Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para penggemar road bike menjalani latihan serius bak atlet untuk menggenjot kemampuan mengayuh jarak jauh.
Pandemi Covid-19 tak menghalangi para penggemar sepeda, terutama road bike, untuk terus berolahraga.
Menyetel ukuran sepeda sesuai postur tubuh bisa menambah kenyamanan bersepeda jarak jauh dan mengurangi risiko sakit atau cedera.
LINTASAN jalan raya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, menjadi salah satu jalur tetap dan arena latihan sepeda Marika Nurmagitta. Mengendarai sepeda balap alias road bike Cervelo R5 berwarna hitam, Marika meluncur dari rumahnya pada pukul 5 pagi. Dia biasa bersepeda sejauh 60 kilometer selama dua-tiga jam. "Muter-muter saja di rute itu. Jalannya memang lumayan enak buat road bike," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setiap hari Marika memacu sepedanya demi menjaga kesehatan tubuh dan performa. Dia juga memiliki agenda latihan mandiri selama sepekan dengan mengombinasikan variasi jarak tempuh, intensitas, dan waktu bersepeda. "Tidak mungkin bersepeda jarak jauh dengan kecepatan dan intensitas tinggi sekaligus. Bisa-bisa malah jadi sakit," tutur perempuan 25 tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Senin, Marika memilih bersepeda santai sejauh 80 kilometer. Esoknya, barulah dia mulai mengebut hingga 50 kilometer. Pada hari ketiga Marika tak bersepeda, tapi berlari 10 kilometer. "Pelan-pelan saja, untuk pemulihan fisik juga," ujar Marika kepada Tempo, Rabu, 30 Juni lalu.
Pada Kamis dan Jumat pagi, Marika kembali menunggang sepedanya dan meluncur sejauh 60-100 kilometer. Alih-alih bersantai pada akhir pekan, dia justru kian jauh mengayuh Cervelo-nya, termasuk melahap rute pergi-pulang ke Sentul dan Puncak, Bogor, Jawa Barat, bersama kawan-kawannya penggemar road bike. "Akhir pekan itu sudah pasti di atas 150 kilometer, sekalian jalan-jalan," ucap pegawai di salah satu gedung perkantoran di kawasan Thamrin, Jakarta, tersebut.
Marika Nurmagitta saat melakukan Fitting Sepeda di Pluton, Jakarta, Rabu 30 Juni 2021./Tempo/STR/Nurdiansah
Sepeda balap juga menjadi alat olahraga pilihan model dan artis Kelly Tandiono. Pada mulanya, kegiatan bersepeda Kelly sekadar hobi. Keasyikannya menggeluti balap sepeda meningkat sejak dia mengikuti kompetisi triatlon—lari, renang, dan bersepeda sejauh lebih dari 50 kilometer—pada 2014. Dia bahkan sampai membeli aero bike, sepeda balap yang didesain dengan keunggulan dalam hal kecepatan, untuk mengikuti kompetisi yang lebih serius. "Saya bukan atlet profesional, masih jauh banget dibanding atlet," tutur Kelly, tertawa.
Meski demikian, Kelly memasang target pribadi dalam latihan sepeda rutinnya. Dia juga lebih suka berlatih sendiri atau bersama pelatih dalam grup dua-tiga orang ketimbang mengayuh sepedanya dalam rombongan atau "peleton", yang banyak dilakukan pegowes. Dengan cara latihan seperti ini, Kelly mengaku lebih bisa berfokus berlatih. "Kalau balapan pun pasti sudah gowes adu cepat sendiri-sendiri, enggak mungkin peletonan," ujarnya.
Pandemi Covid-19 yang merebak sejak Maret tahun lalu membawa perubahan besar pada para penggemar sepeda balap yang biasa gowes lintas provinsi. Pemerintah beberapa kali menerbitkan regulasi yang membatasi aktivitas publik sehingga para pesepeda pun mengerem kegiatannya. Begitu aturan diperlonggar, jalan-jalan raya segera dipenuhi lagi oleh pegowes.
Kelly masih bersepeda di tengah pandemi. Tahun lalu, dia menginisiasi komunitas pesepeda balap perempuan Lipstick Riders bersama sejumlah rekannya, seperti Sigi Wimala, Natasha Rider, Marianne Rumantir, Tabby Sumendap, dan Luna Maya. "Iseng saja ngajak kawan-kawan sepedaan tapi tetap dandan, pakai lipstik," kata Kelly. "Buat senang-senang saja sambil memulihkan fisik setelah latihan atau tanding."
Kelly Tandiono saat mengendari sepeda TMR 01 miliknya, di Jakarta./@chita
Perubahan aktivitas karena regulasi selama masa pandemi tidak mengurangi semangat Kelly kembali naik ke atas sadel dan mengayuh sepeda balapnya dengan kencang. "Kangen juga gowes sepeda, tapi masih khawatir kalau jauh-jauh," ucapnya.
Keseruan bersepeda, apalagi jika berhasil mencapai target mengayuh jarak jauh, membuat Marika seperti ketagihan. Dia justru merasa badannya lemas, sulit berkonsentrasi, dan cepat mengantuk bila absen gowes. Karena itulah setiap hari dia berusaha menyempatkan diri menggenjot sepeda balapnya. "Bersepeda bikin happy, risiko sakit dan stres juga berkurang," tutur perempuan 25 tahun itu.
Marika sudah lebih dari tujuh tahun menekuni olahraga sepeda balap. Sebelum mengenal road bike, dia aktif berenang, bermain polo air, dan mengolah fisik di pusat kebugaran. Marika sebenarnya membeli sepeda sebagai alat transportasi ke lokasi latihan, yang jaraknya tak sampai 10 kilometer dari rumahnya. "Naik mobil ribet. Kalau lari ke gym jadi capek duluan. Akhirnya bersepeda sekalian pemanasan.”
Dari sepeda balap Polygon perdananya, Marika secara bertahap mengganti tunggangannya. Dia pernah mengendarai Eddy Merckx serta Cervelo tipe R3 dan S3 yang harganya bisa lebih dari Rp 50 juta. Sejak 2019, Marika memilih Cervelo R5 sebagai andalannya. Di pasar, sepeda balap dengan rangka serat karbon berbobot sekitar 8 kilogram ini dibanderol dengan harga Rp 90-100 juta. "Sekarang saya hanya punya satu sepeda ini, sudah nyaman dengan setelannya," ujarnya.
Intensitas olahraga Marika ikut melesat setelah ia menekuni aktivitas bersepeda. Pada 2016, dia menjajal triatlon perdana di Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, dan menyelesaikan lomba di peringkat kedua. Jarak kayuhannya pun kian jauh. Ia pernah mengikuti Everesting, ajang gowes menanjak dan mengumpulkan poin elevasi hingga setara dengan 8.800 meter selama 24 jam di kawasan Puncak. Dengan bersepeda pula Marika menjajal lintasan pegunungan seperti Tangkuban Parahu di Jawa Barat serta Col D'Izoard dan Col Agnel di Pegunungan Alpen, Prancis.
Sejumlah pesepeda road bike melintasi JLNT Kampung Melayu-Tanah Abang, Jakarta, 23 Mei 2021./TEMPO/M Taufan Rengganis
Pandemi Covid-19 tak menyurutkan keseriusan Marika bersepeda jarak jauh. Pada Sabtu, 26 Juni lalu, dia masih sempat bersepeda pergi-pulang Jakarta-Bogor sejauh 140 kilometer. Perjalanan yang dicatat dalam aplikasi pelacak aktivitas olahraga Strava itu ditempuhnya dalam waktu lima jam dengan kecepatan rata-rata 27 kilometer per jam. Data perjalanan di aplikasinya ia namai "Tamasya". "Namanya saja jalan-jalan cari hiburan, ha-ha-ha…."
Dua puluh hari sebelumnya, bersama sebelas rekannya yang juga penggila sepeda, Marika berkendara sejauh 237 kilometer dari Kelapa Gading, Jakarta Utara, ke Cirebon, Jawa Barat. Hanya dua kali berhenti untuk beristirahat, mereka menempuh rute itu dalam tempo 6 jam 41 menit. Selama perjalanan, mereka dikawal dua mobil dan empat sepeda motor yang bolak-balik menyuplai minuman. Marika sendiri menghabiskan sekitar 4,5 liter air selama perjalanan. "Ini rute perdana, enggak tahu medannya, jadi lebih sering minum. Yang penting dijaga tidak dehidrasi," katanya.
Selain ketahanan fisik dan kelenturan otot tubuh, kenyamanan menjadi kunci dalam bersepeda jarak jauh. Menurut Marika, para pengendara sepeda balap bisa menghabiskan waktu empat-lima jam duduk di sadel. Ukuran sepeda dan setelan instrumen seperti jok atau setang yang keliru bisa membuat pesepeda tidak nyaman serta mengalami pegal-pegal, kesemutan, bahkan cedera. "Kalau cuma sejam belum ada pengaruhnya. Terasa bedanya kalau sudah gowes jauh."
Inovasi teknologi membawa dampak besar pada perkembangan material dan fitur sepeda balap. Bahan seperti titanium dan serat karbon bisa membuat bobot sepeda jauh lebih ringan dibanding sepeda yang terbuat dari aluminium, apalagi baja antikarat. Bobot rata-rata sepeda balap dengan rangka serat karbon sekitar 8 kilogram. "Lebih ringan dikayuh juga, tidak boros tenaganya," tutur Marika.
Komunitas road bike Lipstick Riders./@nareen
Urusan penyesuaian ukuran postur tubuh dengan sepeda juga krusial. Hal ini kerap diabaikan para pesepeda. Marika juga pernah melakukan kesalahan itu ketika pertama kali membeli road bike. Ukuran sepeda tersebut ternyata terlalu besar untuk postur tubuhnya yang setinggi 159 sentimeter, tapi ia nekat menggowes dengan menurunkan penyangga bangku supaya kakinya bisa menjangkau pedal. Setelah pemakaian berulang, nyeri kerap menyerang tubuhnya.
Dia pun mengganti sepedanya menjadi yang berukuran lebih kecil. Dari rekan-rekannya pula Marika mengenal bike fitting atau cara menyesuaikan sepeda dengan postur tubuh. Dengan bike fitting, setelan instrumen sepeda, dari posisi tempat duduk hingga setang, bisa disetel agar cocok dengan tubuh penggunanya. "Rasanya berbeda setelah sepeda disetel ulang. Lebih nyaman gowes jarak jauh. Risiko cedera, terutama di punggung dan kaki, bisa dihindari," ujarnya.
Marika biasa melakukan penyesuaian satu-dua kali dalam setahun atau saat menjelang tur dan perlombaan. Ketika pesepeda mengganti sepatu atau sudah merasa tidak nyaman lagi mengayuh, Marika menyarankan mereka mengulang bike fitting. Saat ini banyak bengkel sepeda yang juga menyediakan layanan tersebut. Tarifnya bervariasi, Rp 1-3 juta. "Biasanya ada garansi, bisa sampai tiga kali disetel karena memang enggak mungkin langsung pas."
Marika mengaku hanya berkolaborasi dengan satu ahli bike fitting atau fitter yang telah membantunya lima tahun terakhir. Dia bahkan rela bolak-balik ke Bandung demi menyetel sepedanya. Sejak Juni lalu, Marika lebih mudah mendapatkan layanan itu setelah penyetel andalan itu bersama kawannya membuka toko dan bengkel sepeda balap Pluton di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Rutinitas menyetel sepeda sejak 2015 juga membuat Kelly Tandiono lebih nyaman mengayuh sepeda balapnya untuk jarak jauh. Risiko mengalami kesemutan atau cedera bisa diminimalkan lewat penyetelan. Minimal sekali dalam setahun Kelly menyambangi Technobike, toko sepeda yang juga menyediakan layanan tersebut di Kuningan, Jakarta. Sebelumnya, Kelly sempat bergonta-ganti fitter hingga tiga kali. "Sekarang sudah cocok. Mereka punya teknologi bike fitting terintegrasi, tidak hanya mengukur secara manual," ucapnya.
Kelly mengungkapkan, bersepeda membawa dampak besar bagi dirinya. Dia bisa lebih berkonsentrasi pada pekerjaan, tidak mudah capek, dan lebih dapat menjaga keseimbangan tubuh. Kelly saat ini memiliki tiga sepeda. Dua di antaranya yang sering ia pakai untuk mengikuti kompetisi balap adalah aero bike bikinan BMC asal Swiss bertipe TMR 01 dan all-around bike BMC SLR 01 yang masing-masing harganya bisa lebih dari Rp 100 juta.
Pengguna road bike melintas di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, 11 Juli 2021./ANTARA/Didik Suhartono
Adapun rute rutin yang dilalui Kelly saat berlatih lebih banyak di area Jakarta. Dia biasa mengayuh sepeda pada pagi hari dan tiga-empat kali dalam sepekan. Kelly juga telah mengunjungi sejumlah daerah di luar Jawa untuk bersepeda, termasuk Bali, Bengkulu, Gorontalo, Labuan Bajo, dan Padang. Sepeda SLR 01 menjadi pilihannya untuk dibawa jika ingin menjajal trek di daerah lain. "Lebih praktis dikemas," tuturnya.
Kolektor road bike klasik Nandi Wardhana juga sering mengayuh sepedanya hingga ratusan kilometer. Dia pernah menyusuri jalan-jalan Ibu Kota sejauh 100 kilometer. Sepekan sebelum pembatasan aktivitas publik berlaku pada awal Juli lalu, Nandi sempat bersepeda sejauh 175 kilometer ke kawasan Puncak. "Santai saja gowesnya, yang penting selamat," kata Nandi pada Kamis, 15 Juli lalu.
Berbeda dengan pesepeda lain yang mengendarai road bike berbahan karbon atau titanium, Nandi menggunakan sepeda dengan rangka besi seperti Billato yang dibuat di Italia pada 1990-an. Meski rangka sepeda terbuat dari besi, bobotnya tak lebih dari 9 kilogram. "Mau saya tunjukkan bahwa road bike rangka besi itu bagus dan enggak berat," tutur Nandi, yang mengoleksi 25 sepeda ontel dan 25 road bike klasik. Nandi enggan menyebutkan jumlah uang yang ia habiskan untuk menebus sepeda-sepeda kesayangannya. "Ada salah satu sepeda yang menghabiskan biaya setengah dari nilai mobil yang baru saya jual.”
Aktivitas bersepeda telah melengkapi gaya hidup masyarakat urban. Banyak orang menggunakan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari ke kantor. Mereka biasa menenteng atau mendorong sepeda lipat di halte bus dan stasiun kereta listrik. Meski demikian, Marika Nurmagitta memilih tidak mengendarai sepeda balapnya dari rumah ke kantor. "Jatah bersepeda sudah dihabiskan setiap pagi. Akhir pekan pun jalan-jalan jauh naik sepeda," ucapnya, lalu terbahak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo