Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Keliling Desa dengan Kereta Angin

Layanan tur sepeda sudah lama bereksistensi. Ada yang menawarkan wisata sepeda menjelajah jalan-jalan desa dan persawahan. Ada yang mempromosikan aktivitas bersama warga sekitar. Namun bisnis tersebut anjlok sejak pandemi Covid-19 merebak. Penyedia layanan tur sampai menjual sepeda mereka lantaran sepi peminat. Tren hobi bersepeda jarak jauh membuka peluang bisnis baru.

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandemi membuat bisnis tur sepeda lesu.

  • Tur perdana ke pabrik sepeda lipat Brompton terpaksa ditunda karena pagebluk.

  • Tren baru bersepeda road bike membuat sejumlah orang kecipratan rezeki.

MELIHAT deretan sepeda ontel di depannya, Darel Achmad Eka Putra waswas. Ia tak yakin sepeda yang terparkir di depan pendapa rumah pemandu wisatanya itu bakal pas dengan badannya yang tambun. “Ada sepeda untuk seukuran saya tidak ya, Mas?” kata anggota staf pemasaran perusahaan media di Yogyakarta itu kepada Muntowil, pemandu yang akan membawanya tur dengan sepeda, Ahad pagi, 27 Juni lalu.

Muntowil, 47 tahun, yang sedang memompa ban menunjukkan koleksi sepedanya yang lain di halaman rumahnya. Ada sepeda jadul (jaman dulu) merek Phoenix, Humber, Gazelle, Raleigh, dan banyak lagi. "Silakan dipilih," kata pengelola jasa wisata sepeda Towilfiets itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak jauh dari mereka, Rosa Kusuma Dewi Azhar menjajal salah satu kereta angin yang semula terparkir di depan rumah Towil di Dusun Bantar Wetan, Desa Banguncipto, Kapanewon (Kecamatan) Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersebut. Ia menelusuri jalan beraspal. Tapi baru beberapa meter mengayuh, ia kembali. Rosa rupanya kurang sreg lantaran kakinya tak bisa menapak sempurna di pedal sepeda. "Ini ketinggian," ucap dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.

Towil menggantinya dengan sepeda jenis minion buatan Jepang tahun 1980-an. Sadel sepedanya lebih rendah dari sepeda sebelumnya, sesuai dengan panjang kaki Rosa. Ia langsung merasa cocok dan kembali mengitari jalan depan rumah itu. Rosa terkesan atas layanan Towil. "Biasanya saya kalau mau sepedaan harus loading (mengangkut sepeda ke lokasi gowes) dulu. Kalau ini sudah disiapin. Kan, asyik," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Founder wisata sepeda Towilfiets, Muntowil (ketiga dari kanan) bersama tamu-tamu lokalnya bersiap berkeliling desa di Desa Banguncipto, Sentolo, Kulon Progo, 27 Juni 2021. TEMPO/Pito Agustin

Lewat pukul delapan, Rosa, Darel, dan empat kawannya yang tergabung dalam komunitas sosial Sedekah Kreatif Edukatif (SKE) mengikuti Towil berkeliling desa menggunakan sepeda tua. Mereka melewati jalanan kampung di antara rumah-rumah penduduk berhalaman luas dengan pepohonan rindang. Warga yang berpapasan dengan mereka menyapa ramah. Towil lalu berhenti di pinggir rel kereta api dan mempersilakan para turis lokal itu berfoto. Ia sigap memotret menggunakan telepon selulernya ataupun ponsel tamunya.

Perjalanan kemudian dilanjutkan melewati persawahan. Rombongan berhenti untuk menyaksikan para petani memanen padi. Beberapa di antara mereka ikut turun ke sawah untuk menjajal sensasi menebas padi dengan sabit. Cekrek! Towil buru-buru mengabadikan momen tersebut. Puas berfoto, mereka meneruskan tur dan singgah di rumah perajin tempe dan tenun. Rombongan baru kembali tiba di rumah Towil selepas azan zuhur.

Bagi tim SKE, gowes bukan hal baru. Mereka biasa bersepeda bersama sepekan atau sebulan sekali. Namun tur kali ini terasa istimewa karena menggunakan sepeda tua yang mengingatkan mereka akan kenangan masa kecil.

Towil membuka Towilfiets pada 2007 setelah bertahun-tahun mengoleksi kereta angin tua dan mendirikan Paguyuban Onthel Jogjakarta yang masih berkiprah sampai sekarang. Saat itu ia memiliki sepuluh sepeda. Jika sepeda yang dibutuhkan kurang banyak, ia akan meminjam kepada teman atau warga desa. Ia terus mengumpulkan sepeda-sepeda tua. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 100-an unit.

Semula Towil cuma menerima tamu dari luar negeri. Tur sepeda ala Towilfiets ini tak hanya melewati jalan-jalan desa dan mendengar penjelasan dari Towil tentang apa yang mereka temui sepanjang jalan. Para turis bisa ikut mencoba aktivitas yang dilakukan oleh warga di sana. Misalnya, ketika melewati persawahan, mereka bisa ikut membajak sawah, menanam, menyiangi rumput, memupuk, atau memanen, sesuai dengan aktivitas yang dilakukan oleh petani saat itu.

Towil juga mengajak mereka ke rumah penenun, pembuat tempe, dan pembuat jajanan tradisional. Ia menyebut aktivitas itu sebagai wisata desa, bukan desa wisata. “Karena yang ada di desa bukan dibuat-buat menjadi ada. Tapi memang ada di sana,” katanya.

Tur yang semula hanya blusukan di desanya kemudian berkembang ke desa-desa sekitar di Kecamatan Sentolo sampai Kecamatan Nanggulan. Biaya jasanya juga ikut meningkat dari Rp 300 ribu per orang menjadi Rp 500 ribu per orang selama tiga-lima jam.

Wisatawan mancanegara biasanya datang pada masa libur musim panas Juli-September. Mereka dibawa oleh enam agen wisata yang sudah bekerja sama dengan Towil. Kebanyakan para turis itu datang dari Belanda dan Jerman. Dalam sebulan, ia biasanya melayani 100 turis asing. Towil mengajak warga di sekitarnya, dari mahasiswa sampai ibu rumah tangga, ikut menjadi pemandu. “Selain bisa bahasa Inggris, yang penting bisa naik sepeda,” Towil menyebut syarat menjadi pemandu di Towilfiets.

Namun usahanya merosot akibat pandemi. Semua jadwal turnya dibatalkan atau digeser ke tahun ini. Karena pagebluk belum juga berakhir, jadwal tersebut dimundurkan lagi ke 2022. Penghasilan Towilfiets menyusut sejak tahun lalu. “Sampai 80 persen,” ujar Towil, yang enggan menyebut nominalnya.

Ia menyiasatinya dengan membuka layanan untuk wisatawan domestik. Towil mematok harga Rp 350 ribu untuk sekali putaran. Dalam sebulan setidaknya ada 50 tamu. Kebanyakan dari Jakarta. Sisanya berasal dari Surabaya, Lampung, Sulawesi, dan Kalimantan. Di antara para tamunya terdapat musikus Katon Bagaskara dan koki Farah Quinn. Belakangan turis lokal dari Yogyakarta pun tertarik menikmati turnya. “Wah, ada apa, nih? Mungkin keinginan merasakan Towilfiets kuat ya dan mau bayar dengan harga segitu,” tutur Towil.

Peserta tur sepeda oleh I Ketut Artana di wilayah Kintamani, Bangli, Bali, 16 Juni 2021. Dok. I Ketut Artana

Seperti Towil, usaha jasa tur sepeda yang dibuka I Ketut Artana di Bali pada 2011 juga masih berkiprah. Awalnya Artana yang gemar menjelajah jalan-jalan desa itu punya lima sepeda. “Waktu itu ada lima wisatawan asing yang saya layani, tur dekat sini, jalur dari Tegalalang ke Ubud,” ujar pria yang bekerja sebagai pematung dan pemandu wisata tersebut, Ahad, 27 Juni lalu.

Ia biasa membawa tamunya masuk ke jalan-jalan subak (persawahan), seperti di Desa Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar. Jalurnya paving block sehingga nyaman untuk gowes. Sambil mengayuh sepeda, para wisatawan bisa menikmati hamparan hijau padi dan segarnya udara Ubud. Tapi kadang saat mereka sedang gowes di pematang ada petani yang keberatan. “Ya, terpaksa putar balik,” kata Artana.

Artana biasanya kebanjiran pesanan pada musim libur Juni-Juli. Konsumennya beragam, dari wisatawan domestik hingga mancanegara. Biasanya wisatawan yang berasal dari Bali hanya menyewa sepeda dan digunakan berkeliling Ubud. Harga sewa sepeda biasa ditambah helm pengaman dimulai dari Rp 25 ribu. Kalau jenisnya sepeda gunung dengan satu peredam rem kejut (shockbreaker) harga sewanya sekitar Rp 50 ribu. Sementara itu, kalau peredamnya ada dua, sewanya menjadi Rp 300 ribu.

Sedangkan turis dari daerah lain mengambil rute pendek seperti Tegalalang hingga Ubud atau Taro sampai Ubud. Adapun wisatawan mancanegara lebih senang dengan jalur panjang. “Biasanya dari Puncak Penulisan Bangli, sampai ke area lava dingin Gunung Batur, masuk Kintamani area tegalan dan hutan, hingga finis di Ubud,” tutur Artana, yang akrab disapa Ketut Cuklik. Mereka biasanya menggunakan pemandu dengan harga tur berkisar Rp 200-800 ribu.

Usahanya terus berkembang. Artana bisa mendapat order empat kali dalam seminggu pada 2015. Sebagian turis datang dalam rombongan besar. “Pernah ada order sampai 150 unit dari perguruan tinggi swasta di Denpasar, teman yang dapat. Pada patungan mengeluarkan sepeda,” ujarnya. Ia sampai pernah mengantongi penghasilan dari tur ini Rp 15 juta sebulan. Saking ngetren-nya tur sepeda kala itu, ia sampai sering menolak tamu.

Artana juga merasakan dampak pandemi. Bisnis tur sepedanya merosot. Sempat ada yang memesan sekitar 20 sepeda lipat untuk para tamu sebuah hotel di Nusa Dua. Ia juga melayani penyewaan 15 sepeda gunung untuk wisatawan dari Jakarta pada Mei lalu. Selebihnya pesanan kembali sunyi. Ia bahkan sampai menjual lima sepeda gunungnya. “Karena sepi sekali,” ucapnya.

Pendiri dan ketua komunitas Brompton Owners Group Indonesia (BOGI), Baron Martanegara, pun terpaksa menunda tur wisata perdana ke pabrik Brompton di London. Ia dan timnya sudah mempersiapkan semuanya, termasuk survei ke pabrik Brompton di London pada Maret 2020 untuk jalan-jalan yang sedianya akan digelar dua bulan setelah survei. Pihak Brompton pun sudah siap menerima mereka. “Ada hubungan baik dengan Brompton. Brompton mengakui komunitas Brompton terbesar di dunia ya di Indonesia. Jadi mereka respek banget,” kata Baron melalui konferensi video, Rabu, 14 Juli lalu.

Baron Martanegara saat mengunjungi pabri Brompton, di London, Inggris, November 2019. Dok Pribadi

Baron dan timnya mematok harga Rp 35 juta per orang untuk 10 hari tur, termasuk gowes di Edinburgh, Skotlandia. Tarif itu sudah mencakup semua biaya selama tur, dari biaya perjalanan hingga akomodasi. Peserta tur hanya perlu membawa sepeda. Yang paling spesial dari tur tersebut adalah berkunjung ke pabrik Brompton.“Lucu-lucuannya, kalau anak Brompton, umrahnya ya ke London, ha-ha-ha...." ujarnya. Menurut dia, Brompton menyediakan hari khusus dalam sepekan bagi turis untuk berkunjung ke pabriknya.

Untuk tahap pertama, Baron membatasi jumlah peserta hanya 35 orang dengan alasan lebih mudah mengaturnya. Namun Baron akhirnya menunda jadwal tur tersebut karena pandemi. “Menunggu sampai kondisi aman,” kata Baron. Ia juga menunda rencana gowes ke tiga kota di Jepang, yaitu Osaka, Kyoto, dan Kobe, yang sedianya dilaksanakan sebulan setelah tur ke London.

Berbeda dengan Towil, Artana, ataupun Baron, Dony Adhika justru kecipratan rezeki saat masa pandemi. Pria yang tinggal di Yogyakarta itu memang mempunyai hobi bersepeda sejak masih bocah. Sejak kuliah, ia membuka toko sepeda online. Pada pertengahan 2020 ketika aktivitas bersepeda menggeliat di tengah pagebluk, banyak kawannya dari Jakarta datang ke Yogyakarta untuk memintanya gowes bersama. “Banyak yang nyaranin untuk buka tour cycling guide. Eh, ternyata ramai,” ujar Dony, Sabtu, 26 Juni lalu.

Dony Adyhka berserta perserta Cyling Tour Jogja, saat menelusuri jalan Nanggulan di Kulon Progo, Jogjakarta, Juni 2021. Dok. @bangnasmotret

Ia biasanya memandu tiga-empat tur dalam sebulan. Para tamunya datang dari Jakarta, Surabaya, dan Malang. Beberapa tamunya datang dari Kalimantan. Mereka biasanya memang punya hobi gowes jarak jauh. Kliennya berasal dari berbagai kalangan, dari tentara, polisi, pejabat negara, hingga pengusaha. Untuk gowes di Yogyakarta, ada klien yang menyewa sepeda pada Dony, ada pula yang membawa sepeda sendiri.

Dony, 31 tahun, menyerahkan rute gowes kepada kliennya. Kalau mereka tak punya preferensi, baru Dony memberikan tawaran. Jika ingin gowes sekitar 60 kilometer, ia akan menyodorkan empat pilihan rute, yakni Kaliurang, Nanggulan, Selopamioro, dan Spot Riyadi. “Paling banyak memilih ke Kaliurang. Tapi yang favorit ke Nanggulan,” kata Dony yang mengunggah aktivitasnya bersepeda di kanal YouTube-nya. Video-video yang ia unggah telah ditonton lebih dari 21 juta kali.

Ada juga yang meminta rute 100 kilometer pergi-pulang. Biasanya Dony akan memberi pilihan rute untuk jalan datar atau menanjak. Misalnya rute putar-putar Kota Yogyakarta-Waduk Sermo–Nanggulan–Jalan Magelang–Kota Yogyakarta.

Biaya turnya beragam, tergantung permintaan tamu. Kalau hanya membutuhkan pemandu, Dony biasanya mematok harga per pemandu sekitar Rp 500 ribu sekali jalan. Jika ada permintaan tambahan fotografer menjadi Rp 1,5 juta sekali jalan. Ada pula layanan paket lengkap meliputi pemandu, fotografer atau videografer, mekanik, mobil loading, dan jasa layanan yang membantu menyeberang jalan dengan harga Rp 3-4 juta per rombongan. Biayanya bisa bertambah untuk rombongan besar. “Kalau yang 100 kilometer, ya tambah sedikit, lah. Misalnya pemandu jadi Rp 800 ribu,” tuturnya.

Untuk memenuhi permintaan para klien, Dony mengajak teman-temannya sesama pesepeda yang punya keahlian itu. Ada enam orang yang aktif dalam bisnis tur sepeda, di antaranya fotografer majalah dan pernikahan yang tengah sepi order karena pandemi. “Saya ajak ikut serta. Jadi bisa membuka peluang kerja,” kata Dony.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus