Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tokoh Tempo 2024: Mengapa Kami Memilih Gerakan Masyarakat Sipil

Tokoh Tempo 2024 bukan individu. Gerakan masyarakat sipil yang tersebar hingga di pelosok. 

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Orang atau kelompok masyarakat yang kami tuliskan kiprahnya di edisi khusus ini adalah “elite” seperti yang dimaksud Shawn Rosenberg.

  • Peristiwa 22 Agustus 2024 menunjukkan bahwa bara perlawanan sebenarnya masih menyala di masyarakat.

  • Kami juga menyorot kiprah para cendekiawan yang disebut filsuf Antonio Gramsci sebagai “intelektual organik”. Siapa mereka?

TAHUN 2024 merupakan salah satu episode penting dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Pada tahun terakhir pemerintahannya, Presiden Joko Widodo dan orang-orangnya masih saja berusaha mengakali hukum. Menjelang penutupan pendaftaran calon kepala daerah, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat hendak merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah dan politikus Senayan dari partai politik pendukung Jokowi garis miring Prabowo Subianto mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengurangi ambang batas pencalonan kepala daerah dan menolak menurunkan usia calon kepala daerah, yang minimal 30 tahun untuk calon gubernur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koalisi bermaksud menyapu bersih kemenangan dalam pemilihan kepala daerah dengan cara memborong hampir semua partai sehingga kandidat potensial dari kubu yang berseberangan tak punya tiket untuk maju. Revisi itu juga untuk melapangkan jalan bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi yang masih berusia 29 tahun, maju dalam pemilihan gubernur.

Niat tak terpuji tersebut kemudian memicu demonstrasi besar di Jakarta dan berbagai daerah. Mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan secara serentak pada 22 Agustus 2024 dengan mengibarkan panji “Peringatan Darurat”. Akademikus, rektor, artis, dan komika juga bergabung menolaknya. Koalisi partai pemerintah menguasai DPR sehingga rencana revisi Undang-Undang Pilkada sangat mungkin terjadi. Namun protes dan perlawanan masyarakat membuat DPR batal merevisi undang-undang tersebut.

Peristiwa 22 Agustus tersebut menunjukkan bahwa bara perlawanan sebenarnya masih menyala di masyarakat. Meskipun sporadis, mereka sebenarnya setia pada akal sehat dan siap sedia bergerak apabila terpantik.

Pembacaan Petisi Bulaksumur , di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 31 Januari 2024. Dok. UGM

Dalam situasi lembaga-lembaga pengontrol badan eksekutif dikooptasi oleh rezim Jokowi, suara publik amat penting untuk memberi keseimbangan. Jokowi melalui perluasan kekuasaan eksekutif (executive aggrandizement) telah melemahkan fungsi DPR, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tanpa kontrol lembaga-lembaga tersebut, dia leluasa mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang seperti Undang-Undang Cipta Kerja—dengan DPR sebagai tukang ketuk palu saja. Atau memaksakan pembangunan Ibu Kota Nusantara demi ambisi politiknya.

Masalahnya, menurut profesor politik University of California, Irvine, Amerika Serikat, Shawn Rosenberg, orang ramai kurang memiliki pemahaman untuk membuat demokrasi berfungsi dengan baik. Masyarakat membutuhkan pemandu, yang disebut Rosenberg sebagai “elite”.

Mereka adalah para cendekiawan, tokoh publik, atau siapa pun yang memiliki kemampuan ekonomi atau politik dan “punya motivasi untuk mendukung lembaga dan budaya demokrasi”. Rosenberg menuntut kaum “elite” untuk bersuara karena, jika tidak, demokrasi bakal masuk jurang. Dalam tesisnya, demokrasi sedang menuju kebangkrutan lantaran memudarnya peran para suar ini.

Orang atau kelompok masyarakat yang kami tuliskan kiprahnya di edisi khusus Tokoh Tempo 2024 ini adalah “elite” seperti yang dimaksud Rosenberg. Melalui berbagai ikhtiar, mereka menggugah khalayak untuk bergerak menentang kekuasaan yang lalim.

Nama mereka kami peroleh dari serangkaian diskusi dengan sejumlah narasumber sejak dua bulan lalu. Kami menyerap masukan, membandingkan catatan, dan mengecek latar belakang orang atau kelompok yang dianggap layak dituliskan kisahnya.

Ketua Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh alias Alissa Wahid, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi, dan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur termasuk di antara narasumber tersebut. Forum-forum pembahasan lain juga melibatkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo, dan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar serta pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi. Di luar itu, kami berdiskusi secara pribadi dengan sejumlah narasumber untuk memperkaya data.

Komika Bintang Emon (kanan) saat diwawancara oleh Tempo di kawasan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, 20 Desember 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Dari hasil diskusi dengan mereka dan rapat redaksi, kami sampai pada kesimpulan bahwa Tokoh Tempo 2024 bukanlah individu seorang diri, melainkan gerakan atau kelompok. Mereka bisa merupakan kelompok yang terkoordinasi ataupun berhimpun secara alamiah karena memiliki kesamaan sikap dan isu.

Untuk memetakan berbagai gerakan itu, kami memilahnya berdasarkan bidang atau kluster, seperti politik, kesenian, media sosial, lingkungan, dan pendidikan. Penyebutan nama tentu saja diperlukan karena gerakan tersebut melibatkan orang-orang yang terlibat secara intensif. Beberapa orang bisa jadi berada di lebih dari satu bidang mengingat sejumlah peristiwa merupakan irisan beberapa bidang.

Misalnya, peristiwa 22 Agustus merupakan irisan banyak bidang. Peristiwa itu melibatkan buruh, mahasiswa, akademikus, pekerja seni, hingga orang biasa. Massa mahasiswa dari berbagai kampus juga menggeruduk gedung DPR pada hari itu. Mereka di antaranya bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia Kerakyatan, aliansi BEM berbagai kampus.

Dari kelompok kesenian, yang datang di antaranya para komika seperti Andovi da Lopez, Mamat Alkatiri, Bintang Emon, Abdur Arsyad, dan Arie Kriting. Sutradara Joko Anwar dan aktor Reza Rahadian juga hadir di sana. Reza bahkan sempat berorasi di hadapan demonstran.

Protes juga muncul di media sosial seiring dengan viralnya video “Peringatan Darurat” berdurasi tiga menit yang menampilkan lambang Garuda Pancasila berlatar biru dengan iringan suara sirene tanda bahaya.

Video itu diunggah berbagai orang, termasuk Fedi Nuril, aktor yang bernama lengkap Fedrian Nuril; komika Pandji Pragiwaksono; hingga penyanyi atau musikus seperti Raisa, GIGI, Baskara Putra, Kunto Aji, dan Efek Rumah Kaca. Beberapa dari mereka sudah lama rajin menulis kritik di media sosial dan bahkan menerima ancaman.

Ribuan massa berunjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada saat berusaha masuk ke gedung DPR RI, Jakarta, 22 Agustus 2024. Tempo/Subekti.

Protes masyarakat sipil sebenarnya sudah merebak sejak tahun lalu, dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi dasar lolosnya Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, sebagai calon wakil presiden meskipun belum cukup umur menurut undang-undang.

Guru besar, dosen, alumni, dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyampaikan Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024. Mereka prihatin terhadap pelanggaran etik dan hukum yang terjadi di era Jokowi—salah satu alumnus kampus tersebut. Aksi serupa secara bergelombang muncul di kampus lain.

Beberapa hari menjelang Pemilihan Umum 2024, sutradara film dokumenter Dandhy Dwi Laksono merilis film Dirty Vote di kanal YouTube Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Film dokumenter itu menampilkan tiga ahli hukum—Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar—yang menunjukkan berbagai indikasi kecurangan dalam pemilihan umum.

Ketua Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menilai Dirty Vote memberi sumbangan penting bagi demokrasi. Para pakar hukum dalam film ini, menurut Alissa, berhasil menjawab kecurigaan dan ras-rasan publik yang sudah meluas soal kecurangan pemilu. “Film itu kemudian banyak diputar di daerah-daerah,” katanya. “Ini menjadi pendidikan politik yang sangat penting.”

Perlawanan juga terjadi di banyak daerah. Di sana, masyarakat harus melawan kebijakan negara yang mengancam kehidupan mereka. Proyek penghiliran industri yang ekstraktif, termasuk nikel, dan pembukaan lahan berskala besar untuk lumbung pangan telah merusak lingkungan, mengganggu kesehatan, dan merenggut periuk nasi masyarakat.

Kebijakan pemerintah itu merajalela sejak Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian disahkan menjadi undang-undang.

Untuk bidang lingkungan, kami menengok ke sejumlah daerah, termasuk Sulawesi; Maluku; dan Merauke, Papua; dan menemukan berbagai kelompok masyarakat yang terimbas kebijakan tersebut. Kaum perempuan dari wilayah tersebut gigih melakukan perlawanan.

Misalnya, Mama Yasinta Moiwend bersama anggota sukunya, suku Marind, berdemonstrasi di seberang Istana Negara pada Oktober 2024 untuk memprotes proyek lumbung pangan di Merauke. Proyek itu akan membabat lahan seluas sekitar 1 juta hektare tanah ulayat dan menghilangkan sumber pangan penduduk yang bergantung pada sagu, kebun sayur, serta hutan.

Dosen hukum tata negara Feri Amsari di kantor Tempo , Jakarta, 18 Desember 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Suara mereka terdengar lirih, tapi mereka pantang menyerah. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebutkan perlawanan akar rumput seperti ini patut diberi perhatian karena masyarakat di daerah menghadapi risiko yang jauh lebih besar, termasuk ancaman fisik dan penjara.

Dalam penegakan hak asasi manusia, Jokowi juga gagal menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, yang menjadi janjinya sebelum menjabat presiden. Akibatnya, para pelanggar HAM menikmati impunitas, sedangkan korban tak kunjung mendapatkan keadilan. Aksi Kamisan, unjuk rasa damai setiap Kamis di depan Istana Negara untuk menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM, masih dilakukan hingga kini sejak pertama kali digelar pada 2007.

Maria Catarina Sumarsih, ibu Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas dalam Tragedi Semanggi I pada 1998, tak lelah menghadiri Aksi Kamisan. Demikian juga istri almarhum Munir, Suciwati. Ia menuntut tanggung jawab negara untuk mengungkap kasus pembunuhan suaminya pada 2004.

Di bagian akhir, kami menyorot kiprah para cendekiawan yang disebut filsuf Antonio Gramsci sebagai “intelektual organik” atau intelektual yang aktif menyuarakan kebenaran dan selalu berdiri di sisi masyarakat.

Dalam diskusi pemilihan tokoh ini, Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo mengatakan Indonesia kehilangan tiga tokoh penting, yakni ekonom Faisal Basri, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, dan Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo. Meskipun ketiganya telah wafat, pemikiran dan keberpihakan mereka semasa hidup berkontribusi besar dalam membangun iklim akademik yang sehat, kritis, dan berintegritas.

Demikianlah kami memutuskan mengangkat mereka sebagai Tokoh Tempo 2024. Mereka adalah representasi para pemandu massa atau “elite” dalam istilah Rosenberg. Di luar sana, masih banyak yang tak tercatat, termasuk mereka yang tak muncul di depan kamera tapi diam-diam melakukan perlawanan. Namun melawan ala kadarnya tidak cukup. Untuk mencegah demokrasi berjalan mundur, tiada pilihan bagi “elite” selain mengeraskan suaranya mengajak orang ramai berpartisipasi dalam demokrasi. Sebab, kata Rosenberg, demokrasi adalah kerja keras yang membutuhkan “perhatian, disiplin, dan kemampuan untuk menjernihkan informasi”.

Edisi Khusus Tokoh Tempo 2024

Penanggung Jawab: Iwan Kurniawan
Kepala Proyek: Nurdin Saleh
Penulis: Dewi Rina Cahyani, Sunudyantoro, Egi Adyatama, Arkhelaus Wisnu Triyogo, Yohanes Paskalis, Caesar Akbar, Lani Diana, Friski Riana, Istiqomatul Hayati, Nurdin Saleh
Penyunting:Anton Septian, Yandhrie Arvian, Iwan Kurniawan, Stefanus Pramono, Raymundus Rikang, Mustafa Silalahi, Fery Firmansyah, Agoeng Wijaya, Reza Maulana, Nurdin Saleh
Penyumbang Bahan: Savero Aristia Wienanto, Yosea Arga Pramudita, Avit Hidayat, Irsyan Hasyim, Han Revanda Putra, La Ode Muchlas (Konawe Selatan dan Konawe Kepulauan), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Anwar Siswadi (Bandung), Ricky Juliansyah (Depok)
Penyunting Bahasa:Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Periset Foto: Gunawan Wicaksono, Charisma Adristy, Fardi Bestari, Agung Chandra
Desain: Imam Riyadi, Novandy Ananta, Rio Ari Seno
Ilustrasi: Alvin Siregar, Indra Fauzi, Kendra Paramita
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Yang Bersuara, Yang Bergerak

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus