Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perombakan organisasi Pertamina yang menuai kritik.
Digagas sejak era Menteri Rini Soemarno.
Dampak buruk gemuknya struktur bisnis Pertamina.
RAPAT tertutup Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 22 Juni lalu, diwarnai hujan pertanyaan kepada tamu pagi itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Di tengah pembahasan rencana tambahan penyertaan modal negara ke sejumlah BUMN, beberapa anggota Dewan, terutama dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menagih peta jalan (road map) pembentukan induk dan anak usaha di tubuh perusahaan pelat merah. “Kami di Komisi VI belum pernah menerima kajian road map itu yang sejak awal diminta. Jadi kami tidak bisa melakukan evaluasi. Tiba-tiba muncul holding dan subholding,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan, Mufti Anam, menjelaskan pertanyaan yang disampaikannya dalam rapat komisi yang antara lain membidangi BUMN itu, Jumat, 26 Juni lalu.
Sawala tentang holding dan subholding dengan jelas merujuk pada aksi terbaru Menteri Erick di tubuh PT Pertamina (Persero). Perusahaan minyak dan gas milik negara ini baru saja berubah wajah menjadi perusahaan induk (holding) yang membawahkan sejumlah kelompok usaha baru di bawah induk (subholding). Dengan setiap subholding dipimpin seorang chief executive officer, manajemen di kantor pusat Pertamina sebagai induk dipangkas dari semula diisi sebelas direktur menjadi hanya enam direktur.
Perubahan itu diputuskan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) yang digelar di kantor Kementerian BUMN, Jumat, 12 Juni lalu. Nicke Widyawati tetap dipercaya menakhodai perusahaan. Ia dibantu lima anggota direksi, yaitu Direktur Penunjang Bisnis M. Haryo Yunianto, Direktur Keuangan Emma Sri Martini, Direktur Sumber Daya Manusia Koeshartanto Koeswiranto, Direktur Logistik dan Infrastruktur Mulyono, serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha Iman Rachman.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati. ANTARA/Puspa Perwitasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Erick mengatakan perombakan organisasi ditempuh agar Pertamina lebih berfokus pada bisnis inti. Dengan begitu, dia berharap kinerja perseroan lebih kinclong. “Rencana besar kami konsisten. Semua BUMN berfokus ke bisnis inti, program restrukturisasi, dan konsolidasi,” ujarnya seusai RUPS Pertamina.
Ke depan, menurut Erick, Pertamina bakal berdiri sebagai induk yang memiliki beberapa kelompok anak usaha. Karena itu, susunan direksi baru di pusat dibikin sangat ramping. “Nanti di subholding kami gabungkan unit-unit yang sangat banyak di Pertamina menjadi satu kesatuan bisnis.”
Struktur organisasi subholding Pertamina diumumkan sehari kemudian oleh Nicke. Pengoperasian kelompok anak usaha di bidang hulu (upstream) diserahkan kepada PT Pertamina Hulu Energi. Subholding kilang dan petrokimia digarap PT Kilang Pertamina Internasional. PT Pertamina Power Indonesia menaungi subholding sektor kelistrikan dan energi baru-terbarukan. Kelompok anak usaha bidang komersial dan perdagangan dipegang PT Pertamina Patra Niaga. Adapun subholding gas yang lebih dulu terbentuk dijalankan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk. Satu lainnya, bisnis perkapalan, dikendalikan PT Pertamina International Shipping.
Beragam kritik pun mencuat. Bukan hanya soal perubahan besar-besaran terhadap organisasi Pertamina yang disorot, tapi juga kabar rencana Kementerian BUMN menjadikan subholding sebagai perusahaan terbuka alias membawanya melantai di bursa efek lewat penawaran saham publik perdana (initial public offering/IPO). Sentimen lama privatisasi BUMN kembali mengemuka.
Menurut Mufti, pengelolaan BUMN berbeda dengan swasta. Fungsinya tak sekadar mencari untung dan menyetor dividen, tapi juga menjaga kedaulatan dan menyejahterakan rakyat. Karena itu, kata dia, BUMN mesti memiliki peta jalan yang terintegrasi. “Bukan dengan pernyataan, bukan dengan gimmick,” ucapnya.
Dalam keterangan tertulis, Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan, secara umum, tugas Pertamina sebagai holding akan diarahkan pada pengelolaan portofolio dan sinergi bisnis di semua grup usaha, mempercepat pengembangan bisnis baru, serta menjalankan program nasional.
Adapun subholding akan berperan di sisi operasional melalui pengembangan skala dan sinergi setiap usaha, mempercepat pengembangan bisnis, serta meningkatkan kemampuan dan fleksibilitas dalam kemitraan dan pendanaan. “Seluruh proses perubahan ini akan dilakukan secara sistematis melalui road map yang telah disusun dengan best effort dan bersungguh-sungguh untuk menjaga kelangsungan hubungan kerja dengan seluruh pekerja Pertamina,” ucap Fajriyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
REORGANISASI Pertamina tidak datang tiba-tiba. Gagasan merampingkan perusahaan minyak milik negara ini dalam bentuk holding dan subholding sudah ada sejak era Menteri BUMN Rini Soemarno. Pada era Menteri Rini pula PT Perusahaan Gas Negara Tbk bergabung di bawah bendera Pertamina dan menaungi kelompok usaha gas.
Menurut Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN era Menteri Rini, Fajar Harry Sampurno, rencana pembentukan holding migas disusun dalam Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas. Buku itu mendasari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Pertamina. Aturan ini diteken Presiden Joko Widodo pada 28 Februari 2018.
Erick Thohir dan Rini Soemarno saat acara serah-terima jabatan di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 23 Oktober 2019.
Ia menjelaskan, dalam buku putih itu disebutkan tahap pembentukan induk. Mulanya adalah penggabungan PGN ke Pertamina, lalu anak usaha PT Pertamina Gas (Pertagas) masuk ke PGN, kemudian pembentukan kelompok anak usaha lain di sektor hulu, hilir, dan perdagangan (trading). “Rinci ada di buku putih,” kata Fajar, yang kini menjabat Direktur Utama PT Barata Indonesia (Persero). Sebelumnya, saat masih menjabat deputi di Kementerian BUMN, Fajar pernah menerangkan bahwa pemerintah menunjuk Danareksa Sekuritas sebagai konsultan untuk menyusun konsep holding migas dan menuangkannya dalam buku putih.
Hal yang dijelaskan dalam buku putih itu antara lain Pertamina akan mengalihkan Pertagas ke PGN melalui proses yang simultan setelah rampungnya pengalihan 56,96 persen saham milik negara di PGN kepada Pertamina dalam bentuk penyertaan modal negara. Selanjutnya, penggabungan Pertagas dalam PGN bisa dilakukan dengan beberapa opsi, yaitu meleburkan kedua perseroan (merger), pengalihan saham Pertamina di Pertagas ke PGN (inbreng), atau PGN mengakuisisi saham Pertagas. Opsi mana yang dijalankan bergantung pada persetujuan pemegang saham publik PGN, yang jumlahnya mencapai 43,04 persen. Belakangan, pada Desember 2018, PGN resmi menjadi subholding gas Pertamina dengan mengakuisisi Pertagas senilai Rp 20,1 triliun.
Namun, menurut Fajar, pembahasan rencana holding migas di era Menteri Rini belum menetapkan rencana menggelar penawaran saham kepada publik. Kementerian BUMN kala itu menilai kebutuhan IPO disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan di masa mendatang. Prinsipnya, dia menambahkan, kepemilikan Pertamina sebagai perusahaan induk tidak boleh dilepas ke publik.
Seorang pejabat di Kementerian BUMN yang mengetahui pembahasan lebih lanjut proses reorganisasi Pertamina mengungkapkan, rancangan mengenai induk dan anak usaha Pertamina merupakan bagian dari pembentukan kluster migas BUMN. Dia mengatakan konsep ini digagas sejak era Menteri Rini, tapi belum menyertakan rencana IPO. “Yang ini ide dari Pak Menteri (Erick),” ucapnya.
Menteri Erick memang menugasi Nicke membawa anak usahanya ke bursa. Tugas itu diberikan agar indikator kinerja (key performance indicator/KPI) grup lebih terukur. “Kami targetkan dalam dua tahun ke depan Bu Nicke harus go public-kan satu-dua subholding agar KPI jelas,” ujar Erick dalam konferensi video, Jumat, 12 Juni lalu.
Seorang pejabat lain di lingkungan perseroan bercerita, direksi Pertamina lantas mendetailkan gagasan pembentukan holding BUMN migas dengan meminta konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) membuat kajian. PwC juga tercatat dilibatkan untuk mengkaji rencana pembentukan induk usaha lain, seperti holding BUMN perbankan dan holding BUMN penerbangan.
Namun IPO anak usaha bukan tujuan utama merampingkan Grup Pertamina. Selama ini, kata dia, rantai birokrasi perseroan sangat panjang. Akibatnya, langkah strategis, termasuk dalam kegiatan investasi, tidak bisa diputuskan dengan cepat. Dia mencontohkan masalah yang terjadi setelah Pertamina mengambil alih Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie pada awal 2018.
Alur persetujuan investasi di ladang migas tua dianggap terlalu lama dan tak efisien. Investasi untuk pengeboran sumur baru guna menjaga produksi harus dimulai dari pejabat general manager di blok setempat, berlanjut ke direksi PT Pertamina Hulu Energi, masuk ke general manajer investasi di kantor pusat Pertamina, hingga akhirnya dibahas dan diputuskan oleh direksi Pertamina. “Intinya penyederhanaan struktur di Pertamina supaya lebih gesit,” ucapnya.
Untuk alasan yang sama, pembentukan subholding kilang minyak dan petrokimia dianggap penting. Kelompok usaha yang dinaungi PT Kilang Pertamina Internasional ini diharapkan bisa mengakselerasi megaproyek refinery yang meliputi pengembangan empat kilang existing dan pembangunan dua kilang baru. Total kebutuhan investasinya diperkirakan mencapai US$ 65 miliar atau senilai Rp 910 triliun.
Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (kiri), Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati (tengah), Menteri BUMN Erick Thohir (kedua kanan), dan Presiden Joko Widodo ketika meninjau pembangunan kilang di Tuban, Jawa Timur, 21 Desember 2019./Foto:presidenri.go.id
Menteri Erick sebenarnya sempat menyinggung masalah akibat gemuknya struktur Pertamina ketika menjelaskan alasan reorganisasi. Menurut dia, selama ini ada banyak anak usaha Pertamina di sektor hulu migas. Akibatnya, kebijakan antar-anak usaha kerap tidak seirama hingga berdampak pada tak tercapainya target produksi komersial (lifting). Penyatuan portofolio juga diyakini dapat meningkatkan sinergi dan efisiensi antar-anak usaha. “Misalnya sharing knowledge supaya lifting bisa stagnan atau tumbuh. Kan, sudah ada PGN dan Pertagas,” ujarnya.
Meski dilandasi beragam kajian, reorganisasi Pertamina tetap janggal di mata Kurtubi. Dia menilai perubahan yang fundamental ini dilakukan secara terburu-buru. Ia pun mempertanyakan sikap Kementerian BUMN yang tidak menunggu kluster migas dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law) yang sedang dibahas di DPR.
Menurut dia, ada sejumlah rencana perubahan dalam kluster migas omnibus law. Pemerintah mengusulkan perubahan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjadi BUMN khusus. Dengan begitu, kelak ada dua perusahaan negara sektor migas, yakni Pertamina sebagai pelaku bisnis dan SKK Migas selaku badan yang mewakili negara dalam kontrak dengan kontraktor penggarap wilayah kerja migas di Tanah Air. “Tunggu dulu omnibus law. Bagaimana nasib SKK akan mempengaruhi organisasi Pertamina,” tutur mantan anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai NasDem yang menolak gagasan pemerintah ini.
Kurtubi juga mempertanyakan kebijakan yang mempereteli lini bisnis dan menggabungkannya dalam kelompok anak usaha baru Pertamina. Perusahaan migas milik negara, menurut Kurtubi, harus menguasai bisnis yang terintegrasi dari hulu, pengolahan (midstream), hingga hilir (downstream) supaya efisien. Kurtubi menilai monopoli natural oleh perusahaan negara paling efisien dan diperbolehkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Yang bahaya itu monopoli oleh swasta,” ucapnya.
RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM, HENDARTYO HANGGI, CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo