Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti Cimahi yang mengkaji sel surya peroxite untuk pembangkit listrik tenaga surya alternatif.
Digadang-gadang sebagai sel surya masa depan yang lebih efisien dan lebih murah.
Didukung fasilitas dan dana penelitian yang memadai.
MATEMATIKA dan mesin sudah membayang-bayangi hidup Noor Titan Putri Hartono sejak kecil. Ayahnya seorang dosen teknik mesin dan elektronika di sebuah kampus. Bila Titan mendapat peringkat baik di sekolah dasar, orang tuanya selalu menghadiahinya buku matematika. “Awal-awal yang dibeliin buku latihan matematika. Baru belakangan kalau ingin novel juga dibeliin,” kata perempuan kelahiran Cimahi, Jawa Barat, 13 Desember 1992, ini dalam wawancara daring pada Rabu, 13 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempaan di masa kecil itu berpengaruh terhadap pilihan studi Titan. Saat menempuh pendidikan sarjana di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, ia memilih jurusan teknik mesin. Ia mengambil jurusan yang sama saat mengambil jenjang master dan doktoral di kampus yang sama. Pada periode pendidikan master itulah dia mulai meneliti perovskite, material pembentuk sel surya yang digadang-gadang akan menggantikan silikon sebagai komponen pembangkit listrik tenaga surya yang lebih murah dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sel surya perovskite, seperti halnya silikon, berfungsi menangkap energi matahari dan mengubahnya menjadi listrik. Ini merupakan material baru yang dikembangkan sebagai alternatif silikon, yang sekarang banyak dipakai di pasar. Menurut Titan, material perovskite dilirik sebagai alternatif karena diyakini bisa lebih murah harganya saat diproduksi massal dibandingkan dengan silikon.
Titan menuturkan penelitian perovskite mulai marak sekitar 10 tahun lalu. Artikel di jurnal ilmiah pertama yang membahasnya terbit pada 2010. Kini sejumlah perusahaan rintisan bahkan berfokus pada pengembangannya. Namun, sampai saat ini, belum ada hasil berupa produk panel surya yang selnya dari perovskite. “Kebanyakan silikon,” ucapnya.
Titan menambahkan, silikon sebagai material pembentuk sel surya itu kurang-lebih sama prosesnya dengan semikonduktor. Butuh modal dan biaya besar untuk produksinya, meskipun harga jual produknya makin lama makin turun. “Makanya orang-orang tertarik untuk mengembangkan perovskite ini. Ada potensi lebih murah, tapi performanya kurang-lebih sama dengan silikon,” tuturnya.
Noor Titan Hartono saat membuat perovskite solar cells di MIT Photovoltaics Laboratory, Boston, Ameriksa Serikat, 2018. Tony Pulsone
Kelebihan perovskite lain adalah lapisannya yang bisa lebih tipis dibanding silikon. Menurut Titan, perovskite bisa berukuran sekian ratus nanometer. Materinya juga lebih fleksibel sehingga potensial bila dikembangkan untuk membuat jam tangan bertenaga surya. “Risetnya masih berjalan. Banyak kelompok riset di dunia yang berfokus di situ,” ujarnya.
Dalam penelitian Titan, perovskite yang disiapkan untuk sel surya itu dibentuk dari gabungan material timbel, iodin, dan bromin. Bahan yang dominan adalah timbel. Meski memiliki kelebihan, perovskite juga punya kelemahan, seperti sifatnya yang beracun dan materialnya tidak stabil.
Titan memulai penelitian perovskite di MIT pada 2016 dan menjadikan perovskite sebagai topik tesis masternya. Pada awalnya ia mengajukan permohonan ke sejumlah laboratorium dan akhirnya diterima di MIT Photovoltaics Research Laboratory, yang memang sedang meneliti perovskite. Saat itu, gairah penelitian untuk mencari pengganti silikon, yang sudah dikembangkan sejak 1970-1980-an, sangat tinggi.
Ada tiga tim, yang masing-masing terdiri atas tiga-empat orang, yang meneliti perovskite tapi dengan fokus berbeda-beda. Fokus mereka antara lain mengembangkan efisiensi bahan, mengurangi sifat beracunnya, dan menstabilkan materialnya. Titan masuk ke tim yang bertugas khusus di bagian terakhir itu.
Kestabilan silikon sebagai sel surya bisa bertahan sampai 25 tahun. Artinya, dalam periode itu bahannya tidak perlu diganti dan hanya perlu perawatan minimal. Berbeda halnya dengan perovskite. “Perovskite ini, dalam waktu sekian bulan saja, sudah terdegradasi, enggak bisa dipakai,” kata Titan.
Noor Titan saat melakukan riset di Brookhaven National Laboratory, Amerika Serikat, 2019. Janak Thapa.
Hampir tiap hari Titan melakukan eksperimen di laboratorium. Ini juga untuk membiasakannya bekerja di laboratorium karena pembuatan perovskite tidak mudah. Titan mengibaratkan prosesnya seperti membuat nasi goreng. Untuk bisa membuat variasi, ia perlu membuat nasi goreng dasar dulu sebelum mengubahnya dengan resep yang pas. Pembuatan sel surya skala mini membutuhkan waktu dua-tiga hari.
Saat Titan menyelesaikan studi doktoralnya pada 2021, ia sudah membuat panel surya perovskite dalam skala riset, bukan dalam bentuk panel surya besar. Ukuran sel suryanya 1 x 1 inci dan efisiensinya 18-19 persen. Panel ini, kata dia, masih bisa dikembangkan karena panel kelompok lain sudah bisa mencapai efisiensi 24-25 persen. Setelah ia pindah ke Berlin, Jerman, tahun lalu, penelitian itu dilanjutkan oleh mahasiswa MIT lain. Titan bersama koleganya mempublikasikan sekitar 20 karya ilmiah tentang perovskite.
Di Jerman, Titan melanjutkan riset pascadoktoral di Helmholtz-Zentrum Berlin, lembaga riset yang berfokus pada pengembangan energi ramah lingkungan. Berbeda dari sebelumnya, perovskite yang ia kembangkan di sini berbahan dasar timah dengan campuran seperti metilamonium, iodin, dan bromin. Tantangannya tentu berbeda dari perovskite berbahan dasar timbel.
“Timah lebih tidak stabil daripada timbel. Ia bereaksi dengan oksigen. Kita tidak bisa taruh di ruangan biasa (karena) ia bakal terdegradasi. Kalau timbel terdegradasi dalam waktu lebih lama, beberapa bulan. Timah itu dalam hitungan menit sudah terdegradasi,” katanya. Titan memprediksi bahwa paling cepat lima tahun atau mungkin bisa lebih dari 10 tahun dari sekarang produk sel surya perovskite akan tersedia.
Noor Titan Hartono saat berada di Laboratorium MIT, Boston, Ameriksa Serikat, 2019. Tony Pulsone
Titan juga memaksimalkan penggunaan machine learning untuk pengembangan perovskite. Ini sebenarnya sudah mulai dia rintis saat meneliti di MIT. Pembuatan sel surya perovskite mengandung banyak sekali variabel. Selain bahan campuran yang beda-beda, ada pula persentase setiap bahan. Komputasi dengan machine learning sangat membantu melihat kombinasi dan hasilnya. Tantangannya ada pada pengumpulan data karena eksperimen perovskite beda-beda. “Machine learning membantu membaca kombinasi data dan menginterpretasikannya,” ujarnya.
Titan tertarik pada perovskite karena mengaku tertantang untuk menjawab sesuatu yang ia tidak ketahui. Faktor utamanya adalah krisis iklim, yang sudah terlihat jelas dampaknya di depan mata. Ini menimbulkan desakan kuat untuk melakukan transisi energi dari yang berbahan fosil ke energi baru dan terbarukan, seperti tenaga surya, angin, air, dan panas bumi.
Sel surya perovskite, menurut Titan, layak dikembangkan di Indonesia. Meski jangkauan kelistrikan Indonesia sudah luas, persentase sumber listrik yang berasal dari batu bara justru naik. Padahal dampak krisis iklim sudah sangat nyata. “Ini bukan berarti transisi penuh ke panel surya, tapi bagaimana caranya kebutuhan energi orang terpenuhi, yang mungkin bisa juga dengan nuklir tapi dengan emisi sekecil mungkin,” ucapnya.
Titan berharap pemerintah punya keinginan politik yang kuat untuk melakukan transisi energi. Menurut dia, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan pemerintah, seperti membuat kebijakan yang memudahkan pengembangan energi terbarukan. Namun yang juga lebih penting adalah kebijakan di hulu. “Riset mengenai ini (energi terbarukan) bagaimana?” katanya.
Noor Titan bersama dengan rekan laboratoriumnya di MIT Photovoltaics Research Laboratory, 2017. Seong-Sik Shin.
Di Indonesia, sudah ada sejumlah upaya penelitian perovskite. Christin Rina Ratri, peneliti di Satuan Kerja Pusat Riset Material Maju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), meneliti perovskite saat menempuh studi master di The University of Manchester, Inggris. Bahannya dari timbel iodite. “Hasilnya belum sampai ke hilir,” ucapnya pada Selasa, 19 April lalu. Christin menambahkan, ada peneliti BRIN lain yang kini sedang menelitinya.
Peneliti lain yang juga mengkaji perovskite adalah Rahmat Hidayat dari Institut Teknologi Bandung. Pada mulanya ia mengerjakan sel surya polimer dan berkolaborasi dengan peneliti Jepang sejak 2010. Setelah mengikuti sebuah seminar internasional, ia beralih ke penelitian perovskite sejak 2017. “Hasilnya masih pada skala laboratorium. Prototipe belum ada,” tuturnya pada Selasa, 19 April lalu.
Rahmat mengatakan capaian penelitiannya memang belum sejauh Titan. Ia menilai Titan didukung oleh atmosfer riset yang memadai. Selain anggaran, ada pula fasilitas yang lebih memadai. Bahan untuk penelitian ini juga khusus dan pasokannya banyak di luar negeri. “Kalau ingin mendukung, pemerintah bisa memberikan fasilitas lebih baik untuk mendukung penelitian semacam ini,” ujar pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB ini.
ITB bersama Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia sebenarnya sudah pernah menjajaki kerja sama dengan MIT melalui Tonio Buonassisi, profesor teknik mesin MIT. Pada 2019 sudah ada pembicaraan secara daring mengenainya. Menurut Rahmat, saat itu juga sudah dijajaki topik penelitiannya. Salah satunya adalah perovskite. Kerja sama itu tak berlanjut karena adanya penyesuaian anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19. “Enggak tahu kapan mulai jalan lagi rencana itu,” katanya.
Titan mengakui bahwa dia lebih beruntung daripada koleganya di Indonesia. Semasa di MIT, pendanaan penelitiannya didukung oleh Kementerian Energi Amerika Serikat dan perusahaan minyak dan gas yang akan beralih ke energi terbarukan. Selama meneliti, dia memiliki anggaran yang cukup untuk membeli bahan penelitian, termasuk untuk menghadiri konferensi yang relevan dengan tema penelitiannya.
NOOR TITAN PUTRI HARTONO
Tempat dan tanggal lahir
Cimahi, 13 Desember 1992
Pendidikan
S-1 Teknik Mesin Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge, Amerika Serikat, 2012-2016
S-2 Teknik Mesin MIT, 2016-2018
S-3 Teknik Mesin MIT, 2018-2021
Karier
Peneliti Pascadoktoral di Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman, 2021
Dia mengaku kerap berkomunikasi dengan koleganya di Indonesia dan mendengarkan apa saja tantangan yang mereka hadapi, seperti dana yang terbatas dan beban tugas. Dosen di Indonesia biasanya memiliki beban mengajar yang besar sehingga sulit untuk berfokus dalam riset. Mengenai keterbatasan dana riset, Titan bisa memahaminya karena ada kebijakan anggaran pemerintah. “Mungkin karena kita belum sampai di level sekian persen duit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk riset,” ucapnya.
Rahmat menilai penelitian semacam perovskite layak dikembangkan di Indonesia. Sebagai akademikus, ia merasa lucu saat melihat penelitian di jurnal internasional mengenai pengembangan tenaga surya banyak ditulis oleh peneliti dari Eropa dan Korea Selatan, tapi bukan dari negara tropis seperti Indonesia. “Sementara yang mendapat sinar matahari lebih banyak itu kita,” tuturnya.
Secara nasional, Rahmat menjelaskan, pengembangan riset seperti perovskite juga penting untuk menjawab kebutuhan energi yang akan lebih besar ke depan, apalagi kalau Indonesia mengembangkan kendaraan listrik. Ada tekanan kuat untuk meninggalkan energi berbahan fosil seperti batu bara sehingga energi terbarukan seperti tenaga surya bisa menjadi alternatif. “Tapi penggunaan energi terbarukan ini jangan cuma jadi pasar,” ucapnya.
Noor Titan Putri Hartono mengatakan yang bisa dibantu oleh pemerintah adalah studi kelayakan pemanfaatan perovskite. Sebab, ini industri berbiaya besar. Tentu saja dengan menimbang potensi bahan yang tersedia. Ia menilai penelitian semacam ini penting, selain riset murni untuk menemukan formula yang membuat bahan pembangkit listrik tenaga surya ini lebih stabil dan lebih efisien untuk menggantikan silikon.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo