Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kebut-kebutan di Jalur Virtual

Ada yang bisa merasakan sensasi bersepeda di jalur terkenal, seperti Tour de France, lewat aplikasi sepeda virtual. Ada pula yang bisa kebut-kebutan dengan pesepeda lain. 

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ismail Fahmi saat bersepeda menggunakan Virtual Reality (VR) dan aplikasi VZFit di kediamannya di Jakarta, Kamis 15 Juli 2021. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Cukup banyak aplikasi yang tersedia bagi pesepeda, dari Strava, MapMyRun, Endomondo, Nike+ and Google Fit, Runkeeper, Runtastic, hingga Zwift.

  • Tiap aplikasi punya kegunaan berbeda. Ada yang digunakan untuk mengukur jarak, kecepatan, dan ketinggian. Ada juga yang menciptakan iklim gowes sesungguhnya meski hanya berada di dalam rumah.

  • Salah satu aplikasi yang sangat populer di kalangan pegowes adalah Strava, aplikasi buatan perusahaan Strava Inc yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, yang dirilis pada 2009.

KEJADIAN buruk pada akhir September 2020 itu tak akan dilupakan Ismail Fahmi. Saat asyik mengayuh road bike dari rumahnya menuju mal FX Sudirman di Senayan, di perempatan Blok M, Jakarta Selatan, tiba-tiba sebuah sepeda motor mendekat dan pengendaranya merebut telepon seluler yang ia taruh di setang sepeda. Ahli analisis media sosial dan pendiri Drone Emprit itu terjatuh dan terpaksa pulang menumpang taksi karena mengalami sejumlah luka dan sepedanya juga rusak meski minor.

Pengalaman itu membuat Ismail trauma sehingga ia mencari alternatif bersepeda yang aman dan tetap menyehatkan. Setelah membaca sejumlah artikel di Internet, dia menemukan VZFit, aplikasi sepeda virtual yang dibuat oleh perusahaan Amerika Serikat, VirZoom Inc, pada 2015. Dengan mengenakan perangkat realitas virtual (VR) Oculus dan sepeda yang dibuat statis, ia pun bisa bersepeda secara virtual. “Aplikasi ini membuat saya lebih sehat. Tidak kena polusi Jakarta yang tinggi atau kemungkinan kecelakaan,” tuturnya, Sabtu, 3 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain VZFit, cukup banyak aplikasi yang tersedia bagi pesepeda, dari Strava, MapMyRun, Endomondo, Nike+ and Google Fit, Runkeeper, Runtastic, hingga Zwift. Setiap aplikasi punya kegunaan berbeda. Ada yang digunakan untuk mengukur jarak, kecepatan, dan ketinggian. Ada juga yang menciptakan iklim gowes sesungguhnya meski penggunanya hanya berada di dalam rumah. “Semua aplikasi itu menjadi alternatif bagus. Membuat orang bisa bersepeda tapi tetap aman, terutama di masa pandemi,” ujar Kelly Tandiono, model sekaligus aktris yang juga pesepeda, Selasa, 13 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu aplikasi sepeda virtual yang populer di kalangan pegowes adalah Strava, buatan perusahaan Strava Inc yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, rilisan 2009. Menurut artikel Guardian yang terbit pada Januari 2020, Strava telah diunduh lebih dari 49 juta orang di 195 negara. Perusahaan itu mengklaim telah menarik satu juta pengguna baru setiap bulan. Seperti Strava, sejumlah aplikasi lain juga mengklaim memiliki jumlah pemakai lebih banyak. Sebagian besar menawarkan beberapa fitur pelacakan, perekaman, dan fungsi sosialisasi.

Dedy Suherman, warga Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, adalah salah satu pengguna Strava. Pengusaha yang bergerak dalam bidang ekspor-impor ini mulai bersepeda pada 2014. Awalnya, ia menggunakan sepeda gunung untuk menikmati jalan yang menanjak dan menurun serta blusukan ke kampung. Saat itu dia tak terlalu peduli berapa jauh dia mengayuh sepedanya. Ketika sudah mulai beralih ke road bike pada 2017, dan menggowes di jalan raya, barulah ia mulai memikirkan jarak tempuh dan kecepatannya.

Sejak saat itu, Dedy juga mulai punya orientasi memperoleh kesehatan dari hobi gowesnya. Untuk itu, dia perlu tahu kalori yang sudah dibakar, jarak yang ditempuh, dan informasi vital lain. Kebutuhan itulah yang membuatnya tertarik pada Strava. Ia pun mengunduh aplikasinya dan membeli perangkat global positioning system Garmin eTrex 30. “Alat itu yang merekam catatan waktu, kalori, dan kemudian dihubungkan ke Strava,” tuturnya. Setelah itu, ia bisa berbagi pengalaman gowesnya dan mendapatkan hal yang sama dari koleganya dari aplikasi tersebut.

Menurut Presiden Brompton Owner Group Indonesia (BOGI) Baron Martanegara, Strava merupakan aplikasi yang jamak dipakai oleh para pesepeda, termasuk anggota komunitas Brompton. “Mereka yang gowesnya benar serius dan jauh, dia akan pakai Strava,” katanya, Selasa, 13 Juli lalu. “Manfaat lain dari pemakaian Strava adalah jika ingin tahu rute baru yang sudah dilalui oleh pemakai lainnya,” dia menambahkan.

Menurut Kelly, manfaat penting aplikasi Strava dan pelacak GPS Garmin adalah asupan informasi dari aktivitas olahraga yang dilakukannya. “Karena alat dan aplikasi itu memberi statistik jarak tempuh, lintasan, detak jantung, dan sebagainya,” tuturnya. Ia juga mengaku jadi tahu latihan yang dilakukan oleh pengguna aplikasi lain, termasuk dari atlet profesional. Strava menyebut aplikasinya sebagai “media sosial para atlet”.

Mereka yang bersepeda, atau melakukan latihan dan mencoba jalur baru, dapat merekam aktivitasnya dan kemudian memasukkannya ke Strava. Informasi itu bisa diketahui oleh semua pengguna lain. Aplikasi itu juga menghubungkan pesepeda dari berbagai negara melalui forum yang disediakan. “Bisa membangun relasi dengan banyak orang, termasuk dengan pembalap kelas dunia, karena masuk ke media sosial,” kata Dedy.

Dedy Suherman saat di Km Nol Bojongkoneng, Bogor, 26 Juni 2021. Dok. Pribadi

Baron menambahkan, manfaat lain Strava adalah memfasilitasi kegiatan komunitas pesepeda, terutama di masa pandemi ini. Setelah banyak kompetisi dibatalkan atau ditunda, mereka bisa melakoni turnamen virtual dengan memanfaatkan aplikasi ini. Komunitas BOGI juga membuat sejumlah tantangan bersepeda dengan jarak tertentu, misalnya 1.000 kilometer, bagi anggotanya. “Sekarang banyak komunitas mengadakan virtual event. Pasti pakai Strava,” ucap Baron. Dengan aplikasi sepeda virtual itu, mereka bisa gowes sendiri-sendiri saat mengikuti kompetisi.

Selain Strava, aplikasi lain yang cukup diminati adalah Zwift. Menurut Dedy, fitur unggulan Zwift adalah fasilitas pelatih pintar. Aplikasi ini bisa beroperasi di berbagai peranti keras. Dedy menggunakan sepeda statis merek Wahoo. Untuk menampilkan suasana jalur yang ditempuh, pengguna bisa memanfaatkan televisi pintar (smart TV) atau laptop. “Kita bisa mengimajinasikan gowes di alam terbuka,” ucapnya. Sensasi jalur yang naik dan turun juga bisa dirasakan langsung oleh pengguna.

Aplikasi yang dipakai Ismail juga sama-sama virtual seperti Zwift, tapi terasa lebih riil karena menggunakan perangkat virtual reality atau VR (realitas virtual). Dia mengkoneksikan VR Oculus dengan sepeda yang dibuat statis serta aplikasi itu melalui Bluetooth. Dengan aplikasi ini, Ismail bisa bersepeda secara virtual ke mana saja di dunia. “Saya paling suka rute Tour de France. Pemandangannya bagus. Tour de Singkarak juga saya suka,” ujarnya.

Dedy melihat pemanfaatan aplikasi Zwift itu bisa menjadi pilihan bila tidak memungkinkan gowes ke luar rumah karena sejumlah alasan. “Entah karena keterbatasan waktu. Atau karena pandemi yang tak boleh menciptakan kerumunan,” tuturnya. Dengan aplikasi ini, Dedy mengaku bisa gowes di sela-sela bekerja atau setelah jam kerja. Ia biasa menggowes Zwift setelah menunaikan salat isya.

Tenaga yang dikeluarkan saat gowes virtual, menurut Dedy, juga berbeda dengan ketika bersepeda langsung di luar ruangan. Meski sama-sama menempuh jarak 10 kilometer, tetap lebih berat saat dia memakai aplikasi pelatih pintar. “Di smart trainer itu kita itu mau enggak mau gowes terus sepanjang 10 kilometer. Kalau di luar ruang, riilnya bisa kurang karena ada jalan yang menurun, misalnya,” ujarnya.

Ismail mengaku merasakan sensasi yang tinggi saat gowes virtual dengan VZFit. “Saya tidak perlu berhenti di lampu merah. Enggak bakal tabrakan seperti kalau gowes di luar,” ucapnya, lalu tertawa. Bersepedanya juga efektif. Kalau ditargetkan dua jam, sepanjang itulah kenyataannya. Hal menyenangkan lain: ia masih bisa tetap melakoni hobinya itu di tengah pandemi karena kerap bekerja sampai larut malam. Dengan aplikasi itu, ia bisa gowes kapan saja.

Masing-masing punya sensasi sendiri soal bersepeda, termasuk saat memakai aplikasi sepeda virtual. Bagi Baron, menggunakan Zwift bisa menjadi selingan. “Biar tidak bosan. Itu kan kayak main game,” katanya. Kelly juga pernah menggunakan Zwift untuk gowes bareng. “Tapi aku tidak terlalu suka. Lebih suka di gym atau (bersepeda) outdoor sungguhan. Senang melihat pemandangan dan lebih riil. Juga bisa bersama komunitas buat ketemu dan ngebut bareng,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus