Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan wayang yang magis amat melekat dalam memori Muhammad Heri Fadli sejak ia kelas II sekolah dasar. Itu pula yang membuatnya ingin menggarap film dengan konsep satu frame seperti wayang. Mimpinya terwujud setelah film keduanya, Jamal, lahir. Film itu membawa namanya masuk dalam deretan sutradara yang berkontribusi di Festival Film Lleida, Spanyol, pada 4-13 Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heri mulai mengenal produksi film saat kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Di kampus itu, ia bergabung dengan klub film Komunitas Pilm Orang Komunikasi. Selepas kuliah, Heri pulang kampung. Pilihan itu diejek kawan-kawannya. “Mereka bilang, kreativitas perfilman saya akan mati kalau pulang kampung,” katanya saat ditemui di kampungnya, Dusun Aik Paek, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, awal Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keraguan orang-orang itu dihapus Heri lewat film Sepiring Bersama (2018). Film yang dia garap di kampungnya itu akhirnya melaju ke Yogyakarta dalam perhelatan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dua tahun setelahnya, giliran Jamal yang lahir dan ikut diputar di JAFF tahun lalu. Kedua film itu sama-sama melibatkan warga sekampung Heri, baik sebagai kru ataupun pemain. Heri berharap bisa mengajak mereka lagi bila nantinya memproduksi film panjang pertama soal tenaga kerja Indonesia (TKI).
Sayangnya film-film pendek yang sudah diproduksi Heri belum bisa ditonton publik secara luas. Di kanal Cl Channel, yang dia kelola di YouTube, hanya ada trailer dan cerita di balik layar film tersebut. Rencananya, awal tahun ini film-filmnya akan diputar secara offline (luring) di Mataram, bersama karya sineas Lombok lainnya. Berikut ini kutipannya.
Film Jamal hanya menggunakan frame tunggal. Bagaimana ide itu muncul?
Saya sangat terobsesi wayang. Wayanglah film pertama yang saya tonton saat kelas II SD. Saat kawan saya sudah pulang atau tidur di lapangan, saya menonton sampai kelar. Setelah mengenal dunia film, saya bermimpi ingin membuat yang seperti wayang. Jadilah film Jamal, yang hanya punya satu frame—cerita dibangun dari dialog dan pergerakan pemain keluar-masuk layar. Itu seperti wayang yang kita kenal.
Lalu mengapa isu TKI yang selalu Anda angkat menjadi film?
Sejak kecil, saya tumbuh bersama teman-teman yang hidup tanpa orang tua mereka yang buruh migran. Alhamdulillah saya enggak mengalami itu. Namun saya merasakan betul keadaan mereka. Bahkan, sampai sekarang, di sekitar rumah saya ada anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya merantau. Problem TKI adalah kehidupan sehari-hari saya. Apa yang tersuguh dalam Jamal adalah cerita yang saya betul kenali dan ikut rasakan. Selain itu, saya ingin persoalan TKI menjadi perhatian serius. Sebab, problem ini tak hanya di pusaran ekonomi, tapi juga psikologi anak-anak
Apakah faktor kedekatan juga menjadi alasan Anda memilih pemain dan kru film?
Mereka sebelumnya tak pernah terlibat produksi film, bahkan sebagian besar belum pernah masuk bioskop. Semua kru dan pemain masih berkerabat dengan saya, ada juga yang tetangga sekampung.
Bagaimana kemudian Anda melatih mereka?
Kami sama-sama belajar dari nol. Sepulang kuliah di Yogyakarta, saya bilang ke keluarga soal niat membikin film di kampung. Namun saya enggak punya uang untuk produksi, termasuk ongkos membayar kru dan pemain. Jadi, sebagai bayarannya, saya mengajari mereka cara memproduksi film, termasuk cara menggunakan kamera. Alhamdulillah semua orang senang. Apalagi ketika tahu film pertama kami, Sepiring Bersama, masuk JAFF 2018. Wah, itu orang kampung sini pada menangis semua. Senang dan sekarang malah menagih saya memproduksi film panjang.
Berapa lama proses produksi film Jamal?
Proses pengambilan gambar hanya 38 menit, tanpa cut, diedit jadi 14 menit saja. Namun persiapannya sekitar empat bulan, karena harus bolak-balik mencari lokasi syuting yang pas. Syukurnya, semua mau bekerja total. Semua properti dibuat serealistis mungkin. Seperti peti mati, kami membuatnya persis dengan yang dipakai mengangkut jenazah TKI. Saya juga sempat ikut ke dalam mobil ambulans bersama keluarga yang membawa jenazah TKI dari bandar udara ke kampungnya, agar bisa menyelami kesedihan mereka yang ditinggalkan.
Apakah film ketiga Anda nantinya juga akan memotret TKI?
Saya punya impian membuat film panjang dengan cerita yang masih soal TKI. Bila nantinya jadi memproduksi itu, saya ingin kembali mengajak pemain dan kru lama. Saya sangat suka semangat mereka untuk berkarya dan optimisme anak mudanya untuk bisa melanjutkan sekolah. Untuk mempersiapkan itu, saya kemarin mencari beasiswa S-2 dan akhirnya mendapatkan itu dari pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat. Saya memilih Universitas Teknologi Mara di Shah Alam, Selangor, Malaysia, karena ingin kuliah sembari menelisik kehidupan warga Lombok yang sedang bekerja di sana.
ABDUL LATIEF APRIAMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo