywood justru melalui peristiwa kriminalitas paling berdarah di Amerika Serikat.

31 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH fantasi Quentin Tarantino yang terbaru:

Jika dalam film Inglourious Bas-terds (2009) dia dengan bersema-ngat menjungkirbalikkan sejarah (Adolf Hitler dan pasukannya tewas terbakar); maka mengapa tidak menjungkirbalikkan sebuah peristiwa kelam dalam dunia industri pop Hollywood?

Syahdan, sastrawan terkemuka Joan Didion menulis dalam sebuah esai bahwa masyarakat Los Angeles, Amerika Serikat, percaya periode 1960-an berakhir dengan mendadak ketika tragedi di Cielo Drive ter-jadi. Pada 9 Agustus 1969, Sharon Tate dan kawan-kawannya dibunuh dengan keji oleh para pengikut Charles Manson dan mendadak segala kegiatan terhenti. Amerika menyadari bahwa per-adaban mereka terganggu oleh sebuah peristiwa keji yang tak akan terlupakan. Pembunuhan terhadap Sharon Tate, istri sutradara Roman Polanski, yang saat itu tengah hamil delapan setengah bulan beserta tiga kawannya sebegitu brutal dan kejam. Tak ada media saat itu yang ingin menggambarkan keadaan jenazah.

Peristiwa inilah yang menjadi inspirasi dari tokoh-tokoh fiktif dalam film terbaru Tarantino. Dia menciptakan dua tokoh fiktif: aktor 1960-an, Rick Dalton (Leonardo DiCaprio), yang popularitasnya sedang menurun di ambang senja, dan sahabat se-kaligus aktor stuntman—pemeran peng-ganti—Cliff Booth (Brad Pitt), yang me-rangkap menjadi sopir dan asisten Dalton.

Kedua aktor ini—yang satu dikenal se-bagai aktor terkemuka di masanya yang se-lalu menjadi koboi jagoan, yang lain selalu menjadi pemeran pengganti untuk adegan laga dan berbahaya—kini sama-sama mulai dilupakan. Dalton mulai diberi peran pen-jahat atau bintang tamu, sementara Booth tidak disukai studio karena selalu mem-buat ribut dan reputasinya sebagai pembunuh istrinya (yang berhasil berkelit dari hukum).

Dengan cerdas Tarantino meletakkan posisi rumah Dalton tepat di sebelah kediaman aktris baru Sharon Tate (Margot Robbie). Meski di sepanjang film Tarantino menceritakan kedua penghuni Cielo Drive ini dengan kisah masing-masing dan sen-tuhannya pada Hollywood, ia akhirnya mem-pertemukan mereka pada malam nahas 9 Agustus itu.

Quenting Tarantion dalam syuting Once Upon Time in Hollywood. Sony Pictures Entertainment

Dibanding film Inglourious Basterds yang menggunakan formula penjungkirbalikkan sejarah, film selama 2 jam 40 menit ini mengandung beberapa masalah. Pertama, durasi yang terlalu panjang yang sebetul-nya lebih bisa dimampatkan. Tarantino, yang selalu memiliki kekaguman pada aktris blonda, betul-betul menggunakan kame-ra untuk secara sengaja melakukan gazing pada kaki jenjang dan wajah Margot Robbie, berkali-kali dan tak relevan sama sekali. Kedua, film Inglourious Basterds adalah sebuah cerita khayalan what if yang mengumpamakan jika sekelompok relawan, yang menamakan diri Inglourious Basterds, berhasil membunuh Hitler dan para hambanya. Penonton gembira, fantasi seru, tak ada yang berduka menyaksikan adegan khayalan Hitler dan pasukannya tewas terbakar. Tapi membuat permainan serupa dalam sebuah pembunuhan keji di masa lalu sebetulnya tak sepenuhnya etis, apalagi menyenangkan. Kisah what if itu tak hanya akan melukai keluarga para korban, tapi juga seluruh masyarakat Amerika yang masih guncang setiap kali teringat pada horor tersebut. Apalagi nada dari keseluruhan film yang dipanggul oleh Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt ini adalah humor yang ingin menertawakan diri sendiri. Ini semua terasa ganjil ketika mereka mulai bersentuhan dengan peris-tiwa pembunuhan terhadap Sharon Tate dan kawan-kawan.

Belum lagi adegan fiktif pertemuan antara Booth dan aktor Bruce Lee (Mike Moh) yang tak hanya akan menjengkelkan keluarga Lee, tapi juga seluruh jagat peng-gemar aktor kungfu pertama yang berhasil maju ke Hollywood ini. Tentu, tentu ini adalah fantasi Tarantino, bagaimana mung-kin kita “mengadili” fantasi? Tapi tampaknya ini memang “mimpi basah” Tarantino: bahwa aktor kulit putih jauh lebih jago kungfu daripada aktor kungfu itu sendiri. Mungkin itu sebabnya jagoan kungfu dalam film Kill Bill 1 dan Kill Bill 2 selalu diperankan aktor Amerika kulit putih yang ternyata lebih jago martial art dibanding tokoh Asia.

Bahwa dalam film Once Upon a Time in Hollywood Tarantino berhasil membangun Hollywood dan Los Angeles pada 1969, lengkap dengan musik, kostum, model rambut, hingga kebiasaan merokok dan menumbuhkan rambut pada ketiak, itu mungkin sebuah ketelitian yang perlu dipuji. Pada dasarnya ia tengah menulis surat cinta kepada Hollywood.

Juga harus diakui: Tarantino berhasil memperlihatkan bagaimana politik dan intrik dalam dunia film Hollywood dengan mudah mengangkat seseorang untuk kemudian membantingnya suatu hari.

Mungkin ini bukan karya Tarantino yang terbaik, tapi tetap menarik untuk didiskusikan karena relevansi sosial (dan kriminalitas) yang terjadi sebagai latar belakang periodik film ini.

LEILA S.CHUDORI


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sony Pictures Entertainment

 

ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD

Sutradara: Quentin Tarantino

Skenario: Quentin Tarantino

Pemain: DLeonardo DiCaprio, Brad Pitt, Margot Robbie

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus