Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fenny Martha Dwivany konsisten meneliti pisang.
Penghasilan warga Desa Bukti di Kabupaten Buleleng meningkat sejak mereka menanam pisang.
Ide pengujian pisang di luar angkasa yang direncanakan pada 2017 kandas karena kendala biaya.
KERAP diajak ayahnya pergi ke kebun dan mengenal beragam tanaman, Fenny Martha Dwivany tertarik pada biologi sejak masih bocah. Ketertarikannya kian besar ketika ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandung. Fenny menganggap pelajaran biologi tidak membosankan. “Karena mempelajari sesuatu yang hidup, tumbuh, dan bergerak,” ujarnya pada Jumat, 15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecintaan pada ilmu hayat pula yang membawa Fenny kuliah di Jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung pada 1990. Kala itu ia mengenal banyak aspek aplikasi ilmu hayat. Ia bahkan harus memiliki dasar matematika, kimia, dan fisika yang kuat untuk mendukung kuliahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fenny mulai mempelajari teknologi kultur jaringan saat mengerjakan skripsi. Metode itu digunakan untuk memproduksi senyawa obat antimalaria dari sel kina. Kultur jaringan juga memiliki keunggulan dibanding teknik konvensional yang hanya mengekstrak senyawa obat dari kulit pohon karena sel kina yang dihasilkan dapat diperbanyak dalam jumlah tak terbatas secara singkat. “Pengalaman ini membuat saya makin mengerti potensi aplikasi ilmu hayat untuk menjawab masalah di sekitar kita,” tutur Fenny.
Fenny Martha Dwivany menunjukan tanaman pisang langka Tongka Langit hasil budidaya melalui kultur jaringan di kediamannya di Bandung, Jawa Barat, 16 April 2022. TEMPO/Prima Mulia
Lulus kuliah pada 1995, Fenny mendapat beasiswa penelitian sambil melanjutkan program magister di ITB. Ia tertarik mempelajari variasi genetik pada pohon jati dengan teknologi asam deoksiribonukleat (DNA) fingerprinting.
Riset tersebut menjadi pengalaman perdana bagi Fenny untuk bekerja langsung dengan teknologi DNA. Ia pun menjadi tertarik mendalami biologi molekuler. ITB lalu mengirimnya ke Australia untuk mengambil studi doktoral di University of Melbourne pada 2000.
Penelitian Fenny berfokus pada fungsi gen yang berperan dalam pembentukan dinding sel tanaman padi-padian. Ia belajar mengenai rekayasa genetika. Salah satu teknik terbarunya saat itu adalah asam ribonukleat interferensi (RNAi). Tujuan studi ini adalah merekayasa dinding sel biji-bijian agar industri lebih mudah mengolahnya menjadi bahan pangan.
Fenny tertarik meneliti pisang saat kembali ke Bandung pada 2004. Ketertarikannya bermula saat seorang pedagang langganannya lewat dan menawarkan pisang. Ia melihat sekujur buah pisang tersebut hitam dan tak segar. “Saat itu seperti ting! Saya harus riset soal pisang,” katanya.
Perempuan kelahiran Bandung, 18 April 1972, ini lantas membentuk The Banana Group dan menjadi koordinatornya. Ia pun mendapat julukan “Banana Lady” dari kelompok peneliti tersebut. Tujuan penelitian itu sederhana, yakni membuat pisang yang dijual pedagang keliling tak cepat matang dan tetap segar hingga di tangan konsumen. Riset itu juga menjadi syarat baginya untuk kembali mengajar di ITB setelah meraih gelar doktor.
Masalah biaya sempat membuatnya khawatir memulai penelitian di Indonesia. Apalagi, saat kuliah di Australia, ia melihat para peneliti didanai untuk mengikuti seminar di berbagai negara demi mendukung riset mereka. Mereka juga mendapat dukungan peralatan laboratorium yang memadai.
Wadah penyimpanan berbahan organik untuk memperlambat kematangan buah dengan penambahan teknologi nano temuan Fenny Martha Dwivany di Bandung, Jawa Barat, 17 April 2022. TEMPO/Prima mulia
Fenny lalu belajar kepada seniornya cara membuat proposal untuk mendapat dana penelitian. Kecemasannya sirna setelah ia mendapat dana dari acara Bogasari Nugraha (Indofood Riset Nugraha) pada 2004. Perusahaan itu tertarik pada topik penelitian Fenny dan mengajaknya menjadi anggota tim riset tentang isolasi gen. Riset gen pisang itulah yang menjadi riset pertama peneliti yang meraih International L’Oréal-UNESCO For Women in Science Awards 2007 tersebut.
Fenny memilih pisang ambon lumut sebagai model penelitiannya karena sejak kecil ia dan keluarganya menggemari buah itu. Indonesia juga merupakan pusat keanekaragaman pisang.
Badan Pusat Statistik menyebutkan angka produksi pisang Indonesia pada 2020 mencapai 8.182.756 ton. Tiga provinsi penghasil pisang terbanyak adalah Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Timur dengan jumlah produksi 1,2-2,6 juta ton. Indonesia pun menjadi produsen pisang terbesar keenam di dunia. Namun Indonesia hanya menempati peringkat ke-60 daftar eksportir pisang sepanjang 2005-2009.
Salah satu teknik yang digunakan dalam penelitian itu ialah RNAi. Asam ribonukleat adalah salah satu molekul utama pembawa bahan genetik selain DNA dan protein. Teknik RNAi merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami interaksi antargen, protein, dan sifat yang diturunkan dengan cara menghambat aktivitas suatu gen.
Molekul RNA yang berukuran kecil dalam bentuk untai ganda dimasukkan ke sel tanaman sehingga menyebabkan degradasi RNA target secara enzimatik. Perubahan biokimia dan sifatnya lalu diukur. “Pada pisang, rekayasa genetika itu membungkam atau menonaktifkan gen pematang buah,” ujar Fenny.
Gen yang dibungkam kerjanya itu berperan memproduksi hormon etilena. Hormon berupa gas itu berperan dalam pematangan buah. Fungsi lain etilena ialah mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan penyakit serta menjadi alat pertahanan tumbuhan. Etilena bisa menguar dari kulit pisang yang luka atau bonyok karena ditumpuk langsung saat diangkut. Akibatnya, pisang akan lebih cepat matang.
Konstruksi gen tersebut selanjutnya dimasukkan ke sel embrio tanaman pisang, lalu ditumbuhkan menjadi tanaman pisang utuh. Fenny menggunakan ratusan sel embrio dari setiap transfer gen tersebut. “Gen asli pisang tidak dihilangkan dan masih ada di sel tanaman pisang, tapi kerja gen itu jadi bisa diatur agar tetap bekerja atau tidak sesuai dengan keinginan,” ucapnya.
Fenny membutuhkan waktu cukup lama untuk mengidentifikasi gen yang berperan dalam pematangan pisang ambon lumut dan Cavendish atau ambon putih dengan metode RNAi. Sebab, informasi gen pada tanaman pisang di dunia sangat sedikit dan belum ada urutan gen pisang varietas asli Indonesia. Hasil kerja identifikasi gen yang berperan dalam pematangan pisang ambon lumut itu telah dikirim ke GenBank, basis data gen terpenting di dunia.
Menurut dia, salah satu masalah dalam ekspor pisang, terutama non-Cavendish, adalah kualitas buah yang rendah. Penyebabnya terentang dari masa prapanen hingga pascapanen. “Pematangan buah merupakan salah satu masalah pascapanen,” tuturnya. “Masalah pasca-panen lain seperti hama, penyakit, hingga distribusi buah.”
Fenny juga menggunakan pendekatan lain untuk menghambat pematangan pisang. Ia merancang kotak penyimpanan buah atau fruit storage chamber untuk memodifikasi atmosfer pematangan buah pada skala laboratorium. Tim ITB bekerja sama dengan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dalam riset tersebut.
Penelitian bersama itu berkembang guna menguji kondisi atmosfer di luar angkasa untuk mengetahui efeknya terhadap pematangan buah. Tahap persyaratan proyek itu dirintis pada 2007. Tim ITB juga sempat bekerja sama dengan Lapan dan badan antariksa di Jepang dalam program Ground Based Experiment to Study Fruit Ripening Process. Fenny dan tim membuat proposal penelitian efek lingkungan ruang angkasa terhadap ekspresi gen yang menyangkut pematangan pisang.
Para peneliti melakukan simulasi dengan klinostat—perangkat yang menggunakan rotasi untuk meniadakan efek tarikan gravitasi pada pertumbuhan tanaman. “Di luar angkasa, kadar oksigen sedikit dan karbon dioksida tinggi sehingga hipotesisnya pematangan pisang akan lebih lambat,” ujar Fenny.
Perangkat klinostat itu berbentuk bingkai segi empat dari bahan logam yang posisinya dipasang menyilang, lalu diputar-putar oleh mesin yang dibuat ITB. Pada salah satu bingkai dipasang alat semacam ram. Di bagian tengah alat tersebut terdapat stoples plastik bening untuk menempatkan pisang.
Perputaran klinostat diatur seperti di luar angkasa, tanpa orientasi ke satu titik. Dari beberapa hasil pengujian, diketahui pisang yang proses matangnya berlangsung lebih dari tujuh hari adalah yang disimpan dalam kondisi ruang tertutup pada klinostat.
Namun ide pengujian pisang di luar angkasa yang direncanakan pada 2017 itu kandas. “Ada kendala dana,” kata Fenny. Penelitian itu membutuhkan biaya besar dan fasilitas yang memadai.
Fenny dan tim lantas memperbaiki desain kotak penyimpanan buah sehingga dapat diaplikasikan untuk industri kecil, petani, dan pedagang buah. Riset itu melibatkan dosen dan peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam serta Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Purwarupa yang pernah dipatenkan adalah wadah buah pisang dari anyaman bambu. Wadah bambu berperan menahan pembusukan sehingga pisang bisa bertahan lebih lama. “Biasanya buah hasil panen hanya tahan seminggu. Nah, kami ingin lebih tahan lama,” tuturnya.
Wadah bambu juga dipertahankan karena ekonomis, ramah lingkungan, dan bermanfaat secara umum. Tim peneliti melapisi wadah tersebut untuk meredam oksigen. Digunakan pula molekul senyawa nanoteknologi untuk mendegradasi etilena.
Fenny mengatakan produk purwarupa itu bisa menyimpan pisang sebanyak 13 kilogram. Banana Group menggunakan fruit storage chamber di desa binaan mereka, yaitu Desa Bukti, Kabupaten Buleleng, Bali. Harapannya, wadah tersebut dapat didistribusikan secara merata ke seluruh desa.
Desa Bukti mendapat penghargaan Desa Iklim Lestari dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020. Desa yang semula tandus itu kini menjadi penghasil pisang. Bahkan batang pohon pisang yang telah ditebang pun bisa digunakan sebagai pupuk kompos dan pakan ternak. Walhasil, tak ada yang tersisa alias zero waste.
Tim ITB kini bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan kotak penyimpan hasil panen pisang seukuran kulkas yang dilengkapi sensor untuk memantau kondisi suhu dan kelembapan pisang serta lingkungannya. Alat itu menjadi solusi bagi para pemasok buah.
Sebelumnya, mereka kerap menghadapi kendala dalam memantau kualitas buah. Akibatnya, produk mereka sering dikembalikan sesampai di distributor karena telah busuk. “Jadi nanti (kotak penyimpan) bisa dipakai saat distribusi ataupun di supplier,” kata Fenny.
Dr. Fenny M. Dwivany menjadi pembicara dan mengenalkan hasil penelitian prototipe clinostat 3Ddi Aula Barat ITB, September 2019. Humas ITB/Adi Permana
Bersama Ketut Wikantika, profesor dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Fenny juga melakukan penelitian multidisipliner mengenai pisang. Mereka mengadakan riset awal untuk memantau kondisi pisang raja bulu dalam pematangan di pohon dengan pendekatan teknologi remote sensing atau pengindraan jarak jauh. Penelitian itu dipublikasikan dalam jurnal Diversity terbitan Multidisciplinary Digital Publishing Institute pada 7 April 2022 dengan judul “Integrated Studies of Banana on Remote Sensing, Biogeography, and Biodiversity: An Indonesian Perspective”.
Menurut Wikantika, Fenny adalah perempuan tangguh, konsisten, dan berkomitmen meneliti pisang. “Sedikit peneliti seperti itu,” ucap Wikantika, yang mengenal Fenny sejak 2012.
Wikantika juga bergabung dengan Banana Group dan membuat banyak proposal riset serta pengabdian masyarakat, seperti Banana Smart Village. Dari tiga desa yang menjadi perintis di Kabupaten Buleleng, hanya Desa Bukti yang berkembang karena Sekretaris Desa Bukti adalah seorang insinyur pertanian.
Ketua Kelompok Tani Ternak Kerti Winangun Desa Bukti, Made Suparta, menyebutkan kebutuhan akan pisang di Bali sangat tinggi, termasuk untuk keperluan upacara adat. Warga Desa Bukti bersama Fenny merintis Banana Smart Village pada Januari 2019.
Mulanya, penduduk desa menanam 500 pohon pisang. Kini kebun tersebut sudah bisa memenuhi kebutuhan penduduk. Desa yang semula kering dan tandus itu kini memiliki area hijau berupa kebun pisang seluas 27,5 hektare.
Penghasilan warga Desa Bukti pun meningkat sejak mereka menanam pisang. Sebelumnya, penduduk menanam singkong dan mendapat penghasilan Rp 250-300 ribu per bulan. Adapun penghasilan dari menanam pisang mencapai Rp 1,5-1,8 juta per bulan. “Dengan keberhasilan ini, masyarakat makin antusias menanam pisang,” tutur Suparta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo