Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengembangan Kawasan Industri Hijau Indonesia mengubah arah kelanjutan proyek PLTA Kayan.
Tujuh perusahaan yang terhubung dengan Garibaldi Thohir dan Luhut Binsar Pandjaitan mencuat di tengah perebutan megaproyek.
Jakarta bersiap menjadikan PLTA Kayan sebagai proyek strategis nasional.
SEBELUM berangkat ke Surabaya untuk menempuh pendidikan pada pertengahan Februari lalu, Iwan Sugiyanta diajak rapat oleh bosnya, Bupati Bulungan, Kalimantan Utara, Syarwani. Iwan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bulungan, tak sendiri. Syarwani juga mengundang Jahrah, Kepala Dinas Pelayanan Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bulungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka bertiga membahas nasib izin lokasi PT Kayan Hydro Energy, pemrakarsa pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Kayan. Megaproyek pembangkit dengan kapasitas total 9 gigawatt di Kecamatan Peso ini—sekitar 70 kilometer ke arah barat pusat pemerintahan Kabupaten Bulungan di Kecamatan Tanjung Selor—sebetulnya sudah diluncurkan pada 2014. Namun sejak saat itu belum ada tanda-tanda konstruksinya bakal dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, sejak pemerintah pusat dan daerah menjajakan rencana pembangunan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah Kuning-Mangkupadi pada 2017, makin banyak perusahaan berminat menggantikan Kayan Hydro Energy. Keberadaan kawasan industri membuat pembangunan pembangkit raksasa baru di Kalimantan Utara lebih masuk hitungan para investor.
Begitulah konsep awalnya. Potensi tenaga air yang melimpah di Kayan, yang ditaksir bisa mencapai 13 gigawatt, hanya akan ekonomis bila ada pelahap listrik yang juga berskala jumbo. Industri pemurnian logam (smelter), yang digadang-gadang memenuhi KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi, cocok dengan kriteria ini karena rakus setrum. “Ada banyak perusahaan yang telah melakukan penjajakan kepada kami,” kata Iwan kepada Tempo pada Kamis, 24 Maret lalu.
Desa Long Lejuh desa yang akan terendam kalau bendungan PLTA Kayan beroperasi. (foto: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Terbarukan di Kalimantan Utara)
Fortescue Future Industries Pty Ltd adalah salah satu peminat potensi sungai sepanjang 576 kilometer yang bermuara di Laut Sulawesi tersebut. Perusahaan yang menjadi bagian dari Fortescue Metals Group, milik orang terkaya kedua di Australia versi Forbes, Andrew Forrest, ini diundang Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk berinvestasi di Kalimantan Utara. Fortescue kesengsem karena membutuhkan energi listrik amat besar untuk memproduksi green hydrogen—disebut hijau karena hidrogen sepenuhnya dihasilkan tanpa pelepasan emisi karbon. Setrum dari PLTA akan dipakai untuk proses memisahkan hidrogen dan oksigen dalam air.
Kebetulan, pada saat yang sama, realisasi pengembangan KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi tak menentu. Makanya minat Fortescue mulanya dianggap bisa menjadi satu solusi untuk dua persoalan, yakni mengembangkan potensi tenaga air yang melimpah di Sungai Kayan sekaligus menyerap listriknya. Selama ini pengembangan potensi Sungai Kayan berkutat dalam perdebatan “telur dan ayam”. Pengembang PLTA membutuhkan kepastian pembangunan kawasan industri sebagai pembeli. Sedangkan pengembang kawasan industri memerlukan jaminan pasokan setrum.
Perwakilan Fortescue sempat menemui Syarwani pada Januari lalu. Saat itu tak banyak yang bisa dilakukan untuk memfasilitasi ketertarikan Fortescue di Sungai Kayan lantaran izin lokasi PT Kayan Hydro Energy masih berlaku hingga 20 Februari 2022. Kayan Hydro juga mengantongi izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak 2019 yang berlaku selama 30 tahun. “Kondisi saat itu masih punya Kayan Hydro. Fortescue belum sampaikan perizinan apa pun,” ucap Iwan.
Angin kini berpotensi berubah arah bagi Kayan Hydro Energy, juga Fortescue yang semula bersiap mengambil alih proyek Kayan. Pengembangan KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi di pesisir Bulungan telah diperkenalkan dengan nama baru: Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Pada 21 Desember 2021, Presiden Joko Widodo telah meresmikan dimulainya pembangunan KIHI oleh kelompok usaha yang digawangi Garibaldi Thohir, kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
Rapat yang dipimpin Syarwani dan dihadiri Iwan Sugiyanta, Ahad, 13 Februari lalu, rupanya juga lebih banyak membahas peminat megaproyek PLTA Kayan lain. Peminat baru itu adalah tujuh perusahaan dengan nama mirip-mirip, yaitu PT Pembangkit Indonesia Alfa, PT Pembangkit Indonesia Beta, PT Pembangkit Indonesia Delta, PT Pembangkit Indonesia Epsilon, PT Pembangkit Indonesia Eta, PT Pembangkit Indonesia Gamma, dan PT Pembangkit Indonesia Zeta.
Tujuh perusahaan itu tanpa bergembar-gembor telah memegang sejumlah izin non-efektif sebagai calon pengembang PLTA Kayan. Mereka mendapatkannya lewat Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik alias Online Single Submission (OSS), yang dikelola Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). “Secara izin lewat OSS mereka sudah pegang memang,” tutur Iwan.
Area peresmian proyek Kawasan Industri Hijau Indinesia di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara 21 Desember 2021. Sekretariat Presiden
Tapi lagi-lagi, karena sejumlah izin di kantong Kayan Hydro Energy masih “hidup”, kata Iwan, Pemerintah Kabupaten Bulungan tak dapat mengambil keputusan apa pun, hanya bisa menampung semua minat yang masuk. Begitu pula halnya ketika mereka menghadapi ketertarikan Tsingshan Holding Group, raksasa nikel asal Cina yang menjadi investor utama Indonesia Morowali Industrial Park di Morowali, Sulawesi Tengah. “Kami belum melihat apakah mereka akan masuk lewat konsorsium atau sendiri,” ucap Iwan. “Yang penting kalau ada yang masuk kami tampung dulu.”
Pada akhir Februari lalu, beberapa hari setelah rapat yang dihelat Bupati Syarwani, Pemerintah Kabupaten Bulungan memutuskan tidak memperpanjang izin lokasi PLTA Kayan yang dipegang Kayan Hydro Energy. Mereka telah melimpahkan kewenangan penerbitan izin lokasi tersebut kepada BKPM, sesuai dengan aturan baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja. “Semua permohonan belum diproses, menunggu arahan pusat,” ujar Iwan.
Di tengah tarik-ulur pengembangan PLTA Kayan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terus mempromosikan megaproyek ini. Di hadapan sejumlah menteri dan kepala daerah yang hadir dalam “Business Matching Belanja Produk Dalam Negeri” di Nusa Dua, Bali, Kamis, 24 Maret lalu, Luhut mempresentasikan Kawasan Industri Tanah Kuning-Mangkupadi yang kini bersalin merek menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia.
“Ini di tempat dia (Bupati Syarwani) bakal ada investasi US$ 132 miliar dalam tujuh tahun,” kata Luhut sambil menyebut nama Bupati Syarwani yang turut hadir di Bali. “Ini salah satu proyek terbesar di dunia yang akan membuat Indonesia berubah.”
Dalam forum itu Luhut juga membeberkan hasil pertemuannya dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammad bin Salman di Riyadh pada awal Maret 2022. Menurut Luhut, Arab Saudi tak mau ketinggalan ingin berinvestasi di KIHI. “Jenderal Luhut, pastikan saya masuk ke situ (KIHI). Saya tidak mau kehilangan Indonesia seperti kami kehilangan Cina pada 1980,” tutur Luhut menirukan ucapan Salman. “Itu kalimat dia (Salman).”
Luhut memang memegang peran kunci dalam percepatan pengembangan PLTA Kayan sekaligus KIHI di Kalimantan Utara. Menurut juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, bosnya itu memelototi PLTA Kayan dan KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi sejak 2016. Luhut turun tangan karena merasa perkembangan megaproyek tersebut begitu-begitu saja. “Kami mulai kerjakan secara telaten, road show ke banyak negara,” ujar Jodi pada Januari lalu. “Sampai kemudian di awal 2021 baru mengerucut ke investor potensial, yang kemudian berujung pada groundbreaking kemarin (pada 21 Desember 2021).”
Namun ditengarai Luhut terlibat dalam proyek KIHI tak sebatas sebagai menteri. Keberadaan Justarina Sinta Marisi Naiborhu sebagai Direktur Utama PT Kalimantan Industrial Park Indonesia memantik dugaan adanya kepentingan bisnis Luhut dalam proyek kawasan industri tersebut.
Justarina adalah kerabat Luhut yang juga pernah memimpin PT TBS Energi Utama Tbk—dulu bernama PT Toba Bara Sejahtra Tbk. Sedangkan PT Kalimantan Industrial Park Indonesia merupakan pengembang KIHI, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh PT Alam Tri Bangun Indonesia, perusahaan investasi di bawah bendera PT Adaro Energy Indonesia Tbk milik Garibaldi Thohir.
Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sambutan saat peresmian proyek Kawasan Industri Hojau Indonesia di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara 21 Desember 2021. Presidenri.go.id
Januari lalu, ketika Tempo menyiapkan laporan tentang hubungan Luhut dan Garibaldi dalam KIHI, Jodi Mahardi menampik dugaan bosnya punya kepentingan pribadi terhadap megaproyek tersebut. “Penunjukan Ibu Justarina di KIPI tidak ada kaitannya dengan posisi Pak Luhut sebagai Menko Marves (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi),” kata Jodi saat itu.
Bantahan juga dilontarkan Boy—panggilan Garibaldi. Justarina berada di perusahaan pengembang KIHI, dia menjelaskan, murni sebagai pekerja profesional.
Tapi fakta lain kini kembali mencuat ke permukaan. Tujuh perusahaan peminat baru proyek PLTA Kayan, dengan nama Pembangkit Indonesia Alfa sampai Zeta itu, disokong sejumlah nama di lingkaran bisnis Boy Thohir yang juga mengurus Kawasan Industri Hijau Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu juga dikelola kerabat Luhut yang lain.
•••
ALAMAT kantor tujuh perusahaan itu sama: Treasury Tower lantai 56, District 8 SCBD Lot 28, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Namun petugas penerima tamu di lobi Treasury Tower tak menemukan perusahaan-perusahaan itu dalam daftar pemilik atau penyewa unit perkantoran kelas elite tersebut.
Ada empat unit kantor di alamat itu. Satu di antaranya paling menarik perhatian. Ruangan bernuansa minimalis di sudut lantai itu nyaris tanpa identitas perusahaan, juga tampak lengang. Nama pengguna unit hanya tercantum pada selembar kertas HVS bermeterai yang ditempel di pintu kaca: PT Kawasan Industri Kalimantan Indonesia.
Seorang petugas penerima tamu di ruangan itu tak mengenali PT Pembangkit Indonesia Alfa, juga Beta, Delta, Epsilon, Eta, Gamma, dan Zeta. Ia hanya membenarkan informasi bahwa kantor itu juga dihuni PT Kalimantan Energi Hijau. Dia juga mengenal nama Heidi Melissa Deborah Najogi. "Iya, kantor Bu Heidi di sini," ucap petugas itu ketika Tempo mendatangi kantor tersebut untuk mengajukan permohonan wawancara pada Jumat, 11 Maret lalu.
PT Perusahaan Pembangkit Alfa dan enam perusahaan lain itu menjadi bahan pergunjingan di tengah tarik-menarik proyek PLTA Kayan. Tanpa kuda-kuda, ketujuh perusahaan itu secepat kilat mengantongi sejumlah izin awal buat menjadi pengembang PLTA Kayan.
Akta perseroan mencatat perusahaan-perusahaan itu baru dibikin di depan notaris pada 19 April 2021. Sepekan kemudian, 27 April 2021, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengesahkan pendirian perseroan, yang disusul penerbitan nomor induk berusaha oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal esoknya.
Berselang tiga hari, 30 April 2021, perusahaan-perusahaan anyar ini sudah mengantongi izin usaha penyediaan tenaga listrik non-efektif untuk PLTA Kayan. Layanan Online Single Submission menerbitkan izin lingkungan, izin mendirikan bangunan, dan sertifikat laik fungsi pada tanggal yang sama, juga dengan status non-efektif—dulu berlaku setelah pemohon memenuhi komitmen, tapi kini berbasis penilaian risiko. “Sudah kami bahas perizinan OSS mereka di kabupaten,” kata Iwan Sugiyanta, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bulungan.
Tujuh perusahaan tersebut terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia alias KIHI yang dipimpin Garibaldi Thohir. PT Kawasan Industri Kalimantan Indonesia, yang alamat kantornya dipakai untuk mendaftarkan pendirian tujuh perusahaan itu, bukan nama yang asing. Januari lalu, ketika Tempo berkunjung ke lokasi pembangunan KIHI di Kabupaten Bulungan, nama perusahaan ini disebut oleh sejumlah warga Desa Mangkupadi sebagai pelaksana pembebasan lahan.
Isi akta pendirian tujuh perusahaan tersebut juga tak jauh berbeda dengan pengembang KIHI, yakni PT Kalimantan Industrial Park Indonesia. Pemegang saham minoritas di perusahaan-perusahaan itu adalah Raden Harry Zulnardy. Komisaris Utama PT Mahaka Media Tbk—salah satu kelompok usaha milik keluarga Thohir—ini juga menjadi pemegang saham dan menjadi pengurus PT Kawasan Industri Kalimantan Asri, pemegang saham Kalimantan Industrial Park Indonesia.
Raden Harry Zulnardy juga tercatat sebagai pemilik PT Kalimantan Energi Hijau, pemegang saham mayoritas Pembangkit Indonesia Alfa hingga Zeta. Di induk perusahaan ini tercatat nama Chrisanthus Supriyo. Sama dengan Raden Harry Zulnardy, Chrisanthus Supriyo selama ini berkecimpung di lingkaran bisnis keluarga Thohir, termasuk dalam proyek KIHI.
Dimintai konfirmasi pada Senin, 14 Maret lalu, Boy Thohir menolak menjawab dan meminta pertanyaan Tempo tentang perusahaan-perusahaan itu ditujukan kepada manajemen proyek KIHI. “Langsung saja ke tim masing-masing project,” ujar Boy. “Nanti koordinasi ke Ira.”
Febriati Nadira alias Ira, juru bicara Adaro, menerima daftar pertanyaan Tempo. Jawaban datang secara tertulis dari Corporate Communication PT Kalimantan Industrial Park Indonesia, Melva Tiora Rubintang, Sabtu, 19 Maret lalu.
Melva Tiora membenarkan kabar bahwa ketujuh perusahaan dengan nama mirip itu terafiliasi dengan proyek KIHI. “PT Pembangkit Indonesia merupakan perusahaan yang didirikan untuk mendukung penyediaan energi hijau bagi kawasan industri hijau milik PT KIPI,” ucapnya.
Ada dua nama baru dalam daftar manajemen di antara jejaring perusahaan anyar ini, yakni Adrian Lembong dan Heidi Melissa Deborah Najogi, yang masing-masing tercatat sebagai komisaris dan direktur di Kalimantan Energi Hijau serta Pembangkit Indonesia Alfa hingga Zeta. Adrian sudah lama dikenal sebagai orang Adaro. Dia direktur PT Adaro Power, anak perusahaan Adaro Energy yang ikut membangun PT Bhimasena Power Indonesia—joint venture di pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Jawa Tengah.
Kantor PT Kawasan Industri Kalimantan Indonesia di Treasury Tower lantai 56 SCBD, Jakarta Selatan, 11 Maret 2022. Tempo/Aisha Shaidra
Nah, nama yang terakhir, Heidi Melissa Deborah Najogi, betul-betul asing di lingkaran usaha keluarga Thohir. Nama itu pula yang kini kembali menyeret nama Menteri Luhut ke dugaan kongsi bisnisnya dengan Boy, kali ini dalam proyek PLTA Kayan yang disiapkan untuk memasok listrik ke Kawasan Industri Hijau Indonesia. Beberapa pengusaha yang mengikuti perkembangan proyek ini menyebutkan informasi yang sama persis: Heidi Melissa Deborah Najogi tidak lain adalah Heidi Melissa Panjaitan, keponakan Luhut.
Berbeda dengan kerabat Luhut lain yang kondang, seperti Pandu Sjahrir yang menjabat Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama Tbk—dulu PT Toba Bara Sejahtra—dan sejumlah korporasi, nama Heidi Melissa Panjaitan memang tak banyak mencuat ke publik. Walau begitu, nama yang mirip beberapa kali muncul, di antaranya bersinggungan dengan aktivitas Menteri Luhut.
Nama “Heidi Melissa Panjaitan”, misalnya, tercatat sebagai Pengurus Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia periode 2018-2021. Laporan tahunan Toba Bara mencatat laporan kegiatan yang pernah melibatkan seseorang bernama “Heidi P”. Pada 2018, Kepala Departemen Legal Toba Sejahtra diampu oleh “Heidi Panjaitan”. Nama “Heidi Pandjaitan” juga menjadi Ketua Komisi Hukum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia periode 2021-2025, yang ketua umumnya adalah Luhut Binsar Pandjaitan.
Tapi apakah Heidi Melissa Panjaitan ini sama dengan Heidi Melissa Deborah Najogi, direktur PT Kalimantan Energi Hijau dan tujuh anak perusahaan bernama Alfa hingga Zeta?
Tempo mendatangi rumah Heidi Melissa Deborah Najogi di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, seperti yang tertera pada akta-akta perusahaannya. Seorang asisten rumah tangga yang menerima surat permohonan wawancara Tempo kepada Heidi memastikan majikannya itu tak lain Heidi Panjaitan, kerabat Luhut. “Ibu sampai Jumat work from home,” kata seorang pria yang duduk-duduk di seberang rumah Heidi pada Selasa, 15 Maret lalu. Dua pekan berlalu, Heidi tak menjawab permohonan klarifikasi Tempo.
Lewat juru bicaranya, Jodi Mahardi, Luhut membantah keberadaan Justarina dan Heidi sebagai bukti kepentingan bisnis pribadinya dalam proyek KIHI dan PLTA Kayan. Menurut Jodi, Luhut berniat mendorong percepatan proyek ini hanya supaya proyek segera terealisasi lantaran sudah terlalu lama mangkrak. “Ibu Justarina dan Ibu Heidi adalah profesional yang memiliki pengalaman yang panjang dan track record yang baik,” tutur Jodi lewat pesan tertulis pada Jumat, 25 Maret lalu.
Rumah Heidi Melissa Deborah Najogi, yang diduga kerabat Luhut Binsar Pandjaitan, di Kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara, 15 Maret 2022. Tempo/Khairul Anam
Menurut Jodi, Heidi sebelumnya bekerja di kantor pengacara terkemuka selama bertahun-tahun. “Jadi penunjukan para profesional ini (Justarina dan Heidi) tidak ada kaitannya dengan Pak Luhut. Silakan ditanyakan langsung ke pemegang saham KIPI dan PT Pembangkit Indonesia perihal tim manajemen mereka.”
Corporate Communication PT Kalimantan Industrial Park Indonesia Melvia Tora Rubintang membenarkan informasi bahwa Heidi adalah direktur Kalimantan Energi Hijau dan Pembangkit Indonesia Alfa hingga Zeta. Tapi, dia mengklaim, sudah ada perubahan struktur. “Saat ini Ibu Heidi sudah tidak menjabat direktur di PT Pembangkit Indonesia dan Kalimantan Energi Hijau,” kata Melvia pada Sabtu, 19 Maret lalu.
Tempo kembali mengakses akta perusahaan milik delapan perseroan tersebut pada Rabu, 23 Maret lalu. Belum ada perubahan pada data tersebut. Heidi masih bertengger sebagai direktur.
•••
LUHUT Binsar Pandjaitan sudah lama terang-terangan menyatakan tak suka terhadap nasib pengembangan PLTA Kayan di tangan PT Kayan Hydro Energy. Dia bahkan mengancam akan mencabut izin usaha penyediaan tenaga listrik Kayan Hydro Energy. “Orang yang pegang konsesi dari pemerintah sampai belasan tahun, tetap tidak beroperasi, kita cabut izinnya, kita berikan langsung ke yang bisa kerja,” ujar Luhut di Tanjung Selor, Bulungan, dua pekan sebelum peresmian Kawasan Industri Hijau Indonesia pada Desember 2021. “Kita cari yang paling cepat, langsung ada duitnya, jangan omong-omong saja.”
Perusahaan ini mengantongi IUPTL ini sejak 2019 dengan masa berlaku 30 tahun dihitung dari awal operasi. Adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang menerbitkan izin itu. Setiap enam bulan sekali, pemegang IUPTL seperti Kayan Hydro wajib melaporkan perkembangan proyeknya kepada Menteri Energi lewat Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan.
Kayan Hydro mengklaim selalu melaporkan perkembangan proyek yang mereka prakarsai secara rutin. “Kalau sebagai menteri Pak Luhut ngomong begitu, ya kami diam saja,” ucap Steven Kho, kuasa hukum Tjandra Limanjaya, pemilik Kayan Hydro Energy, pada Januari lalu. “Masalahnya, kami tidak pernah ditegur oleh kementerian teknis.”
Tjandra Limanjaya bukanlah newbie dalam bisnis pembangkit listrik. Dialah yang mengusulkan proyek PLTU Celukan Bawang di Bali. Setelah mendapatkan persetujuan jual-beli listrik dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Tjandra menjalankan proyek ini dengan menggandeng China Huadian Corporation sebagai penyandang dana sekaligus pemegang saham mayoritas. Begitulah, seperti kebanyakan pengusaha pembangkit listrik lain, Tjandra dikenal sebagai pengemas proyek yang lalu mencari pemodal sekaligus pemborongnya.
Saat mulai memelototi perkembangan PLTA Kayan, Luhut pernah memanggil Tjandra dalam sebuah rapat besar. Dalam salah satu pertemuan di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, seperti dijelaskan dua orang yang mengetahui rapat tersebut, Luhut sempat mempertanyakan kesanggupan Tjandra melanjutkan proyek. “Tjan, listrik segede ini mau dicolokin ke mana? Hidungmu, ya?”
Pemerintah merasa tersandera oleh Tjandra Limanjaya. Dia memang yang mempelopori rencana pengembangan potensi PLTA Kayan dan mengemas model bisnisnya yang terintegrasi dengan kawasan industri. Tapi, sejak memegang izin lokasi pada 2012, Kayan Hydro tak kunjung memulai pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah perseroan tak kunjung bersepakat dengan calon-calon tenant rencana proyek kawasan industri yang bakal melahap setrum dari Kayan.
Kepada Tempo, Steven Kho dan direktur Kayan Hydro Energy, Khaeroni, mengklaim perusahaannya sudah bekerja sesuai dengan izin yang mereka peroleh. Selain menyusun studi kelayakan hingga rancangan detail teknik, menurut Steven, Kayan Hydro telah mulai membebaskan lahan di sekitar lokasi bendungan yang menjadi pembangkit.
Persoalan berikutnya, sebagian lokasi rencana proyek dan jalan menuju ke sana berada di kawasan hutan lindung yang membutuhkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dimohon sejak 2019, IPPKH itu baru terbit untuk satu bendungan, dari lima yang mereka rencanakan. Kementerian Kehutanan sebetulnya sudah menyodorkan konsep putusan IPPKH kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal pada Maret dan Juni 2020.
Namun baru pada Maret 2021 Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal BKPM Riyanto mengabarkan kepada Kementerian Kehutanan bahwa IPPKH bagi lima bendungan PLTA Kayan masih “menunggu arahan pimpinan”. Maksudnya adalah Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. IPPKH PLTA Kayan untuk Kayan Hydro Energy akhirnya keluar satu pada November 2021, meski ternyata telah diteken enam bulan sebelumnya.
Di tengah proses panjang itu, masih menurut Steven, bosnya juga telah bertemu dengan sejumlah entitas usaha yang berminat pada proyek Kayan, baik dari kelompok Boy Thohir, Tsingshan Holding Group, maupun Fortescue Future Industries. Mereka menanyakan potensi kerja sama atau pengambilalihan proyek dari tangan Kayan Hydro. “Kami tidak ada niat menjual, kecuali dipaksa buat jual,” ujar Steven, yang mengklaim Kayan Hydro sudah keluar US$ 200 juta buat studi dan persiapan megaproyek tersebut.
Khaeroni, direktur Kayan Hydro, kembali berupaya menunjukkan keseriusan perusahaannya menggarap PLTA Kayan dengan menyodorkan surat komitmen investasi dari China International Water & Electric Corporation, anak usaha China Three Gorges Corporation, pengelola PLTA terbesar di dunia, Tiga Ngarai. Komitmen itu diteken pada Januari 2022. Perusahaan inilah yang diklaim akan menyediakan dana pembangunan PLTA Kayan yang bisa menembus angka US$ 17,8 miliar atau sekitar Rp 255 triliun.
Tidak banyak suara yang datang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral perihal kisruh pengembangan PLTA Kayan. Dimintai klarifikasi tentang status izin Kayan Hydro Energy di PLTA Kayan sejak dua pekan lalu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana tidak merespons. Pada Kamis, 24 Maret lalu, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Ida Nuryatin Finahari sempat menjawab singkat. “Entar diinfo, ya.”
Kabar baru justru datang dari Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi Dadan Kusdiana. Menurut Dadan, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan sedang menyiapkan tenggat buat Kayan Hydro Energy. Jika PLTA Kayan tak kunjung dibangun dalam rentang waktu tertentu, Kementerian Energi akan mencabut IUPTL dari tangan perseroan. “Pak Rida sudah beri warning,” tutur Dadan di ruang kerjanya di Jakarta, Jumat, 25 Maret lalu.
Yang juga menarik, ketika di Bulungan pembangunan PLTA Kayan tak tentu arah, pemerintah di Jakarta mulai membahas rencana memasukkan megaproyek ini ke daftar proyek strategis nasional. Status ini akan membuat semua perangkat pemerintahan, dari pusat hingga daerah, satu suara.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo