Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Para aktivis mengalami perundungan siber dan peretasan sejak revisi Undang-Undang KPK bergulir.
Serangan digital itu berjalan cepat dan gencar, lalu pelakunya membuang nomor yang digunakan untuk menyerang.
Semua korban peretasan merupakan pelanggan Telkomsel dan hampir semuanya tidak mendapatkan OTP.
TIGA pesan dari tiga nomor masuk ke akun WhatsApp Chairul Rahman Arif pada 10 Juni lalu, sekitar pukul 7 malam. Pemimpin Umum Teknokra, pers mahasiswa Universitas Lampung, itu terkejut membaca isi pesan tersebut. Pengirim pesan mempertanyakan maksud Chairul menggelar diskusi bertema “Diskriminasi Rasial terhadap Papua”.
Dalam pesan yang sama, mereka juga mengancam Chairul. “Hati-hati nanti di jalan, Bro,” tertulis di salah satu pesan. Ada juga pengirim pesan yang menyertakan kartu tanda penduduk Chairul, berikut nama kedua orang tuanya. “Data sampeyan sudah kami pegang. Kuliah saja yang benar,” bunyi pesan tersebut.
Delapan jam sebelum pesan itu masuk, Chairul dan editor Teknokra, Yesi Sarika, bertemu dengan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Lampung Yulianto di Gedung Rektorat. Menurut Chairul, Yulianto meminta acara diskusi ditunda karena tak mengundang pembicara dari pihak pemerintah. Yulianto, kata Chairul, juga mengaku dihubungi pejabat Badan Intelijen Negara. “Mengapa kampus tunduk kepada lembaga pemerintah?” ujar Chairul mengulangi pertanyaannya kepada Yulianto saat dihubungi lewat telepon pada Selasa, 23 Juni lalu.
Pertemuan itu berlangsung selama 45 menit. Chairul ngotot menggelar diskusi. Yulianto akhirnya mempersilakan sambil mengingatkan bahwa kampus tak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada panitia. Dimintai tanggapan, Yulianto tak membenarkan ataupun membantah dihubungi pejabat BIN. “Tak perlu membahas peristiwa yang sudah lewat,” ujarnya. Adapun Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Purwanto menyangkal kabar bahwa lembaganya meminta acara dibatalkan. Wawan berujar, banyak orang mengaku sebagai pegawai badan telik sandi. “Perlu dicek ulang,” katanya.
Setelah mendapat ancaman, Chairul langsung meminta bantuan Aliansi Jurnalis Independen Bandar Lampung. Ketua AJI Lampung Hendry Sihaloho kemudian menceritakan teror yang menimpa Chairul melalui Facebook pada 11 Juni lalu, pukul 03.00. Setelah unggahan itu, giliran Hendry mendapat teror. Telepon miliknya tiba-tiba kehilangan sinyal dan tak bisa menerima panggilan masuk. Nomor itu terpasang pada gawai yang tak terkoneksi dengan Internet.
Masih di hari yang sama, akun Facebook dan Instagram Hendry berturut-turut diretas antara pukul 10.00 dan 11.00. Mencoba merebut lagi media sosial miliknya, Hendry mendapati kata kuncinya telah diubah. Hanya Instagram yang memberikan peringatan lewat surat elektronik. “Saya merasa tak pernah menerima dan menekan link yang aneh-aneh di ponsel,” katanya.
Teror yang terorganisasi juga merembet ke Jakarta. Manajer Program dan Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, Tantowi Anwari, menerima pesan dari empat nomor tak dikenal pada 10 Juni lalu, mulai pukul 20.06. Tantowi, yang didapuk menjadi pemateri diskusi, mendapat pesan teks serta suara bernada ancaman dan data pribadinya diumbar. Semua nomor itu mengirimkan titik lokasi rumah Tantowi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, dalam peta digital. “Akun Gojek dan Grab milik saya dan istri juga diretas untuk memesan order fiktif,” ujar Tantowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo