Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mitra Lari, Belok ke Bursa

Perombakan organisasi Pertamina diiringi rencana melepas saham anak usaha ke publik. Ada niat lain di luar tujuan transparansi dan akuntabilitas perusahaan negara.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi karyawan Pertamina menolak pembentukan holding dan subholding di Cilacap, Jawa Tengah, 19 Juni lalu. Foto: Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gelombang protes terhadap rencana IPO anak usaha datang dari dalam tubuh Pertamina.

  • Gagasan atas nama transparansi BUMN.

  • Motif lain untuk menggaet dana dan calon investor.

BALIHO hitam membentang di pagar kompleks PT Pertamina (Persero) Refinery Unit IV, Lomanis, Cilacap, Jawa Tengah. Isinya pesan dari Serikat Pekerja Pertamina Patra Wijaya Kusuma (SPPPWK): “Kilang Ini 100% Milik Rakyat Indonesia, Tidak Dijual!!!”. Di dalam, Jumat, 19 Juni lalu, ratusan pekerja duduk berbanjar di pelataran Gedung Patra Graha, memprotes reorganisasi perseroan yang mereka anggap tak ubahnya privatisasi Pertamina. “Rencana privatisasi anak perusahaan subholding melalui IPO akan mengancam kedaulatan energi nasional,” kata Sekretaris Jenderal SPPPWK Dwi Jatmoko.

Gelombang protes serupa disuarakan 18 serikat pekerja di unit bisnis lain yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu. Sehari sebelum pekerja di Cilacap berunjuk rasa, Serikat Pekerja Kilang Minyak Putri Tujuh (SPKMPT) di Pertamina Refinery Unit II, Dumai, Riau, lebih dulu menggelar konferensi pers untuk menyikapi rencana penawaran saham perdana publik (initial public offering/IPO) kelompok anak usaha (subholding) Pertamina. “Kami menolak keras upaya privatisasi anak usaha melalui IPO,” ucap Ketua SPKMPT Riduan, Kamis, 18 Juni lalu.

Kritik mereka senada: Kementerian Badan Usaha Milik Negara terburu-buru membongkar struktur bisnis Pertamina yang sedang bergejolak. Bisnis perseroan memang tengah tertekan. Anjloknya harga minyak mentah dunia dan merosotnya nilai tukar rupiah membuat kinerja produksi dan penjualan lunglai. Hantaman pandemi Covid-19 memperburuk keadaan. Manajemen Pertamina dalam paparannya April lalu memperkirakan, pada skenario terburuk, laba perusahaan bisa tergerus 51 persen dari target US$ 2,2 miliar yang ditetapkan di Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan 2020.

Aksi karyawan Pertamina menolak pembentukan holding dan subholding di depan kompleks PT Pertamina Refinery Unit IV, Cilacap, Jawa Tengah. Foto: Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana menjadikan anak perusahaan Pertamina sebagai anggota bursa saham disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir seusai rapat umum pemegang saham (RUPS) Pertamina di kantor Kementerian BUMN, Jumat, 12 Juni lalu. Dalam RUPS ini pula pemerintah merampingkan organisasi Pertamina, yang akan bertindak sebagai induk usaha (holding) dan membawahkan lima subholding serta satu perusahaan perkapalan.

Erick menargetkan Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati bisa membawa satu atau dua subholding ke lantai bursa lewat IPO dalam dua tahun ke depan. “Supaya terjadi transparansi dan akuntabilitas,” tutur Erick.

Wacana ini pula yang sempat dipertanyakan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat kerja dengan direksi Pertamina, Senin, 22 Juni lalu. Rapat sore hari ini berlangsung terbuka setelah pada paginya Komisi VI, yang antara lain membidangi BUMN, menggelar pertemuan tertutup dengan Menteri Erick. “Ibu setuju enggak dengan privatisasi ini?” tanya anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mufti Anam, kepada Nicke Widyawati.

Nicke menjawab, yang ditargetkan Menteri Erick untuk go public dalam dua tahun ke depan bukanlah privatisasi Pertamina. “Hanya IPO dari anak perusahaan Pertamina,” katanya.

Anak perusahaan yang dimaksud adalah lima subholding dan satu perusahaan perkapalan yang kini menjadi kepanjangan tangan operasi bisnis inti Pertamina. Dari lima subinduk itu, baru satu yang sudah terdaftar di papan Bursa Efek Indonesia, yaitu PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. PGAS—kode emiten PGN—menjadi anak usaha setelah pemerintah mengalihkan saham negara ke Pertamina pada awal 2018. Sejak akhir tahun yang sama, PGN mengendalikan subholding bisnis gas setelah mengakuisisi PT Pertamina Gas, anak usaha lain Pertamina di sektor yang sama.

Adapun ada empat subholding lain masih berstatus perusahaan privat, yaitu PT Pertamina Hulu Energi, PT Kilang Pertamina Internasional, PT Pertamina Patra Niaga, dan PT Pertamina Power Indonesia. Begitu pula PT Pertamina International Shipping, yang mengurus bisnis perkapalan.

Lima perusahaan tersebut dulu anak usaha yang di bawahnya terdapat banyak cucu dan cicit Pertamina. Kendati begitu, selama ini mereka menjalankan aktivitas usaha dalam kendali direksi Pertamina di kantor pusat. Dengan nomenklatur baru, anak usaha ini “naik pangkat” menjadi subholding dan dipimpin chief executive officer yang bisa langsung mengendalikan bisnis inti di setiap sektor tanpa kendali direksi holding Pertamina.

Saat mengumumkan perubahan nomenklatur, Erick mengatakan itu bukanlah murni kebijakan pemegang saham. Kebijakan itu sudah melewati pembahasan dengan dewan komisaris dan direksi. “Bahkan kemarin kami meng-hire tim independen untuk melihat bagaimana perubahan ini bisa signifikan,” ujarnya.

Seorang petinggi Pertamina menerangkan, tim independen yang dimaksud Menteri Erick adalah konsultan global PricewaterhouseCoopers. Rencana reorganisasi bahkan sudah lama digodok, sejak era Menteri BUMN Rini Soemarno. “Ini ide Pak Menteri,” kata pejabat tersebut. Niatnya, dia menambahkan, mengurangi besarnya potensi permainan di tubuh BUMN.

Seorang pekerja memeriksa rak pipa di kilang minyak PT Pertamina Refinery Unit IV, Cilacap, Jawa Tengah. Dok TEMPO/ Panca Syurkani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sisi lain, ada kebutuhan lebih besar yang tak kalah penting untuk mendorong subholding masuk bursa: kemudahan menggalang pendanaan dan mengakses kerja sama investasi. Megaproyek pengembangan empat kilang existing dan pembangunan dua kilang baru, yang ditaksir membutuhkan investasi total senilai Rp 910 triliun, menjadi contoh paling aktual.

Sesaat sebelum pelaksanaan RUPS Pertamina, kabar buruk mengemuka ke publik. Saudi Aramco, calon investor yang sudah lama digandeng untuk menggarap pengembangan kilang Cilacap, menyatakan mundur dari rencana kerja sama senilai US$ 5,8 miliar atau sekitar Rp 81 triliun tersebut. Dalam konferensi pers virtual, Jumat, 12 Juni lalu, Menteri Erick menyatakan, jika tidak bisa menggandeng mitra anyar, Pertamina dapat membangun kilang sendiri. “Kami enggak mau kerja sama ini sudah berjalan tahunan tapi enggak jalan. Kami enggak mau karena lost opportunity, sedangkan supply chain sangat penting,” tuturnya.

Pejabat Pertamina tadi mengungkapkan, IPO bisa menjadi jalan keluar bagi calon investor untuk mendapatkan dananya kembali lebih cepat. Tanpa strategi IPO, dia mengungkapkan, diperkirakan investasi kilang baru balik modal setelah lebih dari sepuluh tahun berjalan. “Bila kita mengundang investor masuk dan mereka menanam duit gede, kalau enggak dikasih exit strategy, mana mau mereka?” ujar pejabat ini. “Enggak menarik buat investor.”

Menurut dia, IPO tak perlu dikhawatirkan akan menggerus kepemilikan Pertamina di anak usaha. “Toh, nanti bisa rights issue kalau Pertamina mau menambah saham (buyback),” ucapnya.

Mantan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, membenarkan kabar bahwa IPO belum diagendakan ketika Kementerian BUMN merancang holding dan subholding Pertamina di era Menteri Rini Soemarno. “Prinsipnya, perusahaan induk tidak boleh ditawarkan ke publik. Kalau anak usaha boleh,” kata Fajar, yang kini menjabat Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero).

Kurtubi, politikus Partai NasDem yang pernah lama bekerja di Pertamina, menilai bisnis inti perusahaan minyak semestinya tidak dikendalikan oleh anak perusahaan. “Dan kalau arahnya mau privatisasi, ya, salah,” katanya.

Dia berharap pemerintah menengok praktik pengelolaan Petronas, perusahaan minyak dan gas milik Malaysia. Petronas sejauh ini telah melepas beberapa subinduk di bursa efek Malaysia, seperti KLCC Property Holdings Berhad untuk bisnis properti, Petronas Dagangan Berhad untuk sektor pemasaran, dan Petronas Chemicals Group Berhad di industri petrokimia. Namun Petronas mempertahankan bos subholding di posisi direktur operasi inti dengan status wakil presiden eksekutif atau kepala eksekutif di perusahaan induk.

KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, CAESAR AKBAR


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus