Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Obat Lebih Akurat

Levana Sani mendirikan perusahaan rintisan kesehatan di Singapura yang berfokus pada farmakogenomik. Obat lebih manjur, efek samping berkurang, biaya kesehatan bisa ditekan.

23 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Levana Sani, di ruang kerjanya, 18 April 2022. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Levana Sani mendirikan Nalagenetics setelah meneliti gen pengidap kusta.

  • Berlatar belakang ilmuwan, Levana Sani kini menjadi CEO Nalagenetics di Singapura.

  • Nalagenetics memperkenalkan farmakogenomik untuk personalisasi pengobatan.

Levana Laksmicitra Sani mendirikan Nalagenetics, perusahaan rintisan teknologi kesehatan di Singapura yang berfokus pada farmakogenomik. Melalui uji genetik, Nalagenetics membantu menaikkan kemanjuran obat untuk beberapa penyakit dan mengurangi efek samping. Pada penyakit kusta di Papua dan Papua Barat, kematian pasien akibat alergi obat bisa ditekan hingga nol kasus. Pendekatan farmakogenomik juga menekan ongkos kesehatan.


MASIH lekat dalam ingatan Levana Laksmicitra Sani peristiwa kepergian kakeknya pada 2014. Sang kakek yang berusia 81 tahun berpulang setelah menjalani serangkaian pengobatan jantung. Ia menjalani pengobatan kepada beberapa dokter. “Kakek saya sampai minum 8-12 jenis obat,” kata Levana saat berbincang dengan Tempo melalui konferensi video, Kamis, 14 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendiri Nalagenetics, yang berkantor di Singapura, ini beralasan membawa kakeknya ke beberapa dokter karena tak ada obat yang manjur. Jantung kakeknya tetap bermasalah dan sering kejang. Ketika keluarga membawanya ke Rumah Sakit Mayo Clinic di Amerika Serikat, dokter di sana mengatakan bahwa kakeknya minum terlalu banyak obat. “Efek samping obat membuat akhir hayatnya sangat sengsara,” ujar Levana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memori tentang kakeknya itu terus terekam saat Levana bekerja di Genome Institute of Singapore pada 2014-2016. Perempuan 29 tahun ini menjadi salah satu peneliti di lembaga riset genetik terkemuka di Negeri Singa itu. Berkutat dengan materi genetik manusia di laboratorium, Levana selalu terpikir mengenai personalisasi obat supaya tidak semua orang harus mengkonsumsi tambar yang bisa memicu efek samping. Menurut dia, setiap pasien harus mendapat obat yang tepat dengan takaran yang pas.

Levana Sani, di Singapura, 18 April 2022. Dok. Pribadi

Momentum itu datang ketika Levana berjumpa dengan Alexander Lezhava, Jianjun Liu, dan Astrid Irwanto. Ketiganya adalah senior Levana di Genome Institute of Singapore. Mereka awalnya menggarap proyek penelitian genom manusia yang berfokus terhadap farmakogenomik pada Dapson, obat penyakit kusta. Tim peneliti ini menemukan biomarka HLA-B*13:01 yang memprediksi Dapsone hypersensitivity syndrome bereaksi akibat obat yang seharusnya menyembuhkan.

Levana dan tim mendapat perhatian pemerintah Indonesia. Mereka dilibatkan untuk membantu menyebarkan 1.000 alat tes genetik di lima desa di Papua dan Papua Barat—daerah endemis kusta. Studi itu menemukan 20 persen pasien kusta membawa gen HLA-B*13:01. Tes genetik ini membantu dokter memutuskan obat yang tepat dan aman untuk pasien. “Pasien kusta meninggal bukan karena penyakitnya, tapi gara-gara efek samping obatnya,” ucap Levana.

Setelah meneliti biomarka pengidap kusta, Levana dan tiga koleganya mendirikan Nalagenetics pada 2016. Perusahaan rintisan di bidang teknologi kesehatan yang berbasis di Singapura itu berfokus pada farmakogenomik. Mereka mempelajari peran gen dalam mempengaruhi respons pasien terhadap terapi obat. Tujuannya mengurangi efek samping obat, meningkatkan kemanjuran resep, dan meningkatkan efisiensi biaya. Nalagenetics mengumpulkan pendanaan awal US$ 3,4 juta, termasuk US$ 1 juta atau sekitar Rp 15 miliar dari pemodal ventura.

Levana sempat jeda dari Nalagenetics ketika melanjutkan studi S-2 di Harvard Business School, Amerika Serikat. Sepulang dari sana pada 2018, perempuan kelahiran Singapura tapi tumbuh di Indonesia ini didapuk menjadi chief executive officer. Di bawah kepemimpinannya, Nalagenetics berkembang pesat. Dari Singapura, perusahaan startup itu meluaskan jangkauan layanan ke Indonesia dan Malaysia. “Kemungkinan akan di Inggris tahun ini,” ujarnya.

Levana Sani, di ruang kerjanya, 18 April 2022. Dok. Pribadi

Kolaborasi dengan dokter dan rumah sakit berbasis riset juga bertambah. Nalagenetics kini bekerja sama dengan 40 rumah sakit dan klinik di Indonesia dan Singapura serta menggandeng 52 dokter Indonesia dan 22 dokter di Singapura. Nalagenetics berkolaborasi dengan perusahaan asuransi kesehatan. Menurut Levana, tidak mudah melibatkan dokter yang biasanya meresepkan obat tanpa tes genetik. Umumnya dokter muda, yang sudah membaca lebih banyak publikasi penelitian ilmiah dan terlibat berbagai riset, menyambut positif teknologi baru.

Uji genetik untuk pasien kusta, studi kasus pertama Nalagenetics, masih berjalan hingga kini. Hana Krismawati, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua, mengatakan tes genetik menjadi skrining awal bagi pasien kusta sebelum menjalani pengobatan. “Kalau dia terlahir dengan gen HLA-B*13:01, setiap minum Dapson kemungkinan besar mengalami alergi,” tuturnya saat dihubungi, Jumat, 15 April lalu. Dapson, Rifampisin, dan Lampren adalah obat untuk pengidap kusta yang gratis dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ketiga obat antibakteri itu biasanya diberikan dalam satu paket blister.

Dalam kasus di Kota Jayapura dan Manokwari, kata Hana, alergi obat umumnya hanya dijumpai pada Dapson. Gejala klinis akibat alergi Dapson tidak main-main. Pasien bisa mengalami demam, sesak napas, sampai gangguan fungsi hati yang ditandai dengan mata menguning hingga kulit mengelupas.

Alergi Dapson juga bisa berujung kematian. Dengan skrining awal, dokter bisa mengetahui pasien yang berpotensi mengalami alergi. Dokter tinggal mencoret Dapson dari daftar obat dan menyisakan Rifampisin dan Lampren. Rifampisin adalah bakterisida yang paling kuat. Menghilangkan Dapson, menurut Hana, sejauh ini tidak mengurangi kualitas penyembuhan pasien meski memerlukan penelitian lebih lanjut.

Hana terlibat dalam penelitian Levana dan timnya sejak 2016. Untuk mengetahui cara kerja tes genetik, Hana berangkat ke Singapura untuk alih teknologi di laboratorium Nalagenetics. Alumnus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini mengatakan Balai Penelitian dan Pengembangan Papua setiap tahun menyediakan 200-300 tes genetik. Petugas mengambil sampel darah pasien lalu menganalisisnya selama satu hari. Tahun ini uji genetik diperbanyak menjadi 500 karena area penelitian meluas ke Kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten Jayapura. Sejauh ini pembiayaan uji genetik diperoleh dari dana hibah dari Leprosy Research Initiative.

Kusta sebagian besar telah musnah dari Indonesia sejak dua dasawarsa lalu. Tapi penyakit akibat infeksi bakteri Mycobacterium leprae ini masih merajalela di populasi Melanesia di Indonesia timur, khususnya Papua dan Papua Barat. Ini berkaitan dengan genetik orang Melanesia yang terlahir dengan persentase gen HLA-B*13:01 cukup tinggi dibanding ras atau etnis lain.

Indonesia bahkan masih menempati peringkat ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil. Di Jayapura dan Manokwari, misalnya, pasien kusta bertambah 100-120 orang tiap tahun. Menurut Hana, metode skrining dengan uji genetik memang tidak serta-merta bisa menurunkan angka kasus kusta. “Tapi kasus fatal karena alergi Dapson bisa ditekan, bahkan dihilangkan sama sekali,” ujarnya.

Levana mengatakan Dapsone hypersensitivity syndrome terjadi saat tubuh pasien bereaksi keras terhadap obat itu. Sementara orang normal memproses Dapson tanpa efek samping, pasien dengan gen HLA-B*13:01 menganggap obat itu musuh. “Langsung berdampak ke seluruh tubuh dan mulai menyerang sel,” katanya. Masalahnya, Dapson paling sering dipakai pada pasien kusta. Karena itu, Levana menilai skrining pasien dengan tes genetik menjadi sangat penting.

Nalagenetics juga menerapkan farmakogenomik untuk pasien kanker payudara. Bekerja sama dengan Samuel J. Haryono, dokter spesialis bedah onkologi di Rumah Sakit MRCCC Siloam, Jakarta, Nalagenetics mendeteksi gen CYP2D6 yang berfungsi memetabolisme tamoxifen, senyawa aktif golongan antiestrogen untuk mengobati risiko kanker payudara. Sebanyak 150 pasien sudah diuji secara sukarela lewat tes usap mulut. Nalagenetics menanggung semua pemeriksaan genetiknya.

Didampingi Faustina Audrey Agatha, Stevany Tiurma Br. Sormin, dan Marco Wijaya dari SJH Initiatives Siloam Research Collaboration, yang terlibat dalam penelitian, Samuel menuturkan bahwa hasil tes genetik para pasien cukup mengejutkan. Sekitar 40 persen subyek penelitian mengekspresikan gen CYP2D6 dalam kadar sedang hingga rendah. Artinya, metabolismenya rendah. “Angka itu besar sekali,” ucapnya pada Rabu, 20 April lalu. “Di Asia Tenggara cuma sekitar 20 persen.”

Semua pasien yang menjadi subyek penelitian Samuel dan Nalagenetics adalah pengidap kanker payudara stadium dini, dengan reseptor estrogen (ER) positif, dan umumnya masuk masa pramenopause atau berusia di bawah 50 tahun. Pada pasien-pasien ini, kemoterapi masih belum diperlukan. Pengobatan hanya bertumpu pada tamoxifen dosis 20 miligram yang harus dikonsumsi setiap hari selama lima tahun.

Levana Sani (ketiga kiri) bersama para ilmuwan Nalagenetics, Januari 2021. Dok. Nalagenetics

Menurut Samuel, berkurangnya kemampuan metabolisme berdampak pada serapan obat yang tidak optimal. Tamoxifen masuk ke tubuh sebagai obat yang belum jadi, lalu diolah di dalam hati dengan enzim menjadi endoxifen. “Adanya mutasi pada gen CYP2D6 akan mengurangi peran enzim untuk memetabolisme tamoxifen,” kata Samuel. Berkurangnya ekspresi gen CYP2D6 menghasilkan tingkat endoxifen yang lebih rendah. Akibatnya, efikasi atau kemanjuran obat merosot.

Dengan mengetahui kondisi genetik pasien sejak awal, dokter bisa lebih akurat meresepkan tamoxifen. Pada pasien dengan ekspresi CYP2D6 kadar sedang hingga rendah, dokter memberikan 40 miligram tamoxifen. “Kalau minum 20 miligram masih kurang,” Samuel berujar. Menurut Levana, dengan kurangnya asupan tamoxifen, pasien bisa kambuh bahkan penyakitnya menjalar jadi sel-sel kanker.

Kanker payudara memiliki jumlah kasus tertinggi di Indonesia. Global Burden of Cancer Study dari WHO mencatat 65.858 dari total 396.914 kasus kanker di Indonesia pada 2020 adalah kanker payudara. Angkanya mencapai 16,6 persen. Adapun menurut penelitian Nalagenetics, dosis atau resep yang salah bisa menyebabkan 30 persen kekambuhan.

Langkah Levana tidak berhenti di situ. Dia dan tim Nalagenetics menggunakan pendekatan farmakogenomik untuk penyakit jantung, epilepsi, hingga gangguan kejiwaan, yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Nalagenetics juga mengembangkan tes nutrigenomik—program pengaturan diet dan latihan fisik berdasarkan data genetik—serta untuk cek kesehatan. Levana kini tengah menjajaki kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

Levana Sani, Desember 2020. Dok. Nalagenetics

Hingga saat ini, lebih dari 2.000 orang telah menggunakan layanan farmakogenomik dan nutrigenomik. Selain meningkatkan kualitas hidup pasien, Levana mengklaim personalisasi pengobatan menghemat biaya kesehatan. Di Singapura, skrining genetik untuk pengidap kanker payudara berisiko tinggi bisa menghemat hingga Sin$ 3.670 atau sekitar Rp 38,5 juta seumur hidup. Di Indonesia, tamoxifen ditanggung BPJS Kesehatan. Hanya, BPJS belum menanggung tes biomarka yang ongkosnya berkisar Rp 1-2,5 juta untuk setiap orang.

Sejak memimpin Nalagenetics, kegiatan Levana berkutat di laboratorium perlahan berkurang. Perannya lebih banyak diisi rekan-rekannya yang, menurut dia, “jagonya setengah mati di laboratorium”. Sementara itu, perempuan yang masuk daftar Forbes 30 Under 30 ini lebih banyak berjibaku untuk menggaet investor dan mempromosikan Nalagenetics. Baru-baru ini Nalagenetics mendapatkan pendanaan US$ 12,6 juta atau setara dengan Rp 181 miliar. Kementerian Kesehatan juga memilih Nalagenetics sebagai salah satu inovator kesehatan terbaik dalam Health Innovation Sprint Accelerator 2022 pada Maret lalu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus