Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri retail modern memasuki periode kelam.
Penutupan mal karena corona berimbas pada pemecatan pegawai.
Retail model pasar raya paling terkena dampak karena konsumen menahan belanja nonpangan.
EMPAT hari setelah ditutup karena mengikuti keputusan Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, pusat belanja Ramayana City Plaza hanya berdenyut di lantai dasar. Pada Kamis, 9 April lalu, sejumlah pengemudi ojek online mengantre pesanan di restoran cepat saji di lantai tersebut. Mal tiga lantai itu hanya membolehkan operasi penyewa yang berjualan makanan dan bahan pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akses utama mal yang menggunakan pintu gulir tertutup rapat. Lantai paling atas ditempati pusat jajanan serba ada dan bioskop. Toko Ramayana, jaringan department store terbesar untuk pasar menengah ke bawah milik PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS), menempati lantai 1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara pusat jajanan dan bioskop di mal itu hanya tutup sementara guna memutus rantai penularan Covid-19, Ramayana dipastikan tutup seterusnya. Pemilik sekaligus pengguna area terbesar Ciplaz Depok itu menutup operasinya secara permanen, membiarkan mal yang telah berdiri selama 23 tahun tersebut hidup dari para penyewa.
Kabar tutupnya Ramayana selamanya di Ciplaz Depok baru menyebar pada Selasa, 7 April lalu. Seorang pengguna Twitter, @wawat_kurniawan, mengunggah video dengan keterangan “Realitas masyarakat. Ramayana Depok PHK, karyawan histeris”. Orang-orang dalam video itu meratap, saling meminta maaf, dan berpelukan.
Suasana gerai Ramayana yang tutup di City Plaza Depok, Jawa Barat, 9 April lalu./TEMPO/M Taufan Rengganis
Hingga Jumat dinihari, 10 April lalu, cuitan itu dicuit ulang 8.000 kali dan disukai 12 ribu pengguna lain. “Itu kejadian tanggal 4 April,” kata Manajer Toko Ramayana City Plaza Depok M. Nukmal Amdar, mengklarifikasi video yang beredar, kepada Tempo, Rabu, 8 April lalu.
Nukmal membenarkan informasi adanya pemecatan pekerja di Ramayana Ciplaz Depok. Pada 4 April itu, dia menjelaskan, manajemen mengumpulkan semua pekerja, mengabarkan penutupan toko secara permanen sekaligus pemecatan mereka.
Sebanyak 87 pekerja Ramayana dipecat. Itu belum mencakup pekerja konsinyasi—pegawai dari distributor atau pabrik yang ditaruh di mal. Menurut Nukmal, manajemen menutup toko dan memecat pekerja karena tak kuat lagi menahan ongkos operasional. Jualan juga seret gara-gara wabah Covid-19. Tingkat penurunan, ucap dia, mencapai 80 persen. “Proyeksi ke depan akan makin berat.”
Kabar kelam ini menambah panjang daftar dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia usaha. Retail modern menjadi salah satu korban keganasan wabah, menyusul sektor lain yang lebih dulu tumbang, seperti pariwisata dan industri turunannya.
•••
INDUSTRI retail modern memulai tahun 2020 dengan muram. Biasanya, setiap awal tahun, perusahaan-perusahaan retail modern menaruh target penjualan yang tinggi. Tanggal 1 Januari, bagi peretail modern, adalah puncak kunjungan masyarakat ke mal. “Tapi harapan itu pupus,” tutur Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Kamis, 9 April lalu.
Hujan deras disusul banjir di sejumlah titik di Jakarta dan sekitarnya membuyarkan impian para peretail. Banjir yang nyaris melumpuhkan Ibu Kota memaksa masyarakat tidak ngemal. “Walaupun banjirnya tidak di seluruh Indonesia, pasar utama kami itu Jakarta dan sekitarnya,” ujar Roy.
Bisnis mulai pulih pada minggu kedua. Tapi ternyata hanya sesaat. Sejak pekan ketiga Januari hingga akhir Februari, kekhawatiran mulai menyeruak. Gelombang wabah Covid-19 mulai menyebar ke segala penjuru dunia. Baru pada awal Maret pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa virus sudah masuk ke Indonesia. “Saat itu, kami berusaha mempertahankan bisnis,” kata Roy.
Sampai akhirnya keluar kebijakan pemerintah yang meminta tempat-tempat masyarakat biasa berkerumun ditutup guna mencegah penyebaran virus corona. Salah satunya pusat belanja.
Terdapat lima jenis anggota Aprindo, yakni minimarket, supermarket, hipermarket, grosir, dan department store atau pasar raya. Yang paling tersapu oleh kebijakan itu adalah department store, yang saban hari menjual kebutuhan nonpangan. “Di pusat-pusat belanja, jenis retail modern inilah yang tutup,” ucap Roy. Sementara itu, retail penjual aneka bahan pangan tetap boleh, bahkan harus, buka. Pada saat yang sama, masyarakat memprioritaskan belanja pangan ketimbang sandang.
Direktur Utama Matahari Department Store Terry O’Connor merasakan betul dampak Covid-19 tersebut. Kondisi retail menurun tajam pada Maret kendati pada Januari dan Februari sempat memenuhi harapan. “Saat ini kami beroperasi dalam kondisi yang sangat tidak pasti,” kata Terry pada akhir Maret lalu.
Perusahaan kemudian mengambil keputusan merespons kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang menutup pusat belanja. Terry mengumumkan penutupan semua gerai Matahari mulai akhir Maret. Penutupan direncanakan berlangsung dua pekan dan bisa diperpanjang, tergantung situasi.
Tak hanya menutup gerai, direksi dan Dewan Komisaris PT Matahari Department Store (LPPF) membatalkan rekomendasi pembagian dividen tahun buku 2019. Perusahaan juga menyisir semua biaya yang sekiranya bisa disisihkan. Ini adalah upaya perusahaan memangkas beban secara besar-besaran. Misalnya lewat pengurangan jam kerja dan penerapan cuti tidak berbayar, juga pemangkasan pemasaran, perjalanan dinas, serta gaji. Pemotongan gaji terbesar dilakukan di level manajemen senior.
Imbas lain adalah sejumlah pegawai mesti dirumahkan. Roy Mandey, yang juga menjabat Wakil Presiden Komisaris Matahari Department Store, tak menyangkal informasi tersebut. Pekerja yang dirumahkan, menurut Roy, masih mendapat gaji. “Belum ada pertemuan lagi dengan dewan direksi,” tuturnya. “Tapi mau bertahan berapa lama? Kita belum tahu akhir dari Covid-19 ini.”
Roy mengungkapkan, anggota asosiasi bisnis department store belum melaporkan jumlah pegawai yang dirumahkan. Dia tidak tahu pasti berapa pegawai retail modern yang tergulung gelombang pemecatan dan dirumahkan gara-gara pandemi.
•••
BERSTATUS supermarket yang sebagian besar menjual bahan pangan, PT Trans Retail Indonesia tidak sepenuhnya selamat dari pandemi Covid-19. Pemilik jaringan supermarket Transmart dan Carrefour itu juga dipaksa keadaan merumahkan sejumlah pekerja. Vice President Corporate Communication Trans Retail Satria Hamid tak merinci berapa pegawai Trans Retail yang dirumahkan, tapi menjamin mereka sudah didata dan nama-namanya disetor ke dinas tenaga kerja setempat. “Agar mendapat bantuan dari pemerintah di program Kartu Prakerja,” kata Hamid ketika dihubungi, Kamis, 9 April lalu.
Menurut Hamid, Trans Retail tidak bisa menghindari gelombang merumahkan pekerja kendati sebagian supermarket mereka masih beroperasi. Di Mall of Indonesia, misalnya, ketika pusat belanja itu tutup, Carrefour tetap buka, walau harus menggunakan akses khusus.
Memang, masih ada pendapatan dari penjualan pangan ketika supermarket beroperasi. Perusahaan juga membuka layanan pembelian dari rumah lewat situsnya. Tapi ada penurunan pendapatan dari penjualan nonpangan yang juga dijajakan supermarket. “Pada sandang tetap terjadi transaksi, tapi jadi prioritas kedua,” ujar Hamid.
Apalagi Trans Retail juga terpaksa menutup jaringan Transmart, supermarket berkonsep one-stop shopping, lantaran harus mengikuti kebijakan pemerintah kota setempat. Ini yang membuat perusahaan memilih jalan serba efisiensi. Pegawai-pegawai di sektor operasional toko, baik pekerja Trans Retail maupun pegawai konsinyasi, paling banyak terkena dampak. “Kalau situasi sudah normal, mereka akan jadi prioritas untuk direkrut lagi.”
KHAIRUL ANAM, ADE RIDWAN YANDWIPUPTRA (DEPOK)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo