Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri pariwisata dan hiburan babak-belur lebih awal akibat pandemi Covid-19.
Gelombang PHK mengancam pekerja formal dan informal di sektor ini.
Paket penyelamatan disiapkan lintas kementerian.
SETELAH Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengaktifkan Pusat Krisis Terintegrasi sebagai jalur komunikasi dan edukasi bagi masyarakat pada pertengahan Maret lalu, hari-hari Ari Juliano Gema kian padat. Staf Ahli Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Kementerian Pariwisata ini ditunjuk sebagai juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sektor Pariwisata. Timnya kini kudu mengumpulkan data tentang pekerja informal di industri pariwisata dan kreatif yang terkena dampak pelemahan ekonomi akibat pandemi. “Data itu akan diajukan ke Kementerian Koordinator Perekonomian untuk mendapatkan Kartu Prakerja,” kata Ari, Rabu, 8 April lalu.
Pemerintah belum lama ini melipatgandakan alokasi belanja untuk program Kartu Prakerja menjadi Rp 20 triliun guna mengantisipasi dampak Covid-19 terhadap pekerja. Jasa pariwisata, dari biro perjalanan hingga penginapan, merupakan salah satu sasaran utama lantaran menjadi sektor yang terpukul lebih awal, bahkan sebelum kasus positif virus corona diumumkan pada 2 Maret lalu.
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada Januari-Februari 2020 hanya 2,16 juta orang atau turun 11,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kunjungan sepanjang Februari secara tahunan bahkan anjlok 28,85 persen. Pada saat yang sama, tingkat keterisian kamar hotel klasifikasi bintang rata-rata hanya 49,2 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga pekan kedua April, data yang diterima Ari Juliano menggambarkan betapa perdarahan di industri ini makin parah. Sebanyak 180 destinasi dan 232 desa wisata tutup. Belasan ribu pekerja di badan usaha pariwisata terkena pemutusan hubungan kerja. Jika ditambahkan dengan pekerja informal, jumlah korban ambruknya bisnis di sektor ini melampaui 110 ribu orang. Made Yoga Permana, pemandu wisata lepas asal Gianyar, Bali, salah satunya.
Permintaan biro perjalanan mengantarkan pelancong terakhir kali diterima Made Yoga pada Februari lalu. Sebulan terakhir, hari-hari pria 30 tahun ini hanya diisi dengan mengasuh dua anak dan mengantar pesanan pembelian bahan kebutuhan pokok secara online, bisnis kecil-kecilan yang baru ia rintis lantaran menganggur. Asap dapur rumahnya kini praktis hanya mengandalkan penghasilan istrinya, yang bekerja sebagai tenaga honorer instansi pemerintah di Badung, Bali. “Dulu mengantar wisatawan, sekarang antar istri kerja,” ucap Yoga, Rabu, 8 April lalu. Sejumlah kolega pemandu, kata dia, kini memilih kembali ke kampung halaman di wilayah Karangasem, Klungkung, atau Buleleng lantaran banyak obyek wisata yang tutup.
Sebagian besar obyek wisata di Bali memang tutup. Di Kabupaten Tabanan, Badan Pengelola Daya Tarik Wisata (DTW) Ulun Danu Beratan bahkan memperpanjang masa penutupan hingga waktu yang belum ditentukan dari semestinya akhir Maret lalu. Padahal kompleks wisata di sisi barat Danau Beratan ini sepanjang tahun lalu bisa menarik kunjungan hampir sejuta wisatawan domestik dan mancanegara. “Karena situasi Covid-19 ini masih belum bisa diprediksi kapan mereda,” ujar Manajer Operasional Badan Pengelola DTW Ulun Danu Beratan.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Putu Astawa menuturkan, kunjungan warga asing ke Bali sebenarnya masih ada. Namun kebanyakan dari mereka adalah orang yang memiliki keluarga di Bali. “Yang liburan sudah nol persen.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Jakarta, bisnis pelesiran juga tumbang. PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk menutup wahana rekreasi dan resor sejak 14 Maret lalu meski belum sampai terpaksa memecat para karyawannya. Sejak itu, manajemen menerapkan pola bekerja dari rumah bagi 82 persen pekerja. Sebagian lain tetap bekerja di kantor atau lokasi wisata, terutama untuk pemeliharaan dan pengamanan. “Dengan segala upaya dan berbagai kebijakan perusahaan, kami tetap mempertahankan karyawan,” kata Vice President Corporate Secretary PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Agung Praptono.
Hal serupa dilakoni Cinema XXI dan CGV Cinemas, dua jaringan bioskop yang sejak pekan ketiga Maret lalu menutup semua gerai layanannya di berbagai daerah. Head of Corporate Communications and Brand Management Cinema XXI Dewinta Hutagaol mengakui keputusan tak memberhentikan karyawan cukup berat lantaran biaya rutin gaji pegawai tetap harus dikeluarkan ketika pemasukan perusahaan nyaris kosong. “Pengeluaran semacam ini harus tetap berjalan,” ujar Dewinta kepada Tempo, Selasa, 7 April lalu.
Pengumuman bioskop Cinema XXI tutup di Pondok Indah Mall, Jakarta, 9 April lalu./ TEMPO/Nurdiansah
Untuk mempertahankan keberlangsungan bisnis, manajemen Cinema XXI memutuskan tidak memberikan renumerasi bagi jajaran komisaris dan direksi per April 2020 sampai kondisi kembali normal. Adapun CGV Cinemas kini menganjurkan karyawannya mengambil cuti selama perpanjangan masa penutupan operasi. Meski begitu, Public Relations Manager CGV Cinemas Hariman Chalid khawatir kosongnya pendapatan akan makin menyulitkan perusahaannya untuk melanjutkan bisnis ke depan. “Kami meminta ada kebijakan dari pemerintah untuk meringankan beban,” tutur Hariman.
Ambruknya bisnis pariwisata dan hiburan tersebut membuat usaha hotel dan restoran makin sulit bernapas. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengungkapkan, sedikitnya 1.500 hotel kini berhenti beroperasi. Ia tak menampik kabar bahwa beberapa hotel terpaksa memecat karyawan. “Tapi saya tidak bisa ekspos karena belum tahu detailnya,” tuturnya. Yang jelas, dia mengungkapkan, pengusaha hotel dan restoran kini dihadapkan pada masalah baru di tengah memburuknya arus kas: pembayaran tunjangan hari raya pada Mei mendatang.
Maulana pun mengeluhkan sikap pemerintah yang belum juga merespons sejumlah permintaan asosiasi agar beban pengusaha berkurang. Dia mencontohkan, pemerintah perlu segera memberikan pelonggaran berupa pembebasan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, juga mengurangi pembayaran biaya minimum penggunaan listrik dan gas. “Kami belum dapat stimulus apa pun, padahal sudah intens memberikan masukan kepada beberapa kementerian,” ucap pria yang kerap disapa Alan tersebut.
Menurut Ari Juliano Gema, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah merumuskan strategi mengantisipasi dampak Covid-19 terhadap industri di sektor ini yang terbagi dalam tiga fase: tanggap darurat, pemulihan, dan normalisasi. Saat ini, fase tanggap darurat dijalankan dengan mengurangi kerugian akibat pandemi.
Terpukul Pandemi
Kementerian, kata Ari, menghentikan promosi wisata dan merelokasi anggaran untuk membantu penanganan dampak corona. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 mencatat bujet Kementerian Pariwisata berubah menjadi Rp 4,26 triliun, berkurang Rp 207 miliar dari alokasi awal. Pada sisi lain, beberapa paket pelonggaran bagi industri pariwisata dan perhotelan tengah disiapkan untuk kemudian dikoordinasi dengan sejumlah kementerian dan lembaga terkait.
Dia mencontohkan, beberapa program telah digulirkan untuk mengurangi potensi pemutusan hubungan kerja. Kementerian, Ari menambahkan, telah bekerja sama dengan berbagai jaringan hotel untuk memfasilitasi 1.300 tenaga medis. “Harapannya, kerja sama ini bisa memberikan cash flow karena ada syarat mereka enggak boleh PHK karyawannya,” ujarnya. Kerja sama dengan tujuan serupa kini sedang dibangun dengan sedikitnya 2.500 unit usaha fashion untuk pembuatan masker kain.
AISHA SHAIDRA, MADE ARGAWA (BALI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo