Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Badan Otorita Lumpur Lapindo

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBURAN lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, akan ditangani sebuah badan otorita. Badan ini akan menggantikan Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 dan akan bubar pada 8 Maret.

Badan ini nanti akan bekerja selama sepanjang lumpur terus menyembur, mengurus cara mengatasi semburan dan dampaknya, "Tugas utama badan ini membuang lumpur ke laut," ujar Gubernur Jawa Timur Imam Utomo.

Badan ini tidak akan menangani persoalan sosial yang timbul akibat semburan lumpur. Untuk masalah sosial, pemerintah tetap menagih komitmen Lapindo Brantas Inc. yang berjanji akan mengucurkan Rp 3,8 triliun untuk ganti rugi.

Imam mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui badan itu. Pendanaan badan otorita nanti akan dipikul Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo, serta pemerintah pusat.

Bukan Cuma Henry

PENYIDIK Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri kini menyidik kasus korupsi pengadaan alat dan jaringan komunikasi di Polri. Henry Siahaan, bos PT Chandra Eka Karya Pratama, yang menjadi rekanan Mabes Polri dalam proyek ini, sudah ditahan sejak dua pekan lalu. Dalam proyek 2001-2005 itu, suami Yuni Shara ini adalah pemasok handy-talkie.

Dalam proyek bernilai Rp 604 miliar itu, penyidik menduga Henry merugikan negara Rp 240 miliar. "Sampai saat ini alat yang disediakannya tak berfungsi," kata Inspektur Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri.

Menurut Ketua Presidium Indonesian Police Watch, Neta S. Pane, Henry hanyalah bagian kecil dari keseluruhan kasus itu. Menurut dia, ada tujuh pejabat penting di Polri yang juga ikut menikmatinya. "Jadi, jangan berhenti sampai Henry saja," katanya. Hingga pekan lalu, penyidik Polri belum bisa mengklarifikasi tujuh nama itu. "Penyidikan masih berjalan," kata Inspektur Jenderal Adi Siswono, juru bicara Mabes Polri.

Djunaidi Tetap Delapan Tahun

KANDAS sudah upaya hukum yang ditempuh mantan Direktur Utama PT Jamsostek, Ahmad Djunaidi. Di tingkat kasasi, majelis hakim Mahkamah Agung yang dipimpin Hakim Agung Iskandar Kamil tetap menghukum Djunaidi delapan tahun penjara. Dalam putusan yang diterbitkan pada Selasa pekan lalu, majelis berkeyakinan Djunaidi bersalah karena menyetujui pembelian surat utang senilai Rp 311 miliar pada 2001.

Setahun lalu, kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Waktu itu, jaksa menilai Djunaidi bersalah karena ceroboh berinvestasi. Pada 27 April 2006, ia lalu diganjar delapan tahun penjara dan denda Rp 66,6 miliar. Terdakwa kecewa karena mengaku telah memberikan suap Rp 600 juta agar jaksa memuluskan kasusnya. Dia menyatakan banding.

Empat bulan kemudian, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan putusan. Isinya menguatkan putusan pengadilan negeri dalam hukuman badan, tetapi menghapus hukuman denda. Djunaidi yang masih belum puas naik ke tingkat kasasi, tapi kandas lagi. Mahkamah malah mewajibkan Djunaidi membayar denda Rp 500 juta. M. Sholeh Amin, kuasa hukum Djunaidi, menyatakan kecewa dengan putusan itu. "Ini persoalan bisnis yang dikriminalisasi," katanya.

Korvet Nasional van Surabaya

Departemen Pertahanan menyiapkan anggaran sebesar US$ 520 juta untuk proyek pembuatan korvet nasional di PT PAL Surabaya, Jawa Timur. Program ini untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem persenjataan TNI, terutama kapal perang.

"Hingga tahun 2024, TNI membutuhkan 22 kapal perang sekelas korvet," kata Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, di PT PAL, Jumat pekan lalu. Nilai anggaran itu, menurut Sjafrie, masih bisa dikoreksi.

Hingga 2009, departemennya telah memesan empat buah kapal korvet kepada Belanda dan dua korvet kepada PT PAL Surabaya. "Korvet dari PT PAL ini dinamakan Korvet Nasional 104 M," ujar Sjafrie.

Departemen Pertahanan menilai PT PAL telah mampu membuat kapal korvet. "Korvet nasional 104 M ini cukup layak," katanya. Kapal buatan Surabaya ini memiliki kecepatan maksimum 29 knot, dilengkapi landasan helikopter dengan kapasitas hingga 10 ton. Kapal tersebut juga dilengkapi berbagai senjata modern, antara lain alat antiserangan udara dan antikapal selam.

Menyidik Korupsi Sidik Jari

Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menyidik korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pekan lalu. Kasus yang saat ini sedang diusut adalah proyek pengadaan Sistem Identifikasi Otomatis Sidik Jari 2004 di Direktorat Jenderal Administrasi Departemen Hukum dan HAM senilai Rp 18,48 miliar.

Untuk tahap awal, penyidik KPK memeriksa Eman Rachman, Direktur Utama PT Sentral Fifilindo, rekanan Departemen Hukum dan HAM dalam proyek itu. Bahkan Eman sudah dijebloskan ke tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya sejak Kamis pekan lalu. "Ini untuk kepentingan penyidikan," kata Johan Budi S.P., juru bicara Komisi.

Johan mengatakan, Eman diduga memberikan uang Rp 375 juta untuk Aji Effendi, pimpinan proyek itu, yang sudah ditahan sehari sebelumnya. Sayang, Eman tak bersedia berkomentar.

Bukti Baru Sidang Tommy

KEJAKSAAN Agung menyiapkan 10 bukti baru dokumen untuk sidang lanjutan gugatan intervensi perkara Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Sepuluh bukti itu akan diajukan dalam sidang di pengadilan (Royal Court) Guernsey pada 8 Maret. "Bukti itu ada kemungkinan bisa bertambah," kata Direktur Perdata Kejaksaan Agung, Yoseph Suardi Sabda.

Beberapa dokumen berasal dari sejumlah departemen. Termasuk putusan pengadilan soal aset Tommy yang sedang diperkarakan. "Putusan pengadilan yang menguntungkan Tommy pun dimasukkan, karena kami tidak mau berbohong," ujarnya.

Sengketa uang Tommy senilai 36 juta euro (Rp 421 miliar) di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas di Guernsey, salah satu negara anggota persemakmuran Inggris, dimulai pada Oktober 2002. Bank itu menolak mencairkan rekening milik Garnet Investment, perusahaan Tommy yang terdaftar di British Virgin Islands. BNP meminta Garnet menjelaskan asal-usul uang yang disimpan sejak Juli 1998 itu. Karena uang tak kunjung cair, pada Maret 2006 Tommy mengajukan gugatan ke pengadilan Guernsey.

Menyidik Korupsi Sidik Jari

Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mulai menyidik korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pekan lalu. Kasus yang saat ini sedang diusut adalah proyek pengadaan Sistem Identifikasi Otomatis Sidik Jari 2004 di Direktorat Jenderal Administrasi Departemen Hukum dan HAM senilai Rp 18,48 miliar.

Untuk tahap awal, penyidik KPK memeriksa Eman Rachman, Direktur Utama PT Sentral Fifilindo, rekanan Departemen Hukum dan HAM dalam proyek itu. Eman sudah dijebloskan ke tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya sejak Kamis pekan lalu. "Untuk kepentingan penyidikan," kata Johan Budi S.P., juru bicara Komisi.

Johan mengatakan, Eman diduga memberikan uang Rp 375 juta untuk Aji Effendi, pimpinan proyek yang sudah ditahan sehari sebelumnya. Sayang, Eman tak bersedia berkomentar.

DPRD Kembalikan Tunjangan

MENJAWAB revisi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, anggota Dewan di sejumlah daerah mulai beramai-ramai mengembalikan uang tunjangan komunikasi intensif dan operasional yang telah diterima.

Seperti yang terjadi di Bogor. Sepuluh anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kota Bogor awal bulan ini mengembalikan uang tunjangan komunikasi sebesar Rp 711.144.000 kepada Pemerintah Kota Bogor.

Iwan Suryawan, Wakil Ketua DPRD dari Fraksi PKS, mengatakan, pengembalian ini merupakan komitmen saat menerima dana tunjangan itu pada Desember 2006, bahwa uang akan disimpan dan tidak digunakan sampai ada kejelasan revisi PP Nomor 37 Tahun 2006. "Uang yang ada utuh karena memang belum digunakan oleh kami," kata Iwan.

Sementara itu di Bandung, PDI Perjuangan wilayah Ja-wa Barat juga menginstruksikan fraksinya di DPRD segera mengembalikan dana tersebut. Ketua PDIP Jawa Barat Rudi Harsa Tanaya mengatakan, sejak awal fraksinya menolak klausul mengenai rapel di PP 37/2006.

Sobron Aidit Tutup Usia

Di Paris, Sabtu pekan lalu, pukul 09.23, pengarang dan wartawan Sobron Aidit meninggal dunia. Adik Ketua CC Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit ini meninggal setelah masuk rumah sakit karena stroke akibat penyumbatan pembuluh darah ke otak. "Saya juga mendengar kabar itu dari Ilham Aidit, tadi pagi," kata Jajang C. Noer, kolega Sobron sesama penggiat kebudayaan. Ilham adalah anak D.N. Aidit.

Sobron lahir pada 2 Juni 1934 di Belitung. Salah satu karya pentingnya adalah kumpulan sajak bertiga Ketemu di Jalan bersama S.M. Ardan dan Ajip Rosidi. Pada 1963, Sobron ke Tiongkok ikut program kerja sama Indonesia-Tiongkok. Setelah kontrak kerja sama berakhir, Sobron memilih tinggal di Paris, Prancis, menghindari huru-hara politik 1965 di Indonesia. Di sana, ia ikut membantu kawannya mendirikan restoran Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus