Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU ekskavator dan tiga truk pengangkut tanah teronggok di tengah lahan kosong di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tak jauh dari situ, sebuah lubang seluas sekitar 750 meter persegi dengan kedalaman sekitar 2 meter menganga lebar. Di tepinya, sebuah tenda militer berdiri. Beberapa orang anggota Pasukan Khas (Paskhas), pasukan elite TNI Angkatan Udara, terlihat duduk-duduk santai.
Inilah calon lokasi latihan air (water training) Angkatan Udara. Pada Rabu pekan lalu, saat Tempo mengunjungi la-han yang letaknya tak jauh dari jalan raya Bogor-Tangerang ini, tak terlihat aktivitas di sana. Lengang. Suasananya jauh berbeda dibanding awal bulan lalu, saat ratusan warga berhari-hari menjaga lokasi itu dan menentang pembangunan water training tersebut. Warga menolak proyek yang mereka anggap ngawur, karena dibangun di atas tanah mereka.
Pembangunan sudah dimulai sejak September tahun lalu. Selain mematok dan mengeruk tanah dengan alat-alat berat, Angkatan Udara juga mendirikan tenda di sana. Akhir tahun lalu, warga yang marah lantaran tanah mereka diambil paksa mulai memasang blokade dan mengadu ke sana-kemari: dari Bupati Bogor, DPRD, hingga berunjuk rasa ke Istana Negara.
Pengaduan itu ternyata tak membawa hasil. Pada pertengahan Januari lalu, kala pembangunan itu semakin gencar dilakukan, sekitar 500 warga melakukan unjuk rasa di lokasi proyek. Tapi kemunculan warga dihadapi 200-an anggota Paskhas. Bentrokan pun terjadi. Tiga warga terluka, salah satunya terkena tembakan ”peluru hampa” aparat.
Insiden berdarah itu mengejutkan warga Bogor. Juru bicara Lapangan Udara Atang Sanjaya Bogor, Kapten Ali Umri Lubis, membantah kalau pihaknya menembak warga. Aparat hanya memberikan tembakan peringatan ke udara. ”Peluru yang ditembakkan juga peluru hampa,” ujarnya. ”Kami sudah menahan diri, tapi warga terus menyerang kami,” katanya. Mereka melempar batu, membawa bambu runcing, bahkan tombak.
Versi warga lain lagi. Menurut Maemunah, salah seorang warga Sukamulya, bentrokan terjadi ketika warga ramai-ramai mendatangi lokasi untuk menghentikan beroperasinya alat-alat berat. Tiba-tiba ada yang melempar batu, lalu terdengar tembakan. ”Warga panik lalu berlarian menyelamatkan diri,” ujar Maemunah.
Bentrokan siang hari itu masih berbuntut. Malam harinya, sejumlah anggota Paskhas mendatangi rumah warga. Enam warga yang selama ini dianggap vokal menentang proyek ditangkap. Salah satunya Daryanto. Pria ini ditemukan keluarganya esok harinya di Kepolisian Sektor Rumpin. Tubuhnya babak belur dan penuh lumpur. Kejadian yang menimpa Daryanto itu membuat para lelaki Desa Sukamulya ketakutan. Mereka pun satu per satu menghilang dari Sukamulya.
Insiden Rumpin itu membuat sejumlah LSM turun tangan. Dua pekan lalu, diantar beberapa LSM, antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sejumlah warga Rumpin menemui Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Herman Prayitno. Di ujung pertemuan, Herman menyatakan menunda pembangunan water training selama sebulan. ”Dihentikan sementara hingga sengketa tanah antara warga dan TNI-AU dapat diselesaikan,” ujar Herman.
Markas Besar TNI-AU memang punya rencana besar. Markas Komando Detasemen Bravo 90 dari Pangkalan Udara Sulaiman, Bandung, akan dipindahkan ke Desa Sukamulya. Ini sesuai dengan Rencana Strategis TNI-AU 2005-2009. ”Dari luas 449 hektare yang dimiliki, kami baru mencoba mulai membangun seluas 10 hektare untuk water training,” ujar Herman. Herman yakin punya dasar kuat atas kepemilikan sekitar 1.000 hektare tanah di Rumpin. ”Karena tanah tersebut berstatus tanah negara dan sudah masuk inventaris kekayaan negara,” ujarnya.
Namun warga Sukamulya menganggap tanah itu hak mereka. Menurut Amsari, 70 tahun, seorang sesepuh desa, pada zaman Belanda, pemerintah kolonial mengambil sekitar 572 hektare tanah warga untuk perkebunan Cikoleang—dulu Tjikoleang. Lalu, saat pendudukan Jepang, sebagian tanah itu, dipakai Jepang untuk membangun Lapangan Terbang Nordin. ”Tanah yang dipakai lapangan terbang itu sekitar 18 hektare,” ujar bekas kepala Desa Sukamulya itu.
Setelah Jepang menyerah, sebagian tanah eks perkebunan Belanda itu diambil warga kembali. Begitu Republik merdeka, perkebunan Cikoleang dimasukkan ke wilayah Desa Sukamulya.
Gejolak antara warga dan Angkatan Udara terjadi sejak 1955. Saat itu seorang perwira Angkatan Udara bernama Letnan Tjahjono menduduki tanah di Kampung Cikoleang dan enam kampung sekitarnya. Kala itu kebun karet milik warga ditebangi sejumlah anggota Angkatan Udara. Sejak itulah ”perang dingin” antara warga dan pihak Angkatan Udara mulai mencuat.
Pada 1960 Komandan Lapangan Udara Atang Sanjaya, Kolonel Soetopo, ujar Amsari, pernah melakukan pertemuan dengan warga Cikoleang. Soetopo menyatakan tanah Angkatan Udara hanya sebatas bekas Lapangan Terbang Nordin serta tanah eks perkebunan karet, selebar 50 meter sepanjang landasan, dengan luas total sekitar 27 hektare.
Tapi, pada 1991, suara Angkatan Udara lain lagi. Menurut Amsari, dalam se-buah pertemuan dengan pemerintah daerah dan warga setempat, Wakil Ko-mandan Lapangan Udara Atang Sanjaya, Kolonel Tatang, tiba-tiba menyatakan Angkatan Udara memiliki tanah 2.000 hingga 4.000 hektare di Ci-koleang. Tatang menyatakan, warga yang telanjur tinggal di atasnya tak akan diusir dan diizinkan menempatinya. Warga terkejut dengan pernyataan Tatang dan menolak jika tanah mereka itu disebut milik Angkatan Udara.
Namun seorang sumber Tempo di Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor bercerita, tanah eks perkebunan Cikoleang itu pada 1984 telah dipecah. Sekitar 324 hektare diberikan ke PT Tjikoleang dan sisanya, sekitar 140 hektare, diberi status hak guna usaha. ”Seluas 36 hektare untuk Angkatan Udara,” katanya. Belakangan, kata sumber itu, sekitar 24 hektare tanah itu diberikan untuk warga Desa Sukamulya. ”Tanah itu dibagi untuk para penggarap, tapi belum ada statusnya,” ujar sumber itu. Lokasi tanah milik Angkatan Udara dengan tanah warga terpisah satu kilometer.
Tak jelas mana yang benar. Yang pasti, kasus ”rebutan tanah” Rumpin ini kini sudah masuk agenda kerja Komisi Pertahanan DPR. Dalam waktu dekat komisi ini akan meminta keterangan Kepala Staf Angkatan Udara dan juga Badan Pertanahan Nasional. ”Riwayat tanah Rumpin ini memang pelik,” ujar Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Rahmat Yasin. Menurut Rahmat, masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya antara warga Rumpin, TNI Angkatan Udara, dan BPN. Departemen Pertahanan, Panglima TNI, dan DPR harus dilibatkan,” ujarnya.
Arif A. Kuswardono, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo