Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Dua aktivis pers kampus Unila diminta membuktikan mendapat tekanan dan mencari bukti peretasan.
Polisi baru memeriksa guru besar UII, Yogyakarta, Ni'matul Huda, 22 hari setelah laporan masuk.
Masih ada kasus peretasan pada 2019 yang mangkrak.
SUARA Kodri Ubaidillah meninggi begitu mendengar petugas di Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Lampung menolak laporannya pada Kamis, 11 Juni lalu. Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung itu melaporkan ancaman yang baru saja menimpa pemimpin umum dan pemimpin redaksi Teknokra, pers kampus Universitas Lampung, Chairul Rahman Arif dan Mitha Setiani Asih.
“Bagaimana mungkin polisi menolak pengaduan kami?” ujar Kodri ketika dihubungi pada Kamis, 25 Juni lalu. Ancaman terjadi setelah poster diskusi bertema “Diskriminasi Rasial terhadap Papua” yang digelar secara online oleh Teknokra beredar di media sosial. Chairul mendapat ancaman melalui aplikasi WhatsApp. Sedangkan akun aplikasi Gojek milik Mitha diretas dan digunakan untuk memesan makanan berulang kali.
Menurut Kodri, banyak keanehan terlontar dari petugas saat ia mendampingi Chairul dan Mitha selama lima jam di Polda Lampung. Misalnya, polisi meminta Chairul menyerahkan surat keterangan dari psikolog bahwa ia mengalami tekanan. Sedangkan Mitha mesti meminta bukti peretasan ke Gojek. “Kami melapor untuk mendapatkan perlindungan hukum, bukan mencari bukti, yang merupakan tugas polisi,” kata Kodri.
Dia meminta petugas membuat surat penolakan pelaporan. Namun polisi menyarankan dia membuat pengaduan secara tertulis kepada Kepala Polda Lampung Inspektur Jenderal Purwadi Arianto. Akhirnya, Kodri dan kliennya membuat surat pengaduan untuk Kapolda Lampung. Namun, hingga Jumat, 26 Juni lalu, belum ada tindak lanjut terhadap pengaduan tersebut.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Lampung Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad menyatakan polisi telah menerima surat pengaduan dari Chairul dan Mitha. Namun Zahwani enggan berkomentar tentang petugas yang meminta pembuktian kepada Chairul dan Mitha. “Nanti saya cek ke petugas,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat, 26 Juni lalu.
Laporan tentang adanya ancaman dan teror juga disampaikan guru besar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Ni’matul Huda. Ia menjadi pembicara tunggal dalam diskusi “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang digelar Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Ni’matul mendapat ancaman pembunuhan dan didatangi orang tak dikenal di rumahnya pada 28 dan 29 Mei lalu.
Ketua tim pengacara Universitas Islam Indonesia, Mukmin Zakie, mengatakan Ni’matul melaporkan perkara ancaman dan pencemaran nama ke Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Yogyakarta pada 2 Juni lalu. Selang 22 hari setelah pelaporan, Ni’matul baru diperiksa. “Ibu Ni’matul menjelaskan bentuk-bentuk teror yang dialami,” ujar Mukmin pada Kamis, 25 Juni lalu.
Tim hukum, kata Mukmin, telah menyerahkan beberapa barang bukti, yakni empat tangkapan layar atau screenshot yang berisi pesan ancaman kepada Ni’matul serta dua rekaman closed-circuit television yang menunjukkan kedatangan orang tak dikenal ke rumahnya. Tangkapan layar itu diberikan karena Ni’matul belum mau menyerahkan telepon selulernya untuk diperiksa kepolisian. Kliennya pun berharap kasus ini tidak berjalan di tempat. Polisi, kata Mukmin, harus bisa menangkap pelaku dan membawanya ke pengadilan.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Yogyakarta Komisaris Besar Yulianto mengatakan penyelidik sudah memeriksa lima saksi dalam perkara ini. Namun Yulianto enggan menyebut siapa saja yang sudah diperiksa. Ia pun ogah membeberkan perkembangan kasus ini. Menurut dia, penyelesaian perkara tidak berarti harus sampai ke persidangan. “Kalau penyelidik menyimpulkan tidak ada tindak pidana dalam laporan tersebut, kasusnya akan dihentikan. Itu juga namanya tuntas,” tutur Yulianto.
Ravio Patra, pegiat demokrasi dan transparansi, juga melaporkan kasus peretasan akun WhatsApp ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 27 April lalu. Sebelumnya, WhatsApp Ravio diretas dan mengirimkan pesan berantai yang berisi ajakan membuat kerusuhan pada 22 April lalu. Karena pesan tersebut, polisi menangkap Ravio dan menyita telepon serta komputer jinjingnya. Dua hari kemudian, polisi baru melepaskan Ravio.
Menurut Ravio, ia baru diperiksa atas laporannya pada 18 Juni lalu. Ketika itu, ia ditanyai penyelidik ihwal kronologi kasus peretasan. Penyelidik, kata Ravio, juga menanyakan barang bukti apa yang dimilikinya. “Saya bilang barang buktinya sudah ada di Kamneg,” ujarnya. Kamneg yang dimaksud adalah Subdirektorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya. Kepada Ravio, petugas menyatakan proses penyelidikan akan berjalan lama untuk mendapatkan barang bukti tersebut. Polisi juga akan meminta keterangan dari manajemen WhatsApp. “Saya dan tim hukum meminta Polda serius menangani perkara ini,” ucap Ravio.
Selain melaporkan peretasan, Ravio melayangkan gugatan praperadilan kepada Polda Metro Jaya. Ia dan tim hukumnya menilai penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan barang oleh Polda Metro Jaya janggal dan tidak sah. Sidang perdana praperadilan sudah digelar pada Senin, 22 Juni lalu. Persidangan pun ditunda hingga 6 Juli karena polisi mangkir dalam sidang perdana itu. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus enggan berkomentar ihwal kasus Ravio ataupun soal tak datangnya polisi dalam praperadilan. “Saya lagi fokus sama kasus lain,” ujarnya kepada wartawan Tempo, Julnis Firmansyah.
Hingga kini, belum ada kasus peretasan ataupun ancaman terhadap aktivis yang tuntas. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Lasma Natalia mengatakan kasus peretasan akun WhatsApp mahasiswa Universitas Padjadjaran, Muhammad Luthfi Indrawan, hingga kini tak jelas perkembangannya. Kasus itu dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat pada September 2019. Luthfi merupakan anggota Konsolidasi Mahasiswa Unpad yang menyuarakan gerakan #ReformasiDikorupsi dan menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Akun WhatsApp Luthfi diambil alih peretas, lalu digunakan untuk mengirimkan pesan berisi ajakan melakukan aksi terorisme di depan gedung KPK dan Markas Besar Kepolisian RI. Menurut Lasma Natalia, karena pesan itu, Luthfi didatangi Detasemen Khusus 88 Antiteror dari Jakarta. “Setelah pelaporan, tidak ada perkembangan apa pun,” ujarnya ketika dihubungi pada Rabu, 24 Juni lalu. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Saptono Erlangga irit komentar ketika ditanyai soal perkembangan kasus Luthfi. “Itu dilaporkan ke mana? Polres atau Polda?”
HUSSEIN ABRI DONGORAN, PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo