Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Perang Tambang Nikel Blok Mandiodo

Sebelas perusahaan dituding menambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Ada perseteruan politikus dan pengusaha.

26 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PT Antam menggandeng Mabes Polri untuk menertibkan penambangan ilegal di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

  • Akbar Faizal dan Windu Aji Sutanto berseteru di tambang nikel Blok Mandiodo.

  • Mencatut nama Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo

PULUHAN truk bermuatan tanah hilir-mudik di Desa Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pada Jumat siang, 25 Maret lalu. Mereka menuju gudang berisi gundukan ore, bijih mengandung mineral, di bagian selatan desa. “Setiap hari ada pemuatan. Yang mereka angkut itu ore dari tambang nikel di bukit,” kata Effendy Gafur, seorang warga desa.

Desa Mandiodo berada di kawasan pesisir yang bersebelahan dengan perbukitan. Puluhan alat berat terlihat mengeruk tanah berwarna merah di kaki bukit. Effendy mengatakan hutan rimbun yang dulu berada di pinggir desa bersalin rupa menjadi tanah gersang sejak penambangan nikel marak sepuluh tahun lalu.

Pemandangan pantai tak kalah mengenaskan. Air laut di sekitar dermaga di sisi barat desa kini berubah kemerahan. Pada saat musim hujan, lumpur memenuhi desa hingga perkebunan sawit yang terhampar sekitar 3 kilometer dari pinggir desa. Jalan yang menghubungkan desa dengan daerah lain, Desa Tapumea dan Tapunggaya, turut tertutup lumpur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perwakilan PT Lawu Agung Mining Glen Sudarto (paling kanan) bersama kontraktor tambang PT Trimega Pasifik Indonesia, Aceng (kemeja hijau army) di Konawe Utara/Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kawasan ini dikenal dengan kawasan pertambangan nikel Blok Mandiodo. Lokasinya berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Kendari. Perjalanan darat menuju desa menjadi lebih lambat sekitar lima jam karena harus melewati jalan berlumpur sepanjang 12 kilometer.

“Bencana” ini dimulai pada 2011. Kala itu, Penjabat Bupati Konawe Utara menerbitkan izin usaha pertambangan kepada sebelas perusahaan di Blok Mandiodo. Total konsesi mencapai 2.000 hektare. Belakangan, pemberian ini memicu sengketa karena PT Aneka Tambang (Antam) mengklaim memiliki izin di Konawe Utara, termasuk Blok Mandiodo, seluas 23.133 hektare sejak 1997.

(Baca: Deforestasi Penambangan Nikel di Sulawesi Tengah)

Antam berkali-kali menggugat izin tersebut dan menang hingga putusan kasasi di Mahkamah Agung. Tapi sebelas perusahaan itu bergeming. Mereka tetap menambang dengan izin dari pejabat sebelumnya dan sertifikat clean and clear (CnC) dari pemerintah.

Tambang-tambang “ilegal” itu minim pengawasan. Akibatnya, pengelolaan limbah yang serampangan menyebabkan desa-desa di Blok Mandiodo merasakan dampak buruk setidaknya lima tahun belakangan.

Puncak sengketa ini berlangsung akhir tahun lalu. Lewat sepucuk surat, PT Antam meminta Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menertibkan izin pertambangan di Konawe Utara pada 9 September 2021. Mereka ingin memerangi tambang ilegal di sana.

PT Antam menggunakan putusan kasasi MA pada 2013 yang menyatakan izin tambang perusahaan lain ilegal. “Sepekan setelah surat itu keluar, tim berangkat ke lapangan,” tutur Direktur Tindak Pidana Tertentu Brigadir Jenderal Pipit Rismanto.

Dari hasil penelusuran, polisi menemukan empat perusahaan yang menambang di kawasan konsesi PT Antam. Mereka adalah PT Karya Murni Sejati 27, PT James & Armando Pundimas, PT Mughni Energi Bumi, dan PT Sriwijaya Raya. Selain itu, ada warga yang menambang di wilayah yang terlarang, seperti hutan.

Brigadir Jenderal Pipit mengatakan sebelas perusahaan yang menambang di Blok Mandiodo tak bisa menunjukkan izin. Ia juga mengecek perusahaan itu ke aplikasi Minerba One Data Indonesia (MODI) milik Direktorat Jenderal Mineral Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Mereka dipastikan tak terdaftar. “Jadi, kalau ada kerusakan lingkungan dan lainnya, siapa yang akan bertanggung jawab jika aktivitas mereka ilegal? Mereka tidak membayar pajak, jaminan reklamasi, dan kewajiban lainnya,” ucap Brigadir Jenderal Pipit.

Direktur Utama PT Karya Murni Sejati 27 Tri Witjaksono alias Soni membantah tudingan polisi. Ia menganggap perusahaannya memiliki dasar hukum yang sah lantaran tak ada surat keputusan Bupati Konawe Utara yang mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Karya Murni dan sepuluh perusahaan lain. “Kami sudah mengikuti mekanisme yang ada, seperti mengurus dulu perizinan” ucapnya.

Soni juga mengklaim sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada pula izin lain dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Akta perusahaan menunjukkan saham PT Karya Murni dikuasai Audy Koestyanto Siddieq, sepupu politikus Partai NasDem, Akbar Faizal. Akbar menjelaskan sudah meminta sepupunya mengurus semua izin pada 2018. “Mereka juga bayar seluruh kewajiban,” ujar Akbar.

Perwakilan PT Lawu Agung Mining Glen Sudarto (empat dari kanan) bersama kontraktor tambang PT Trimega Pasifik Indonesia, Heri (kemeja cokelat) dan Aceng (kemeja biru dua dari kanan) di Konawe Utara/Istimewa

Hingga 2021, PT Karya Murni mengklaim sudah menyetor Rp 200-400 juta per tahun ke kas negara. Mereka justru mempertanyakan IUP milik PT Antam. Laporan hasil akhir pemeriksaan Ombudsman RI pada 2020 menyatakan proses penggabungan IUP Antam diduga malaadministrasi karena penambahan luas 463 hektare yang tidak melalui proses eksplorasi sebelumnya.

Komisioner Ombudsman Hery Susanto belum bisa berkomentar ihwal hasil pemeriksaan ini. “Maaf, belum bisa memberi respons karena saya sedang bertugas di Kalimantan Timur sepekan ini,” ujar Hery.

PT Antam tak membalas surat permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 26 Maret lalu. Spesialis Relasi Media PT Antam Diana Siti Rahmawati mengatakan surat tersebut masih dibahas. “Belum ada arahan,” tutur Diana.

•••

SENGKARUT izin usaha pertambangan Blok Mandiodo mengungkap sisi lain bisnis nikel di Tanah Air. Akibat berebut IUP, dua orang sahabat, Akbar Faizal dan Windu Aji Sutanto, berseteru sejak tahun lalu.

Keduanya pernah kompak menjadi bagian tim pemenangan Joko Widodo pada pemilihan presiden 2014. “Kita gelut, bro,” demikian pesan WhatsApp Akbar Faizal kepada Windu pada Rabu malam, 23 Maret lalu.

Akbar menantang Windu berkelahi lantaran membaca status di akun WhatsApp Windu yang berbunyi “sing penting gelut. Windu langsung membalas: “Duh, ampun deh, biar rame bro.”

Percakapan panjang kemudian terjadi. Windu mempersoalkan tudingan akbar yang mengatakan ada peran Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan seorang kepala lembaga intelijen di balik PT Lawu Agung, perusahaan tambang nikel Konawe Utara.

Akbar Faizal mewakili PT Karya Murni Sejati 27. Perusahaan ini dituding menambang nikel secara ilegal. Windu menjadi bagian PT Lawu Agung Mining, perusahaan yang menjadi mitra kerja sama operasional PT Antam di Blok Mandiodo. Meski nama mereka tak tercantum di akta perusahaan, keduanya selalu menjadi perwakilan perusahaan di berbagai kesempatan.

Akbar merasa PT Lawu Agung mencaplok tambang nikel PT Karya Murni dengan menggunakan perusahaan lain. PT Lawu Agung juga dituding berada di belakang pemblokadean kawasan tambang di Konawe Utara oleh kepolisian pada September 2021. Saat itu, PT Lawu Agung juga kehilangan 200 ribu ton ore.

Awalnya, Akbar sempat mengkonfirmasi peran Windu secara langsung. Ia juga menanyakan siapa pria bernama Glen, Ofan Sofwan, dan Tan Lie Pien yang mengaku dari PT Lawu Agung. Menurut Akbar, Windu tak mengetahui siapa ketiga orang itu. “Ternyata belakangan ketahuan Windu berkomplot dengan mereka,” ucap Akbar.

Windu akhirnya menemui Akbar dan pengurus PT Karya Murni setelah mengobrol panjang lewat akun WhatsApp. Perkelahian tak pernah terjadi. Mereka hanya mengobrol sekitar tiga jam di kantor Akbar di Nagara Institute, Menteng, Jakarta Pusat. “Dia mengklaim sudah menunjukkan isi WA saya ke Kepala Polri,” tutur Akbar.

Dalam pertemuan itu, Windu meminta Akbar dan PT Karya Murni membantu PT Lawu Agung. Mereka akan diajak menjadi kontraktor pertambangan. Di pertemuan itu, Windu juga melontarkan sejumlah nama petinggi lembaga negara. Ia mengklaim para pejabat itu mendukung PT Lawu Agung di Konawe Utara.

Akbar pernah mengajak Windu berbisnis tambang pada 2015. Kala itu, Windu sudah merintis karier di tambang pasir di Bangka Belitung, dan pengolahan emas di Bandung, Jawa Barat. Tapi Windu tak kunjung merespons tawaran tersebut.

Jejak PT Lawu Agung mulai terlihat saat Kepala Dinas ESDM Sulawesi Tenggara kala itu, Andi Azis, memanggil Direktur PT Karya Murni, Soni, di Telesindo Tower, Jakarta Pusat, pada 2020. Nama gedung berubah menjadi Lawu Tower pada 2021. Akhir tahun lalu, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan Andi Azis sebagai tersangka korupsi izin pertambangan.

Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membantah jika disebut berada di belakang perusahaan tambang di Konawe Utara. Ia mengatakan polisi bergerak karena IUP kesebelas perusahaan sudah tidak berlaku lewat putusan Mahkamah Agung.

Ia mengakui penertiban tambang ilegal di Konawe Utara merupakan permintaan PT Antam. Ia menganggap negara akan makin rugi jika penambangan ilegal dibiarkan berlarut-larut. “Yang penting, jangan yang salah jadi benar, yang benar jadi salah,” ucap Sigit.

Windu Aji Sutanto didampingi Glen menceritakan aktivitas PT Lawu Agung di Konawe Utara. Ia juga menceritakan Akbar Faizal. Namun Windu meminta percakapan tersebut tidak dikutip.

Windu Aji Sutanto di Brebes Desember 2018/facebook.com/ Dinas Kominfotik Brebes

Anggota tim legal PT Lawu Agung Mining, Salomo R. Damanik, mengakui perusahaannya pernah bertemu direksi PT Karya Murni. PT Lawu mengklaim tidak mengetahui persoalan tumpang-tindih lahan sehingga tak bisa menjawab pertanyaan dan mendengarkan penjelasan Soni, Direktur Utama PT Karya Murni. “Bapak Soni memberi satu bundel data ke kami dengan ketebalan 300 halaman, yang kami kembalikan atas permintaan Pak Soni ke alamat Nagara Institute,” ucap Salomo.

Salomo juga membantah kabar bahwa PT Lawu Agung pernah menawari PT Karya Murni sebagai kontraktor di tambang nikel Blok Mandiodo. Ia juga membantah dugaan bahwa ada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan pejabat lain di belakang PT Lawu Agung. “Semuanya itu tidak benar,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Riky Ferdianto dari Jakarta, Budhy Nurgianto dari Konawe Utara dan Rosniawanti Fikry dari Kendari berkontribusi untuk penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perang Tambang Blok Mandiodo"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus