Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Miftachul Achyar mundur sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Persoalan rangkap jabatan Rais Am PBNU mencuat dalam sidang khusus di Muktamar NU.
PBNU dan MUI beberapa kali berseberangan pendapat soal fatwa.
SELEPAS rapat gabungan Rais Syuriah dan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Bogor, Jawa Barat, pada Rabu, 9 Maret lalu, Zainal Abidin mendekati Rais Am Miftachul Akhyar. Anggota Rais Syuriah PBNU itu mempertanyakan keputusan Miftachul yang mengumumkan mundur sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam persamuhan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Zainal, wara-wara itu terkesan mendadak dan mengagetkan para peserta rapat. Mendengar pertanyaan Zainal, Miftachul hanya diam. “Beliau tersenyum saja kepada saya,” kata Zainal pada Rabu, 23 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesaat sebelum pertemuan pengurus PBNU ditutup, Miftachul menyampaikan alasan mundur dari MUI. Menyitir hasil sidang ahlul halli wal’aqdi atau ahwa saat Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 23 Desember 2021, ia mengungkapkan ada usul agar Rais Am PBNU tak merangkap jabatan di organisasi lain. Miftachul didapuk menjadi Rais Am periode 2021-2026.
Kepada hadirin, pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya, ini mengatakan sami’na wa atha’na atawa kami mendengarkan dan mematuhi usul dari sidang ahwa. Miftachul menegaskan bahwa keputusannya mundur dari MUI bukan karena ada tekanan dari anggota ahwa. (Baca: Gerbong MUI yang Lepas dan Peran PBNU)
Usul tidak ada rangkap jabatan mengemuka dalam sidang ahwa yang berlangsung di tengah Muktamar PBNU di Lampung. Tujuh kiai meriung di salah satu ruangan di Gedung Olahraga Universitas Lampung yang menjadi arena muktamar. Dua anggota ahwa lain, yakni Ahmad Mustofa Bisri dan Tuan Guru Haji Turmudzi Badaruddin, hadir melalui telekonferensi video.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang memimpin sidang, mempersilakan hadirin berpendapat mengenai pemilihan Rais Am. Lantaran tak kunjung ada yang berbicara, Ma’ruf meminta Zainal, anggota ahwa termuda, urun rembuk. Membeberkan tiga alasan, Zainal mengusulkan Miftachul Akhyar dipilih kembali sebagai Rais Am.
Zainal mengatakan gagasan itu didukung oleh mayoritas peserta muktamar. Ia juga beralasan Miftachul berpengalaman memimpin PBNU karena pernah menjadi Wakil Rais Am. Miftachul lalu menjabat Rais Am menggantikan Ma’ruf, yang terpilih sebagai wakil presiden. Tak ada yang menyanggah pendapat Zainal. Ma’ruf lalu menanyakan kesediaan Miftachul atas pencalonan itu.
Setelah Miftachul menerima pencalonan itu, sidang ditutup dengan mendaraskan Al-Fatihah. Tiap anggota ahwa mengirim doa. “Ada yang mendoakan Kiai Miftachul agar diberi kekuatan memimpin NU,” ucap Zainal, yang juga menjabat Ketua MUI Palu.
Sebelum sidang ditutup, Ahmad Mustofa Bisri menyampaikan usul agar Rais Am PBNU tak merangkap jabatan di organisasi lain. Sebagaimana diceritakan Zainal, Gus Mus—sapaan Mustofa—ingin Miftachul berfokus mengurus PBNU.
Menurut Zainal, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PBNU tak melarang Rais Am merangkap jabatan. Mustofa Bisri pun tak memaksakan kehendaknya. “Tapi Kiai Miftachul sangat patuh pada ulama-ulama sepuh,” Zainal menuturkan.
Katib Am PBNU Ahmad Said Asrori membenarkan kabar bahwa Mustofa melontarkan gagasan tersebut. Pengunduran diri Miftachul juga disinggung oleh Mustofa ketika Said sowan ke Rembang, Jawa Tengah, pada 12 Januari lalu. Kepada Said, Mustofa bertanya apakah Miftachul jadi mundur dari MUI.
Sepekan kemudian, Said giliran mendampingi Miftachul menyekar ke makam para pendiri NU di Jombang, Jawa Timur. Said menyampaikan pertanyaan Gus Mus dan membahasnya bersama Miftachul seusai ziarah kubur. “Kiai Miftachul sangat mempertimbangkan saran itu,” ujar Said.
Miftachul Akhyar dan Mustofa Bisri tak menanggapi pesan konfirmasi yang dikirim ke nomor pribadi mereka hingga Sabtu, 26 Maret lalu. Adapun Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf mengatakan sikap Mustofa mengenai MUI bisa dibaca dari pernyataannya di media massa. Mustofa sebelumnya pernah mengkritik MUI sebagai organisasi tak jelas yang menerima dana negara.
Rangkap jabatan antara Rais Am PBNU dan Ketua Umum MUI sudah lama menjadi perbincangan di lingkup internal organisasi. Saifullah Yusuf mengatakan kadang terjadi perbedaan sikap antara PBNU dan MUI. Padahal petinggi PBNU memimpin organisasi para ulama dan zuama itu.
Saifullah mencontohkan, PBNU dan MUI pernah berseberangan soal fatwa. “Itu menjadi persoalan,” kata Wali Kota Pasuruan, Jawa Timur, ini. Salah satu perbedaan sikap terjadi saat pemberian fatwa vaksin Covid-19 merek AstraZeneca pada Maret 2021.
Kala itu, Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur Hasan Mutawakkil Alallah menyebutkan vaksin asal Inggris tersebut halal. Padahal MUI menyatakan AstraZeneca haram karena memanfaatkan tripsin babi. MUI belakangan menyatakan vaksin itu boleh digunakan kendati haram. (Baca: Terganjal Fatwa dari Proklamasi)
Saifullah mengatakan pengunduran diri Miftachul Akhyar adalah keputusan pribadi. Ia membantah anggapan bahwa Miftachul mundur karena hubungan PBNU dan MUI memanas. “Tidak ada friksi, tapi ada frekuensi yang kadang-kadang berbeda,” tuturnya.
Para pengurus MUI menggelar rapat pimpinan pada Selasa, 15 Maret lalu, setelah menerima warkat pengunduran diri yang dikirim Miftachul Akhyar. Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas bercerita, 37 pengurus yang hadir kompak menolak pengunduran diri tersebut.
Seorang petinggi MUI yang ikut dalam rapat virtual itu menyebutkan ulama yang tidak berasal dari NU lebih banyak berkomentar. Menurut dia, pengurus MUI menilai Miftachul berhasil mengayomi anggota yang berasal dari semua organisasi Islam. Ada juga peserta yang menilai Miftachul harus meneruskan jabatannya hingga masa tugas berakhir pada 2025.
Anwar Abbas, yang juga menjabat Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, lantas membuat surat terbuka kepada pengurus PBNU serta warga nahdliyin dan meminta kerelaan agar Miftachul tetap memimpin MUI. Ia menganggap Miftachul bisa memperkuat hubungan umat Islam. “Sampai sekarang kami masih menganggap beliau sebagai ketua umum,” kata Anwar.
Majelis Ulama Indonesia pun mencari solusi demi menengahi persoalan ini. Menurut Anwar, MUI sedang mempelajari peluang untuk menunjuk pelaksana tugas atau pelaksana harian. Skenario itu disiapkan asalkan Miftachul tetap menjabat Ketua Umum MUI hingga 2025.
Kasak-kusuk pengganti Miftachul Akhyar di MUI mengemuka. Dua narasumber yang mengetahui dinamika tersebut mengatakan nama yang muncul adalah mantan Ketua PBNU yang juga Wakil Ketua Umum MUI, Marsudi Syuhud, serta Wakil Rais Am, Anwar Iskandar dan Afifuddin Muhajir.
Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf mengklaim ada banyak nama bisa menggantikan Miftachul Akhyar. Ia menyebutkan PBNU terbuka jika Majelis Ulama Indonesia mengajak berdiskusi. Saifullah pun meminta agar keputusan tersebut dihormati. “Tidak perlu meminta Kiai Miftachul untuk kembali memimpin MUI,” ujarnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, DEWI NURITA, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo