Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Oasis di Atas Dua Roda

Pandemi Coronavirus Disease 2019 alias Covid-19 memantik demam sepeda di Indonesia. Tren gowes, yang pada tahun-tahun sebelumnya muncul secara sporadis dan spesifik dalam kelompok penggila sepeda dan komunitas, kini merebak hampir di semua kalangan masyarakat. Kebutuhan untuk hidup sehat dan bugar, ditambah keinginan melepas penat dari aktivitas yang melulu di dalam rumah, membuat masyarakat melampiaskan hasratnya dengan bersepeda. Aktivitas gowes tidak hanya marak di perkotaan, juga banyak terlihat di perdesaan. Tren sepeda menyuguhkan beragam sisi, dari perkara hobi, kompetisi, hingga urusan hidup-mati karena rezeki. Gowes pun menggeliatkan wisata sepeda dan peluang usaha.

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pesepeda melintasi Jalan Layang Non-Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang, Jakarta, 23 Mei 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARON Martanegara seperti tak dapat dipisahkan dari sepeda. Ketika menjalani isolasi mandiri karena terpapar Covid-19 pada akhir Juni lalu, pendiri dan ketua komunitas Brompton Owners Group Indonesia ini bahkan terus mengayuh sepeda lipatnya. Di atas roller trainer di salah satu sudut rumahnya, Baron, yang mengalami gejala ringan, menggowes sepedanya selama 15 menit per hari selama sepuluh hari. “Yang penting olahraga. Kalau kebanyakan, capek, imun kita malah jadi turun,” kata Baron, 48 tahun, melalui konferensi video dengan Tempo, Rabu, 14 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begitu dinyatakan negatif dari infeksi virus corona, Baron langsung menunggang sepeda lipatnya menuju Curug Kembar, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdua dengan istrinya, ia menempuh jarak 60 kilometer pergi-pulang dari rumahnya, termasuk rute menanjak hingga ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Sejak sembuh dari Covid-19, ia telah dua kali gowes ke Sentul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Baron, yang telah menggeluti sepeda lipat sejak 2007, tren bersepeda yang kembali marak selama masa pandemi tak akan mudah surut. Apalagi alat transportasi publik seperti kereta rel listrik dan moda raya terpadu sudah memperbanyak fasilitas untuk pesepeda. Sepeda tak lagi sebatas sarana olahraga dan alat transportasi. “Sepeda lebih ke lifestyle, ujar Baron, yang pertama kali memperkenalkan sepeda Brompton hingga populer di Indonesia pada 2009.

BARON Martanegara saat mengunjungi pabrik sepeda merk Brompton di London, Inggris, September 2019. Dokumentasi Pribadi

Kegandrungan pada jenis sepeda tertentu ikut mewarnai geliat tren gowes di Tanah Air. Kegilaan pada sepeda balap atau road bike, misalnya, terlihat dari kisah Marika Nurmagitta, seorang pekerja kantoran di Jakarta, yang rela mengeluarkan duit hingga ratusan juta rupiah untuk mendapatkan sepeda yang bisa dikayuh hingga ratusan kilometer sekali jalan itu. Sementara orang lain umumnya capek bersepeda jarak jauh, Marika justru merasa badannya lemas, sulit berkonsentrasi, dan cepat mengantuk ketika absen mengayuh sepeda. Keseruan bersepeda telah membuatnya seperti ketagihan. Para penggemar road bike seperti Marika berlatih sangat serius seperti halnya atlet balap sepeda.

Kecintaan pada dunia sepeda juga mendorong Azrul Ananda, pencetus sepeda merek lokal Wdnsdy, menjelajahi berbagai negara demi mencicipi ajang bersepeda kelas dunia. Bersama rekannya yang juga penggila sepeda, John Boemihardjo, Azrul menjajal rute Tour de France, Giro d’Italia, Vuelta a España, hingga jalur kondang pesepeda yang penuh bebatuan di Belgia. Di sisi lain, bisnis sepedanya laris manis.

Model dan aktris Kelly Tandiono, 34 tahun, juga gandrung pada road bike. Selain bersepeda di sela aktivitas sehari-hari, Kelly kerap gowes hingga ke luar kota. Pada Senin, 28 Juni lalu, misalnya, ia bersepeda di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. 

Kelly Tandiono mengangkat road bikenya. Dokumentasi @bhube_

Kelly menggeluti hobi bersepeda sejak 2014, ketika tren gowes belum meledak. Saat itu ia sedang bersiap menjajal triatlon. Kelly, yang sebelumnya sering mengikuti lomba lari 5K, 10K, 21K, hingga maraton, mencari aktivitas olahraga yang lebih menantang. Pertemuannya dengan komunitas Triathlon Buddies membuatnya rutin bersepeda sebagai bagian dari triatlon. “Dari sana aku jadi ketagihan sampai sekarang,” ucapnya, Selasa, 13 Juli lalu.

Pembaca, di tengah demam gowes yang terjadi selama masa pandemi ini, dan bertepatan dengan Hari Sepeda Sedunia yang diperingati setiap 3 Juni, Tempo menyajikan laporan khusus tentang sepeda. Setelah serangkaian diskusi panjang di lingkup internal redaksi dan dengan narasumber pegiat sepeda, kami memutuskan untuk memotret aktivitas bersepeda sebagai gaya hidup masyarakat urban. Kami berfokus pada tiga kisah utama, yaitu ngetrennya bersepeda road bike, wisata sepeda, dan peluang bisnis dari sepeda. Kami juga mengangkat cerita unik seputar sisi lain kegilaan pada sepeda, di antaranya tentang para kolektor sepeda.

Mencuatnya tren bersepeda tak bisa dilepaskan dari kebutuhan masyarakat untuk hidup sehat secara aman. Ketika pagebluk merebak pada Maret tahun lalu, jumlah orang yang berolahraga dengan sepeda terus bertambah. Olahraga ini digemari karena banyak yang beranggapan tidak perlu berdekatan dengan orang lain saat bersepeda.

Warga bersepeda di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, 1 November 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Perihal tren gowes ini tampak dari makin banyaknya jumlah pesepeda. Menurut Institute for Transportation and Development Policy, organisasi nirlaba yang mengadvokasi transportasi berkelanjutan, jumlah pesepeda di beberapa titik pada pagi hari meningkat sepuluh kali lipat selama masa pandemi. Purwanto Setiadi dari divisi komunikasi dan informasi komunitas pesepeda, Bike to Work Indonesia, mengatakan tren serupa terlihat di pasar penjualan sepeda. “Mencari sepeda susah, stok langka, terutama sepeda tertentu yang banyak dicari orang, seperti seli (sepeda lipat). Itu juga terjadi di pasar second, harganya naik berkali lipat dan orang bisa memasang harga sesukanya," katanya, 18 Februari lalu.

Seiring dengan perkembangannya, sepeda menjelma tidak hanya sebagai sarana olahraga dan melepas penat. Bagi mereka yang telah lama menggeluti olahraga bersepeda seperti Baron Martanegara dan Kelly Tandiono, ada atau tidak ada pandemi, gowes adalah rutinitas karena bersepeda telah menjadi bagian dari gaya hidup. 

Pesepeda menjajal gundukan tanah di lintasan sepeda pump track yang ada di Kalimalang, Jakarta, 8 November 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Geliat gowes juga memunculkan ceruk usaha baru. Bagi para fotografer yang terkena dampak sepinya acara olahraga, misalnya, tren bersepeda menjadi ladang baru untuk berburu cuan, bahkan menyambung hidup. Munculnya komunitas fotografi sepeda, seperti Dalkotloop Grapher dan Binloop Grapher, telah mengubah jalan hidup mereka yang tidak lagi bisa mendapat rezeki dari pekerjaan lama.

Pandemi Covid-19 memang berdampak pada berbagai sendi kehidupan masyarakat. Sepinya kedatangan turis mancanegara akibat pembatasan akses masuk telah memukul sektor pariwisata, seperti di Bali dan Yogyakarta. Para pelaku bisnis wisata bersepeda salah satu yang merasakan langsung imbasnya. Nyaris berada di tubir kebangkrutan, mereka akhirnya bisa bertahan hidup setelah mengalihkan target pasarnya ke turis domestik serta membuat rute bersepeda jarak jauh.

Pandemi pula yang membatalkan rencana Baron menggelar tur ke pabrik Brompton di London tahun lalu. Padahal ia sudah menggaet 35 penggemar Brompton yang masing-masing membayar Rp 35 juta untuk sepuluh hari tur. Angannya bersepeda sambil ngetrip di tiga kota di Jepang juga kandas.

Bike Messenger saat mengantarkan paket kepada pelanggan di kawasan Kemayoran, Jakarta, 16 Juli 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Ketika banyak lomba balap sepeda yang batal digelar karena pandemi, bersepeda dengan aplikasi muncul sebagai fenomena baru. Selain digunakan untuk gowes perorangan, aplikasi seperti Strava banyak dipakai dalam kompetisi balap sepeda virtual, seperti lomba yang rencananya digelar Tempo pada 31 Juli-29 Agustus nanti.

Mengingat luasnya cakupan pemberitaan tentang sepeda, kami tak memungkiri kisah-kisah yang diangkat dalam laporan khusus ini tidak mewakili gambaran semua pesepeda dan komunitas gowes di Indonesia. Bisa jadi di luar sana terdapat kisah yang lebih menarik dan luput dari perhatian kami. Bagaimanapun, bersepeda adalah pengalaman yang bersifat personal.

Sepeda Wdnsdy yang dipajang di Galeri Wdnsdy Surabaya Town Square, Jawa Timur, 1 Juli 2021. TEMPO/ Kukuh S. Wibowo

Tren sepeda dan meruyaknya komunitas pesepeda, menurut Purwanto Setiadi, kurang diimbangi dengan kampanye sepeda sebagai alat transportasi. Padahal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun lalu telah memiliki program mengintegrasikan sepeda ke sistem transportasi kota. Program itu dimulai dengan pembuatan lajur sepeda sepanjang 63 kilometer. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan mengungkapkan, idealnya Jakarta memiliki jalur sepeda sepanjang 546 kilometer.


Tim Laporan Khusus Sepeda 2021

Penanggung jawab:
Sapto Yunus

Kepala proyek:
Mahardika Satria Hadi, Gabriel Wahyu Titiyoga

Penulis:
Abdul Manan, Gabriel Wahyu Titiyoga, Isma Savitri, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah

Kontributor:
Anwar Siswadi (Bandung), Kukuh Tri Wibowo (Surabaya), Shinta Maharani, Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Made Argawa (Bali), Rommy Roosyana (Tasikmalaya), Jati Mahatmaji (Jakarta), Dheayu Jihan (Jakarta)

Penyunting:
Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Iwan Kurniawan, Nurdin Kalim, Sapto Yunus

Penyunting bahasa:
Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian

Fotografer dan periset foto:
Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih, Nurdiansah, Hilman Fathurahman, Taufan Rengganis, Prima Mulia

Digital:
Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus