Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bandar Udara Banyuwangi karya Andra Matin meraih Aga Khan Award for Architecture.
Ini penghargaan untuk Indonesia setelah 27 tahun tak menjadi pemenang.
Keharmonisan bandara Banyuwangi dengan alam sekitar adalah salah satu pertimbangan juri Aga Khan Award.
HAMPIR semua bandar udara terlihat sama: solid, penuh kaca, menyilaukan, dan didominasi warna keperakan. Bangunan-bangunan itu seperti benda asing yang tiba-tiba mendarat di atas tanah kehijauan yang luas. Keseragaman bangunan bandara itu juga yang membuat penumpang kehilangan pengalaman perjalanan karena bandara tempat mereka berangkat dan mendarat tak ada bedanya. Pengalaman berbeda muncul saat kita mendarat di Bandara Udara (Bandara) Banyuwangi, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari ketinggian, penumpang hampir tidak melihat keberadaan bangunan terminal karena sebagian besar atapnya tertutup rumput hijau, mirip sawah dan pepohonan di sekitarnya. Mungkin hanya landasan pacu dan tempat parkir pesawat yang terlihat menonjol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan mereka yang mendatangi bandara dari darat, saat membelah lautan sawah dari dalam mobil, akan melihat atap rumput itu seperti sawah yang naik secara perlahan dari kejauhan. Kehadiran alam sekitar juga bisa dirasakan dari banyaknya tanaman dan pohon serta sejumlah kolam di dalam ruangan.
Keharmonisan bandara dengan alam sekitar adalah salah satu hal yang membuat juri Aga Khan Award memutuskan Bandara Internasional Banyuwangi di Desa Blimbingsari, yang didesain oleh Andra Matin, sebagai satu dari enam pemenang Aga Khan Award Ke-15 (2020-2022).
Arsitek Andra Matin di Galeri Nasional, Jakarta, 11 Desember 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Lima pemenang lain adalah fasilitas publik di tepi Sungai Nabaganga dan ruang publik pengungsi Rohingya (keduanya di Bangladesh), museum Argo (Iran), hasil renovasi Niemeyer Guest House (Libanon), serta sekolah Kamanar (Senegal). Keenam pemenang berbagi hadiah sebesar US$ 1 juta.
Seperti kelima pemenang lain, desain Bandara Banyuwangi menyingkirkan lebih dari seribu karya arsitektur yang didaftarkan. Selain itu, keberhasilan Andra ini mengakhiri 27 tahun “puasa” Aga Khan bagi Indonesia. Indonesia terakhir kali mendapat Aga Khan Award pada 1995 lewat karya taman di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Menurut para juri, karya Andra layak mendapat penghargaan karena ia berhasil membuat sejumlah terobosan. “Tidak seperti bangunan bandara lain, yang kerap merupakan tempat kedap, tertutup, dan terasing dari lingkungan sekitar, Bandar Udara Internasional Banyuwangi adalah perlawanan elegan terhadap bentuk bandara pada umumnya,” tulis para juri dalam keputusan pemenang. Bandara yang selesai dibangun pada 2017 ini juga dipuji sebagai paradigma baru dan “a game changer” dalam arsitektur bandara.
•••
KETIKA ditanyai tentang pujian para juri ini, Andra tersenyum. “Saya tidak tahu untuk airport besar. Tapi, untuk bandara kecil dan menengah, konsep desain seperti di Banyuwangi ini bisa diterapkan,” kata Andra kepada Tempo, Ahad, 2 Oktober lalu. Ada dua hal penting dari desain ini yang, menurut dia, juga membuat juri tertarik.
Pertama, bangunan ini berusaha mengurangi penggunaan energi dengan memakai passive design. Misalnya, untuk menyejukkan udara di ruangan, ia tidak menggunakan penyejuk udara (AC), tapi membuat banyak bukaan agar udara mengalir. Hasilnya cukup tokcer. Ia bisa membuat bandara tanpa AC. Namun PT Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara meminta ada AC di ruang tunggu penumpang yang ditutup demi keamanan. “Jadi cuma 30 persen ruangan yang memakai AC,” ucap Andra.
Area terbuka di ruang tunggu Bandara Blimbingsari Banyuwangi, Jawa Timur. Aga Khan Trust for Culture/Mario Wibowo
Pemakaian cahaya listrik juga diminimalkan. Di siang hari, hampir tidak ada lampu yang dinyalakan. Selain dari skylight (atap tembus cahaya), penerangan datang dari sisi-sisi bangunan yang terbuka. “Bangunannya tidak dibuat gemuk agar cahaya dari samping masih bisa masuk ke tengah,” tutur Andra.
Pilihan ini bukannya tidak bermasalah. Pengelola bandara melihat ruangan serba terbuka itu punya persoalan keamanan. Misalnya, karena tak ada sekat, orang bisa melemparkan barang yang dilarang dibawa terbang kepada penumpang yang telah melewati area pemeriksaan. Untuk mengatasi masalah ini, Andra memberi sekat berupa kaca transparan agar kesan terbuka tetap ada.
Tantangan terbesar lain dari bangunan terbuka adalah potensi masuknya tempias dari air hujan. Untuk mengatasi masalah itu, Andra mengusahakan pembuatan overstek yang sangat panjang. Overstek adalah struktur atap yang menonjol ke arah luar bangunan. Bentuknya terlihat menggantung dan tidak ditopang dinding.
Ruang tunggu di Bandara Blimbingsari Banyuwangi, Jawa Timur. Aga Khan Trust for Culture/Mario Wibowo
Di Bandara Banyuwangi, panjang atap yang menjorok keluar ini 8 meter. Tak mudah membuatnya. Andra harus meminta pendapat kedua dari structural engineer lain agar dapat membuatnya dengan aman. “Di bangunan kecil seperti rumah enggak jadi masalah. Tapi di bangunan besar seperti terminal bandara perlu perhitungan berbeda,” katanya. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Overstek itu terbukti cukup ampuh mencegah air hujan berangin menciprat ke ruangan utama.
•••
HAL kedua yang Andra Matin anggap penting dari desainnya ini hingga dipilih oleh para juri adalah penggabungan arsitektur dengan budaya. Tentu ini bukan hal baru. Hanya, penerapan elemen budaya lokal kerap jatuh di dua hal ekstrem.
Ada yang menerjemahkannya secara berlebihan dengan meniru persis bangunan tradisional. Misalnya atap rumah gadang suku Minangkabau ditiru persis, dibuat lebih besar, lalu dijejalkan di atas bangunan modern yang mungkin tak padan. Di ujung lain, ada yang memakai elemen budaya sekadar sebagai ornamen, hiasan interior yang seadanya.
Suasana ruang tunggu di Bandara Blimbingsari Banyuwangi, Jawa Timur. Aga Khan Trust for Culture/Mario Wibowo
Andra mencoba tak berada di salah satu dari keduanya. “Tidak seperti bangunan bandara pada 1980-an yang plek-plekan meniru rumah adat, saya mencoba menafsir ulang,” ujarnya.
Salah satu tafsiran ulang yang dimaksud Andra adalah pemakaian atap rumah adat Osing, suku asli Banyuwangi, sebagai topi terminal. Atap rumah Osing sebenarnya mirip atap joglo Jawa, terdiri atas dua bagian: segitiga tinggi di tengah dan agak landai pada bagian bawah.
Andra tidak memakai atap rumah adat Osing itu seperti pemakaian mentah-mentah atap joglo ruang tunggu Terminal 1 dan 2 Bandara Soekarno-Hatta. Ia membuat reinterpretasi sendiri. Setiap atap memiliki tiga puncak segitiga untuk terminal kedatangan dan dua segitiga buat terminal keberangkatan.
Itu untuk bagian atas. Untuk atap bagian bawah yang landai, Andra bahkan membuat perubahan yang lebih ekstrem dengan menanam rumput di atasnya. “Rumput di atap itu yang juga membuat bangunan lebih dingin,” tutur Imelda Akmal, penulis arsitektur.
•••
SELAIN memberikan efek dingin, ada satu lagi alasan Andra Matin memakai rumput untuk atap: “Supaya bangunannya menyatu dengan sekelilingnya sehingga airport tidak seperti bangunan yang seram, gede, gigantis, tapi bagian dari landscape.”
Keharmonisan bandara dengan lingkungan sekitar memang direncanakan sejak awal. Sebelum bandara dibangun, Azwar Anas, Bupati Banyuwangi saat itu, mengamankan area sekitar. Maklum, biasanya, saat pusat ekonomi muncul, kawasan sekitarnya akan berkembang centang perenang dan amburadul.
Area hijau di Bandara Blimbingsari Banyuwangi, Jawa Timur. Aga Khan Trust for Culture/Mario Wibowo
Azwar mengeluarkan peraturan yang melarang perubahan apa pun dalam radius 10 kilometer dari bandara. “Yang tadinya sawah ya tetap sawah. Yang tadinya rumah ya tetap rumah, tidak berubah jadi hotel atau pertokoan. Jadi masyarakat sekitar tidak stres dengan kehadiran bandara baru. Mereka melakukan aktivitas seperti biasa seperti sebelum ada bandara,” ucap Andra.
Azwar Anas, yang kini menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, memang punya visi arsitektural yang baik. Ia mengundang sejumlah arsitek progresif, seperti Adi Purnomo, Budi Pradono, Yori Antar, Gregorius Supie Yolodi, juga Andra. Mereka mendesain berbagai bangunan, dari terminal bandara, terminal pariwisata terpadu, fasilitas olahraga, pendapa, tempat ibadah, ruang terbuka hijau, lembaga pendidikan, hingga hotel.
“Saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Pak Azwar banyak memperhatikan karya arsitek yang bagus sehingga, saat terpilih menjadi Bupati Banyuwangi, beliau merangkul mereka untuk memperindah Banyuwangi,” ujar Imelda, yang menerbitkan Banyuwangi Now, buku yang menceritakan desain-desain bangunan baru di Banyuwangi hasil karya para arsitek tersebut.
Salah satu tujuan Azwar memperindah Banyuwangi adalah menjadikan kabupaten di ujung timur Jawa itu sebagai destinasi wisata. “Tapi bukan mass tourism,” kata Imelda. Para pelancong yang meminati wisata jenis khusus ini menginginkan pengalaman berbeda. “Misalnya ketika sampai bandara enggak merasa seperti di bandara,” Imelda menjelaskan.
Area sawah di dekat Bandara Blimbingsari Banyuwangi, Jawa Timur. Aga Khan Trust for Culture/Mario Wibowo
Dalam pandangan Imelda, Andra berhasil menerjemahkan hal itu dengan baik. “Saat masuk bandara, kita sudah seperti berada di vila di Bali, merasakan angin bertiup di antara kisi-kisi kayunya, melihat pemandangan hijau di luar, ada tanaman dan kolam di dalam ruangan. Ini pengalaman yang berbeda,” kata penulis sejumlah buku arsitektur itu.
Apa yang dirasakan Imelda memang yang diinginkan Andra. “Saya ingin suasana luar—sawah dan pepohonan—masuk hingga mengurangi tingkat stres orang yang akan terbang.” Tapi kan tanaman dan kolam ikan membutuhkan perawatan? “Ya, tapi lebih rumit dan mahal mana, mengurus mesin AC yang besar atau membayar tukang kebun?” ujar Andra.
•••
DAMPAK sebuah bangunan terhadap masyarakat sekitar, lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya memang merupakan poin penting juri. “Hal itu menjadi concern Kapil Gupta saat me-review Bandara Banyuwangi,” kata Andra Matin.
Gupta adalah arsitek India yang diutus Aga Khan Award sebagai technical reviewer (pengamat teknis) kandidat dari Indonesia. “Untuk penghargaan arsitektur internasional, mungkin hanya Aga Khan yang mewajibkan adanya penilaian di lapangan. Itulah yang membuat penghargaan ini prestisius,” ucap Danny Wicaksono, arsitek Indonesia yang dua kali menjadi technical reviewer. Kali ini Danny memeriksa karya kandidat di Kuwait dan Sri Lanka.
Menurut Danny, sebagai arsitek yang belum pernah mendesain bandara, Andra memiliki keuntungan. “Dengan demikian, dia tidak terkungkung oleh pola tertentu, tidak terpaku tren yang ingin bandar udara itu harus seperti Changi,” tuturnya.
Andra memang selalu punya pendekatan unik. Salah satu pendiri Arsitek Muda Indonesia ini terkenal dengan desain yang bersih dan modern. Karyanya antara lain galeri Dia.Lo.Gue di Kemang yang simpel, gedung Komunitas Salihara, dan Tanah Teduh (bersama sembilan arsitek lain) di Jakarta serta klub Potato Head di Bali. Ia menginspirasi banyak arsitek muda dan menjadi trend setter.
Ventilasi di area Bandara Blimbingsari Banyuwangi, Jawa Timur. Aga Khan Trust for Culture/Mario Wibowo
Dalam perhelatan Aga Khan Award sebelumnya (2017-2019), rumahnya sendiri masuk 20 besar, tapi gagal menjadi pemenang. Pada periode kali ini sebenarnya ia tidak memasukkan Bandara Banyuwangi. Yang ia kirimkan adalah dua karya lain, yaitu Masjid Ash-Shobur dan Sessat Agung, keduanya di Tulang Bawang, Lampung.
Bandara Banyuwangi ia sodorkan kepada panitia pada periode sebelumnya, bersama desain rumahnya. “Tapi entah mengapa yang dipilih kok Bandara Banyuwangi, padahal kami tidak memasukkannya lagi,” tutur Andra. Danny punya jawaban. Menurut dia, staf Aga Khan yang memasukkan lagi Bandara Banyuwangi. “Itu biasa mereka lakukan. Kalau ada kandidat di periode sebelumnya yang mereka anggap menarik tapi tidak terpilih saat itu, ia akan dimasukkan lagi di periode berikutnya,” kata Danny.
•••
AGA Khan Award di bidang arsitektur ini salah satu penghargaan yang diberikan oleh The Aga Khan Development Network. Mereka juga memberikan penghargaan di bidang musik sejak 2018. Satu dari sepuluh pemenang Aga Khan Music Awards 2020-2022 adalah Peni Candra Rini. Adapun musikus asal Aceh, Zulkifli dan Bur’am, masuk daftar special mention.
Peni adalah musikus, sinden, dan komposer musik tradisional Jawa yang juga dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah. Para juri menganggapnya telah membuat inovasi di dunia musik karawitan hingga merepresentasikan “a new vision for Javanese music”. Ia juga dideskripsikan memiliki “pengalaman penuh penjiwaan dan keinginan memberikan cinta melalui suara dengan kejujuran dari dalam hati”.
Tahun ini musik dan bandara Banyuwangi menyatu dalam penghargaan.
QARIS TAJUDIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo