Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mimpi Tak Pasti di Mangkupadi

Kawasan Industri Hijau Indonesia terus digadang-gadang bakal mendatangkan investasi jumbo. Kemajuan proyek baru sebatas janji.

26 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia masih berkutat di masalah pembebasan lahan..

  • Megaproyek dipenuhi ketidakpastian realisasi janji investasi.

TIGA bulan berlalu, sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada 21 Desember 2021, proyek pembangunan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, belum juga masuk ke tahap konstruksi. Keriuhan di area lokasi proyek masih sama, berkutat di urusan pembebasan lahan milik warga Desa Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas. “Pembebasan lahan masyarakat baru berjalan beberapa persen,” kata Yanto, Kepala Urusan Tata Usaha dan Umum Desa Mangkupadi, Jumat, 25 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembebasan lahan masyarakat sebenarnya telah dimulai pada Oktober 2021 oleh PT Kawasan Industri Kalimantan Indonesia, perusahaan afiliasi PT Kalimantan Industrial Park Indonesia, pengembang kawasan. Kelompok pengembang ini dimotori PT Adaro Energy Indonesia Tbk. Mereka kudu menebus lahan masyarakat agar luas area proyek kelak bisa mencapai 30 ribu hektare, dari yang saat ini telah tersedia sekitar 16 ribu hektare—menjadikan kawasan tersebut kandidat kompleks industri ramah lingkungan terbesar di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramah lingkungan atau konsep hijau yang dimaksud, setidaknya sampai saat ini, bisa dibaca dari janji pengembang untuk menyediakan pasokan listrik sepenuhnya dari sumber energi baru dan terbarukan. Gara-gara ini pula sebenarnya luas kawasan industri juga harus jumbo.

Kalimantan Utara memang menyimpan potensi tenaga air cukup besar, ditaksir mencapai 21,95 gigawatt. Namun biaya investasi yang dibutuhkan tak murah. Selain sarana infrastruktur yang masih belum sepenuhnya mendukung, pembangunan pembangkit baru sebenarnya tak mungkin diharapkan bisa dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang sedang kelebihan pasokan daya, termasuk di Kalimantan.

Proses pengolahan nikel di salah satu smelter di Indonesia Morowali Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Agustus 2018. Maritim.go.id

Menurut Yanto, sejauh ini proses pembebasan lahan yang hampir terlaksana penuh hingga pembayaran adalah untuk tanah seluas 50 hektare di belakang perkampungan. Lahan ini rencananya dijadikan lokasi kota baru. Sedangkan warga desa yang tanahnya akan dijadikan lahan utama kawasan industri, ucap dia, baru segelintir yang menyepakati tawaran perusahaan senilai Rp 50 juta per hektare. “Masalah utamanya di harga yang belum cocok,” ujar Yanto, yang juga menyinggung belum adanya kepastian rencana relokasi bagi masyarakat.

Tiga bulan terakhir, rencana proyek KIHI memang simpang-siur. Februari lalu, misalnya, kabar tentang rencana masuknya alat berat ke lokasi proyek beredar di masyarakat. “Terus terang belum ada apa-apa,” tutur Yanto. Dan kini kabar baru kembali berembus. Presiden Jokowi disebut-sebut bakal kembali datang ke Mangkupadi pada April nanti. “Apa maksudnya alat berat akan turun bersamaan? Bingung juga.”

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bulungan Iwan Sugiyanta mendengar informasi yang sama. “Kabarnya semacam itu,” kata Iwan ketika dihubungi pada Sabtu, 26 Maret lalu. “Tapi detail rencana pembangunan lebih diketahui investor.”

Pengadaan lahan dan rencana relokasi warga yang akan terkena dampak proyek bukan satu-satunya persoalan yang dipantau perangkat pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten Bulungan juga masih mendata aset milik daerah. Investor, Iwan menjelaskan, berkomitmen memindahkan aset pemerintah, seperti bangunan sekolah. “Pendataan masih berjalan. Koordinasi dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi juga intens,” ujar Iwan.

Juru bicara PT Adaro Energy Indonesia Tbk, Febriati Nadira, tak menjawab pertanyaan Tempo tentang perkembangan rencana pembangunan KIHI. Begitu pula pertanyaan tentang calon mitra pengguna kawasan industri yang juga akan menanamkan modalnya dalam proyek KIHI. “Proses pengembangan kawasan hijau ini dilakukan secara B to B antara PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) dan para pihak calon tenant,” ucapnya dalam pernyataan tertulis pada Jumat, 18 Maret lalu. Dia memastikan pengembangan kawasan industri ini tak melibatkan anggaran negara. “Pemerintah mendukung dalam hal perizinan.”

Menurut Ira—panggilan Febriati Nadira—keikutsertaan Adaro dalam KIHI sejalan dengan komitmen perseroan untuk memulai transformasi bisnis melalui green initiative jangka panjang. Dia mencontohkan, Adaro akan membangun smelter aluminium di kawasan ini untuk mendukung program penghiliran industri.

“Adaro berharap dapat membantu mengurangi impor aluminium, memberikan proses dan nilai tambah terhadap alumina, serta meningkatkan penerimaan pajak negara,” ujarnya. “Adaro juga berharap keberadaan industri aluminium di Kalimantan Utara ini dapat mendatangkan banyak investasi lanjutan dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.”

•••

ADARO Energy selama ini memang lebih dikenal sebagai produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia, di bawah posisi PT Kaltim Prima Coal—bagian dari kelompok usaha PT Bumi Resources Tbk. Merujuk pada laporan triwulanan perusahaan yang dirilis Februari lalu, produksi batu bara Adaro sepanjang 2021 mencapai 52,7 juta ton, turun 3 persen dibanding pada 2020. Adapun penjualan batu bara Adaro tahun lalu 51,8 juta ton, merosot 4 persen.

Kendati dalam tren penurunan, produksi dan penjualan batu bara Grup Adaro ditargetkan meningkat pada 2022, yakni di kisaran 58-60 juta ton. Perseroan menyiapkan belanja modal sebesar US$ 300-450 juta atau paling sedikit Rp 4,3 triliun untuk menyokong upaya mencapai target tersebut.

Laporan itu juga menyebutkan komitmen perseroan berinvestasi pada smelter aluminium di Kawasan Industri Hijau Indonesia. Rencana ini akan ditukangi oleh anak usaha, PT Adaro Indo Aluminium. Perseroan akan menggandeng mitra domestik dan internasional untuk menggarapnya. Proyek ini, disebutkan dalam laporan itu, menandai langkah pertama perusahaan dalam membangun model bisnis yang lebih seimbang. “Industri ramah lingkungan merupakan salah satu bidang yang ingin dikembangkan perusahaan secara lebih besar.”

Sebelumnya, bersamaan dengan peluncuran proyek KIHI, Adaro Energy meneken surat pernyataan maksud investasi sebesar US$ 728 juta atau senilai Rp 10,4 triliun untuk membangun smelter aluminium itu. Yang belum terang adalah siapa calon mitra yang akan digandeng Adaro untuk berbagi kompetensi, juga pendanaan sebesar itu, untuk pembangunan smelter. Lalu bagaimana dengan calon investor untuk pengembangan KIHI yang diperkirakan membutuhkan investasi sebesar US$ 132 miliar atau senilai Rp 1.887 triliun?

Sungai Kayan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Noorjannah Untuk Tempo

Pertanyaan itu tak terang jawabannya, kendati pemerintah terus menyatakan banyak calon investor yang tertarik ikut dalam pengembangan KIHI. Jauh-jauh hari, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah menyebutkan ketertarikan Fortescue Futures Industries Pty Ltd asal Australia dan Tsingshan Holding Group asal Cina.

Menteri Luhut juga memberi sedikit bocoran tentang adanya rencana investasi pembangunan pabrik petrokimia di KIHI. Tanpa menyebutkan detail calon investor, Luhut mengatakan industri petrokimia itu akan datang bersama investasi senilai US$ 56 miliar atau sekitar Rp 800 triliun. "Kita akan memiliki the largest petrochemical di dunia," kata Luhut dalam “Grand Launching Proyek Investasi Berkelanjutan” di Jakarta, Kamis, 17 Maret lalu.

Sepekan kemudian, dalam acara “Business Matching Belanja Produk Dalam Negeri” di Nusa Dua, Bali, Kamis, 24 Maret lalu, Menteri Luhut kembali menebar harapan. Kali ini Arab Saudi juga disebut tertarik berinvestasi di KIHI. Minat ini ia dengar langsung ketika bertemu dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammad bin Salman di Riyadh pada awal Maret lalu.

•••

KONSEP pengembangan kawasan industri di Kalimantan Utara sejak awal hendak mengulang dua proyek yang lebih dulu terbangun, Asahan di Sumatera Utara dan Morowali di Sulawesi Tengah. Proyek Asahan, yang diinisiasi pemerintah RI dan Jepang pada 1970-an, dianggap sukses mengintegrasikan pemanfaatan potensi tenaga air di Sungai Asahan sekaligus pengembangan industri penyerap listrik lewat pendirian PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)—kini lebih dikenal sebagai Mind Id

Pola serupa awalnya hendak diterapkan dalam rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Mamberamo di Kabupaten Sarmi, Papua. Proyek ini digagas sejak 1995 oleh Bacharuddin Jusuf Habibie, yang saat itu menjabat Menteri Riset dan Teknologi sekaligus Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Potensi tenaga air Sungai Mamberamo ditaksir mencapai 24 gigawatt, lebih besar dibanding potensi semua sungai di Kalimantan Utara yang diperkirakan sebesar 21,95 gigawatt. 

Belum sempat mengeksekusi, Orde Baru keburu tumbang. Proyek PLTA Mamberamo sempat muncul lagi dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi rencana ini pun berantakan gara-gara jadi ladang korupsi yang menyeret mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, ke penjara. 

Peneliti BPPT, Agus Sugiono, menuturkan, gagasan Habibie dulu tak hanya ingin meniru proyek Asahan, tapi juga melahirkan satu lagi unit pengolahan Inalum di Papua. Posisi geografis Bumi Cenderawasih dianggap potensial karena lebih dekat dengan Australia yang menjadi sumber bauksit, bahan baku alumina. Papua juga lebih dekat dengan Jepang, pasar ekspor aluminium Inalum. “Dulu belum ada smelter dan pengembangan bauksit di Kalimantan. Jadi potensi Kayan dan sungai lainnya di Kalimantan tak terdeteksi,” ucap Agus di ruang kerjanya di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Tangerang Selatan, Banten, Kamis, 24 Maret lalu.

Agus satu-satunya peneliti PLTA Mamberamo yang masih hidup dari tiga peneliti yang pernah mendalami sungai besar tersebut. Dokumen prastudi kelayakan PLTA Mamberamo, kata dia, masih tersimpan di BPPT.

Lama tanpa kabar, pada November 2021 PLTA Mamberamo disebut lagi oleh Presiden Joko Widodo sebagai prioritas utama pengembangan energi baru dan terbarukan, bersama PLTA Kayan. Konsepnya tetap, listrik dihasilkan untuk kawasan industri baru.

Namun pengembangan di Kalimantan Utara lebih cepat. Inalum bahkan lebih dulu berniat membangun kluster aluminium di KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi, kawasan industri seluas 10 ribu hektare yang digagas pemerintah daerah, dengan meneken nota kesepahaman bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara pada awal Juni 2017.

Inalum tertarik memanfaatkan potensi listrik Sungai Kayan yang diperkirakan mencapai 13 gigawatt untuk menghidupi pabriknya yang rakus setrum. Sebelum meneken perjanjian, Gubernur Kalimantan Utara saat itu, Irianto Lambrie, terbang ke Sumatera Utara untuk melihat PLTA Siguragura yang dikelola Inalum.

Adapun proyek Morowali dijadikan contoh dari aspek pengembangan secara bersama-sama oleh para penghuni kompleks. Berniat mendorong pembangunan KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi, Gubernur Kalimantan Utara Zainal A. Paliwang—pengganti Irianto Lambrie—mengunjungi kompleks seluas 2.000 hektare yang dikelola PT Indonesia Morowali Industrial Park tersebut pada 9 September 2021.

Di sana, Zainal melihat bagaimana kawasan industri dibangun oleh sejumlah perusahaan Cina, dari pembangkit tenaga uap batu bara untuk menopang kebutuhan listrik, pelabuhan besar untuk perdagangan, hingga bandar udara. Tsingshan Holding, yang belakangan disebut berminat masuk ke proyek KIHI, berada di belakang pengembangan Kawasan Industri Morowali.

Kala itu, Zainal masih optimistis KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah Kalimantan Utara bisa terlaksana dan segera diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Maklum, pemerintah Kalimantan Utara telah mengantongi nama 10 perusahaan yang berminat mengembangkan kawasan tersebut.

Peresmian memang terlaksana. Tapi nama KIPI Tanah Kuning-Mangkupadi kini terkubur. Yang tersisa adalah Kawasan Industri Hijau Indonesia, merek baru dengan kebutuhan lahan dan investasi jauh lebih besar. Entah bagaimana realisasinya.

AISHA SHAIDRA, KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus